PerDIK melakukan kerja-kerja pengorganisasian dan advokasi difabel baik berhadapan dengan sektor hukum, pendidikan maupun ekonomi dan sektor publik lainnya. Kami menyadari, jumlah orang muda yang tertarik dengan kerja seperti ini tak banyak. Padahal di sisi lain, kami membutuhkan lebih banyak kader yang bisa mengisi perang khususnya sebagai paralegal atau pengorganisir di tingkat warga difabel/negara.
Kami lalu melakukan pelatihan pengorganisasian orang muda. Kegiatan ini berlangsung selama 4 hari, 18 – 21 Desember 2018 di Taman Belajar Ininnawa di Maros, Sulawesi Selatan. Adapun organisasi-organisasi yang terlibat adalah PPDI Enrekang, Pertuni Sulawesi Selatan, Gerkatin Makassar, Yasmib, NPC Bantaeng/Jaringan Komunitas Disabilitas Bantaeng, alumni SJYC Bulukumba dengan organisasi kepemudaan yang baru didirikannya bernama FORMULASI, dan adapula siswa-siswi dari YAPTI.

Pelatihan ini dipandu oleh fasilitator berpengalaman dan merupakan aktivis difabel yang sudah dikenal luas di Indonesia, yakni Jonna Aman Damanik, Ishak Salim, M. Joni Yulianto, Hari Kurniawan dan didukung pula oleh para aktivis PerDIK seperti Nur Syarif Ramadhan, Erwin, Nurhidayat dan Sakiyah. Mengingat ada sejumlah peserta Tuli/HoH (Hard of Hearing), kami menyediakan Juru Bahasa Isyarat, yakni Andi Rezki Ardiyanti (yang turut dibantu Nur Fadilah Yasin). Dengan terlaksananya kegiatan ini, maka kami dari PerDIK mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, yakni Pengelola Taman Belajar Ininnawa, PPDI Enrekang, SIGAB Yogyakarta, Institute Inklusi Indonesia, LBH Disabilitas Jawa Timur, dan pemerintah desa Jenetaesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros.

Mengapa kita memerlukan Orang muda dalam gerakan difabel?
Memahami stigma dari pengalaman sehari-hari difabel adalah proses labelisasi, stereotifikasi, segregasi dan diskriminasi yang berdampak pada penyingkiran sosial, pemiskinan ekonomi, perentanan diri, dan kesulitan-kesulitan hidup lainnya.
Jonna Aman Damanik sejak semalam berdiskusi dengan 20 orang muda dari berbagai organisasi difabel Sulawesi Selatan dan Barat.
Perspektif didefinisikan dari himpunan pengalaman sehari-hari difabel muda yang hidup di lingkungannya masing-masing. Memang ada pinjaman penjelasan dari berbagai literatur yang diimpor dari luar, tapi itu sebagai pelengkap saja. Orang-orang muda ini punya penjelasannya sendiri yang tak bisa diabaikan.
Jonna menangkap penjelasan-penjelasan itu dan mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang membuat diskusi ini menjadi penuh semangat dan menantang cara berpikir mereka. Setelah mendengar dan bersuara, ada yang mengaku telah keliru mengikuti pandangan yang selama ini rupanya memapankan pandangan bahwa difabel tak mampu dan berbeda. Ada yang merasa senang karena apa yang diyakininya tidak keliru baik dalam menilai dirinya maupun lingkungan yang merentankannya.
Prinsipnya, orang muda bisa mengubah keadaan. Keadaan yang selama ini melabeli, menyematkan cap miring, memisahkan dan mendiskriminasikan menjadi keadaan yang bisa menghormati diri mereka sebagai diri yang mampu.
Ishak Salim mengantar sejarah politik pencacatan di Indonesia dan respon difabel dalam iklim Pencacatan itu. Ada yang tumbuh dalam lingkungan Pencacatan sebagai hal normal dan larut dalam praktik Pencacatan merentankannya, ada pula yang terus menerus melawan praktik pemerentanan itu pribadi, berkelompok maupun berorganisasi. Ada perlawanan yang mati lalu tumbuh benih-benih perlawanan baru, ada pula yang mati dan tak bangkit lagi. Sebagian kecil saja yang bertahan sampai saat ini untuk terus-menerus melawan dan menggelorakan perlawanan sehari-hari.
Intinya, sejarah disabilitas adalah sejarah perlawanan atas labelisasi, stereotifikasi, segregasi, dan diskriminasi dari dulu sampai sekarang. Orang-orang yang saat ini sudah sepuh dan masih berdiri di garis depan perlawanan perlu legowo mengijinkan dan membiarkan yang muda maju, sebagaimana dulu saat mereka masih muda dan berani maju di depan.
Sore hari saat hujan deras, Hari Kurniawan alias cak Wawa dan Fauziah Erwin (Pengacara PerDIK)) membagi pengalaman ragam perlawanan itu, dalam akhir kekalahan maupun kemenangan di berbagai front pertempuran, berikut strategi dan teknik-teknik pengorganisasian dan advokasi.

Joni Yulianto aktivis difabel Jogjakarta di hari ketiga, menemani orang-orang muda berdiskusi terkait kerja riset sebagai bagian dari gerakan difabel.
Joni mengantar diskusi dengan mengambil dua cerita dari kerja gerakan difabel. Cerita pertama mengenai kerja berbasis riset dan lainnya terkait perjuangan yang mengabaikan riset.

Dari jauh, di sebuah tempat di Jakarta sana, Joni bercerita kepada orang-orang muda di Bantimurung, Maros. Melalui video Skype, komunikasi dua pihak yang dipisahkan jarak ribuan kilometer ini berjalan baik. Hanya sesekali jaringan terputus, selebihnya berjalan baik.
Cerita pertama, Joni menyatakan bahwa kerja penelitian itu menyatu dalam kerja advokasi. Jika kita mendampingi kasus di mana difabel berhadapan dengan hukum, maka proses mengumpulkan bukti sudah merupakan kerja penelitian. Pengalaman pendampingan yang dituliskan menjadi buku–sebagaimana dilakukan oleh Sigab, rupanya berdampak positif bagi pihak-pihak terkait, semisal APH. Melalui buku, peredaran pengetahuan menjadi luas dan tak terkira. Pihak-pihak lain mendukung dan mulai mengikuti pikiran-pikiran yang sedang diperjuangkan.
Cerita lain terkait perjuangan soal mendorong RPP terkait konsesi disabilitas. Pikiran-pikiran yang apa adanya atau tidak memadai terkait pendorong gagasan konsesi ini kesulitan menjawab saat ada pertanyaan-pertanyaan balik dari pihak terkait jika kebijakan konsesi ini ingin dijalankan. Bisa dikatakan perjuangan akan sesuatu bagaimanapun amat bergantung kepada data-data pendukungnya. Jika data tak ada maka sulit merumuskan jalan keluar yang tepat.
Dalam diskusi, ketakutan untuk melakukan kerja riset sebagai sesuatu yang rumit jelas tampak. Padahal, dalam gerakan difabel, kerja riset tidak harus mengikuti ketentuan-ketentuan kaum akademis kampus yang ribet. Kita hanya butuh membangun dan memperkuat rasa ingin tahu (the Will to know). Tumbuhkan terus rasa ingin tahu itu dan mulailah mencari jawaban-jawabannya. Selebihnya biarkan spirit itu bergerak mengikuti kerja-kerja pengorganisasian yang sedang dijalankan bersama dalam satu institusi gerakan.
Boleh jadi ada diantara kita tidak piawai menulis tapi tidak boleh kehilangan rasa ingin tahu. Itulah modal yang harus dimiliki dan dipupuk sejak muda. Kira-kira begitulah kesimpulan tauziah pagi tadi oleh al-ustadz Joni Yulianto.
Seharian, materi ‘riset sebagai alat dan proses perlawanan’ difabel, dibawakan oleh Danu Cruz. Setelah Joni mengantar bagaimana riset dilakukan dalam sejumlah organisasi gerakan Difabel, Mas Danu kemudian menemani orang-orang muda ini mengenali kerja riset sebagai alat.

Hal-hal teknis meneliti pun dibedah dan dicoba bersama. Hal paling teknis, bagaimana merumuskan tema penelitian dan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang menopang isu utama.
Dengan sabar, Danu menjelaskan dan memandu 4 kelompok yang terbentuk. Setelah susunan pertanyaan rampung, merekapun ke rumah-rumah warga dan meminta waktunya mengobrol.
Kebanyakan peserta, baru pertama mengalami proses belajar ini. Ada kelompok diterima dengan begitu ramahnya dan ada pula yang menyimpan curiga begitu melihat mereka memasuki halaman rumah. Ada yang bilang, “saya sepertinya dipandang sebagai pengemis dan dia mengabaikan saya.”
Tetapi kebanyakan keluarga menerima dengan ramah orang-orang muda yang sedang belajar ini. Mereka bertanya meminta jawaban, di sisi lain, orang-orang muda ini menjelaskan memberikan jawaban saat warga bertanya. Di sinilah urgensi penelitian, yakni proses bertanya dan memberi jawaban dan kemudian membuat kita mengetahui dan memahami sebuah peristiwa.
Nah, ini awal yang baik, kan?
Ayo lanjutkan kerja berpengetahuan ini, kawan!
Pagi, di hari penutupan, Jonna Damanik menghentak pagi dengan lagu Cokelat berjudul Bendera dengan lirik berikut:
Biar saja ku tak sehebat matahari
Tapi s’lalu ku coba tuk menghangatkanmu
Biar saja ku tak setegar batu karang
Tapi s’lalu ku coba tuk melindungimu
Biar saja ku tak seharum bunga mawar
Tapi s’lalu ku coba tuk mengharumkanmu
Biar saja ku tak seelok langit sore
Tapi s’lalu ku coba tuk mengindahkanmu
Kupertahankan kau demi kehormatan bangsa
Kupertahankan kau demi tumpah darah
Semua pahlawan-pahlawanku
Merah putih teruslah kau berkibar
Di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini
Merah putih teruslah kau berkibar
Di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini
Merah putih teruslah kau berkibar
Ku kan selalu menjagamu
Maros, 21 Desember 2019
