Pemilu Inklusi bukan sekadar pelibatan pencoblosan pemilih dengan beragam
latar sosial. Tetapi juga menjadikan pengetahuan dari sejumlah kalangan menjadi
pertimbangan dalam mendesain sistem pemilu.
Salah satu pengetahuan yang mengalami eksklusi adalah pengetahuan difabel
netra. Bayangkan saja, sejak pemilu 2004 lalu, Pemilih Difabel sudah menawarkan
cara pandang dalam mendesain teknik pencoblosan akses bagi pemilih dengan
kemampuan dan pengetahuan berbeda.
Difabel netra, salah satunya, memiliki kemampuan dalam mengetahui dan
memproduksi informasi teks dan gambar melalui huruf braille. Jika pengetahuan
ini tidak diakomodasi dalam sistem pemilu, maka kondisi kemampuan unik itu akan
mengalami eksklusi, misalnya dalam tahap pencoblosan.
Husni Kamil (alm), Ketua KPU di akhir tahun 2013 menyatakan bahwa Kertas
Suara Resmi akan sulit jika harus dibuat dalam bentuk braille. Jumlah gambar
partai politik dan nama-nama calon dalam kertas suara tidak mungkin
dibraillekan dalam satu lembar kertas suara braille.
“Bayangkan kalau kertas suara pemilu legislatif dijadikan huruf
braille, [jika setiap partai politik mengajukan 12 calon legislatif untuk kursi
DPR di tiap daerah pemilihan, penulis] akan ada 144 caleg dari 12 partai
politik. Apa ini nantinya nggak bikin bingung? Makanya kita perlu mendiskusikan
lagi lebih jauh, model kertas surat suara apa yang pas untuk difabel,”
ujar Ketua KPU, Husni Kamil.
Persoalannya, jika kertas suara resmi yang dijadikan dasar, tentu desainer
cetak braille akan kesulitan mentransfernya ke model template braille. Tetapi,
jika sejak awal KPU mengakomodasi pengetahuan difabel netra maka layout dasar
untuk dibraillekan sudah akan dibuat berdasarkan pengetahuan difabel netra.
Tentu akan berbeda dengan kertas suara bagi orang yang mengandalkan matanya
untuk mengetahui calonnya dan kemudian mencoblosnya. Namun diskusi serius itu
tidak pernah dilakukan. Pengetahuan difabel tak pernah dianggap sebagai
kontribusi penting dalam mendesain satu sistem pemilu yang benar-benar
inklusif.
Sebagaimana kerja KPU sebelumnya, komisioner KPU saat ini juga sedang
melakukan kesalahan yang sama. Jatuh di lubang yang sama. Mendesain kertas
suara terlebih dulu dan menjadi satu-satunya desain kertas suara yang resmi
baru kemudian meminta difabel memikirkan desain braillenya.
Selain itu, dari informasi yang penulis terima dari salah satu penyedia layanan cetak braille, urusan template menjadi urusan KPU Pusat, atau tidak didesentralisasikan ke KPU Daerah. Biasanya, penyedia layanan di salah satu organisasi difabel ini telah menerima permintaan dari KPU daerah untuk menyiapkan braille template. Pemilu kali ini, surat berisi pertanyaan mereka tidak dipedulikan oleh KPU Pusat. Tidak berbalas sama sekali.
Ali Afandi, Aktivis Difabel Sigab, sedang mencetak dokumen Teks menjadi dokumen berhuruf taktil braille (Foto Ishak Salim, PerDIK)
Kemunduran demokrasi inklusi
Pengetahuan difabel merupakan hasil dari interaksi antara difabel dengan
lingkungannya. Himpunan difabel netra, dalam berkomunikasi melahirkan produk
pengetahuan sistem aksara braille. Menulis dan membaca dengan braille. Kini,
dalam era digital, difabel netra banyak mengandalkan teknologi ‘pembaca layar’
sehingga seluruh teks dikonversi menjadi suara. Bahkan saat ini, melalui jasa
seorang desainer Facebook netra, Matt King, mampu memberikan deskripsi sebuah
foto atau gambar. Itu adalah contoh pengetahuan difabel netra.
Pengetahuan serupa juga dimiliki oleh Tuli atau orang kesulitan mendengar.
Tuli dengan T besar menunjukkan budaya warga Tuli, bukan sebagai orang yang
menderita dan tidak mampu. Mereka memiliki pengetahuan yang mereka produksi
untuk memudahkan interaksi satu sama lain dan menyerap pengetahuan dari luar.
Bahasa isyarat yang disebut Bisindo (bahasa isyarat Indonesia) merupakan
bahasa mayoritas warga Tuli. Hanya sebagian dari Tuli memakai SiBI (Sistem
Isyarat Indonesia). Jika Bisindo merupakan pengetahuan berbahasa yang dibangun
oleh Tuli, SIBI merupakan produk pengetahuan dari ‘orang dengar’, atau tidak
murni ‘kreasi intelektual’ para Tuli.
Pengelola Sekolah Luar Biasa, adalah aktor-aktor yang memaksakan
pengetahuan Non-Tuli dipakai oleh Kaum Tuli. Jika KPU tidak menyiapkan Juru
Bahasa Isyarat dalam setiap sesi debat, kampanye, maupun pertemuan-pertemuan
publik lainnya, baik melalui media audio-visual maupun kampanye langsung secara
tatap-muka dalam ruang publik yang mengandalkan suara, maka proses
mengeliminasi pengetahuan pemilih Tuli oleh pengetahuan ‘orang dengar’ di KPU
juga terjadi.
Keluar dari Normalisme Biomedik
Dengan menggunakan perspektif governmentality Michel Foucault, maka kita dapat menyatakan bahwa fenomena menyingkirkan ‘bangunan pengetahuan’ lain dalam suatu perhelatan publik merupakan bentuk kontrol pemerintah atas kaum minoritas.
Buku Difabel Merebut Bilik Suara saat dicetak braille ketebalannya menjadi 3 – 4 kali lipat dari buku teks.
Governmentality of Disability atau
kepengaturan disabilitas berbasis negara sudah begitu menguat dengan bersandar
pada episteme (sistem pengetahuan) Normalisme-Biomedik. Normalisme atau ideologi
kenormalan saintifik atas tubuh (biomedik) merupakan pondasi berpikir yang
menuntun kepada problematisasi persoalan-persoalan yang dihadapi difabel.
Difabel bagi episteme ini adalah sekadar seonggok tubuh yang lemah, cacat
(impairment) dan tidak berkemampuan (disabilitas) dalam lingkungan, di mana
segala desain sosial mengabdi kepada kenormalan organ tubuh manusia. Mereka
yang memiliki deviant atau kelainan dari asumsi kenormalan, harus menyesuaikan
diri dalam interaksi dengan yang lain tanpa peluang menawarkan desain lain dari
khazanah pengetahuan difabel. Dalam anggapan ‘orang-orang [yang merasa diri]
normal’, difabel adalah orang yang memiliki keterbatasan dan dengan itu perlu
dibantu dalam mengikuti pesta demokrasi.
Ketimbang berupaya menghargai pengetahuan difabel dengan memasukkannya
sebagai salah satu pengetahuan dalam upaya melakukan problematisasi sistem
pemilu agar lebih inklusif, KPU lebih memilih menyiapkan ‘pendamping’ difabel
netra dalam mencoblos. Apapun dasar kalkulasi sehingga ketersediaan pendamping
yang menjadi pilihan KPU itu adalah bentuk dari keangkuhan atau hegemoni
pengetahuan berbasis Normalisme-Biomedik dalam Sistem Pemilu kita saat ini.
Dalam diskursus inklusi, proses mengkombinasikan beragam corak pengetahuan
dalam mendesain satu sistem pemilu inklusif dapat penulis sebut sebagai
‘lagi-lagi kita gagal’ memulainya.
Jika saja, kita bisa menggeser hegemoni atau dominasi pengetahuan biomedik
itu, dan memberi ruang pengetahuan difabel menentukan caranya berdemokrasi
dengan basis pengetahuannya, maka tentu kita akan memiliki beragam varian
teknis pelaksanaan pemilu di seluruh tahapannya.
Belajar dari KPU Kota Yogyakarta
Pada 2014, KPU Kota Yogyakarta terpilih sebagai Komisi Pemilihan Umum yang
paling inklusif. Saat itu, dengan mengambil diskresi—baca menolak alasan dari
Ketua KPU Pusat saat itu, para komisioner bersepakat tetap menyiapkan template
braille pada pemilihan legislatif. Komisioner bekerjasama dengan Organisasi
Difabel (CIQAL) dalam mendesain template braille dan apa yang dipersangkakan
sebagai hal mustahil, justru dengan mudah diwujudkan.
Faktor utama yang menentukan keberhasilan itu adalah karena Komisioner KPU
Yogyakarta bersedia membuka pikiran dan ruang bagi masuknya pengetahuan difabel
untuk mencari jalan keluarnya. Prinsip nothing about us without us atau
dalam arti bebasnya ‘tak ada aspek terkait perbincangan atau diskursus
difabilitas, tanpa melibatkan pengetahuan difabel’ jika diperjuangkan akan
berakhir dengan kemenangan gagasan inklusif.
Jika saja komisioner saat ini bisa belajar dari pengalaman ‘dungu’
komisoner sebelumnya, maka setidaknya saat ini seluruh kota bisa mendesain
sendiri template braillenya dengan mengandalkan pengetahuan difabel netra dalam
mendesain satu jenis kertas suara berdasarkan kedaulatan pengetahuan yang
mereka miliki.
Sayangnya, sepertinya kita, difabel netra seluruh Indonesia, harus menunggu
lima tahun mendatang. Semoga, bukan menunggu KPU jatuh di lubang yang sama
untuk kesekian kalinya. Tetapi memasukkan pengetahuan difabel sebagai
pengetahuan yang berdaulat dan dipertimbangkan dalam memikirkan desain pemilu
yang lebih inklusif dan bermakna.[]
*Penulis beraktifitas di Pergerakan Difabel untuk Kesetaraan (PerDIK) Sul-Sel.
Nama saya Zakia, biasa dipanggil Khya. Saya Sarjana Hukum dari salah satu universitas di Makassar, lulus Mei 2017. Saat ini saya aktif menjadi salah satu anggota Tim Advokasi PerDIK. PerDIK merupakan singkatan dari Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan.
Saya memilih aktif dalam gerakan difabel karena saya melihat banyak difabel mengalami diskriminasi dari segala arah. Bahkan sejak ia dilahirkan. Difabel memiliki kerentanan sehingga mudah mengalami tindak kekerasan, fisik maupun psikis. Bergerak di isu ini bersama dengan teman-teman difabel membuat saya merasakan diri hidup sebagai manusia. Dengan latar pendidikan di jurusan Hukum Internasional, saya berharap pengetahuan di bangku perkuliahan dapat turut dalam perjuangan ini. Saya juga berharap dapat belajar banyak dari proses perjuangan tersebut.
Zakia, Paralegal PerDIK
Saat berbicara mengenai hukum atau jurusan hukum,
kebanyakan orang beranggapan seorang lulusan fakultas hukum, identik dengan
masa depan atau impian menjadi pengacara. Kebanyakan orang juga menilai bahwa
lulusan Hukum adalah orang hebat karena memilih jurusan berat dan mempelajari
ribuan pasal. Tapi sebenarnya, bukan hanya teori yang membuat lulusan hukum
terlihat hebat, melainkan pengalaman dalam menangani kasus-kasus hukum.
Seorang Sarjana Hukum haruslah percaya diri, pandai berbicara, tegas
dan berani serta kuat baik mental maupun moral. Pengalaman memang sangat
penting mengasah pengetahuan, keterampilan dan juga rasa percaya diri secara
alami. Salah satu pengalaman yang bisa didapatkan oleh sarjana hukum adalah
pengalaman pendampingan kasus.
Awalnya saya bukan orang yang merencanakan karir
sebagai pengacara. Saya merasa kurang percaya diri. Pada Agustus 2018, saya
memutuskan bergabung dalam PerDIK untuk mendapatkan
pengalaman. PerDIK merupakan lembaga non-profit yang berfokus pada
literasi dan isu-isu gerakan
difabel baik melalui advokasi, pengorganisasian, penelitian dan pengelolaan pustaka. Saya kemudian
memilih bidang kerja advokasi difabel berhadapan dengan hukum.
Menjadi tim advokasi, membuat saya menemukan banyak
kasus dialami difabel khususnya di bagian
non-litigasi. Pendampingan non-litigasi biasanya kami lakukan melalui proses
advokasi kepada pihak-pihak terkait, khususnya bagi korban dan keluarganya.
Kami mendiskusikan banyak hal, misalnya diskusi terbaik tanpa harus merugikan
keberadaan difabel yang telah menjadi korban.
Di PerDIK, kami juga memiliki tim media. Dua jurnalis selalu siap menuliskan press release berdasarkan hasil koordinasi dengan tim advokasi (Pengacara dan Paralegal). Informasi dari media massa, menjangkau banyak pembaca. Melalui asupan informasi yang benar dan lengkap, masyarakat dapat berfikir terbuka mengenai kondisi difabel dalam berhadapan dengan hukum, apakah ia sebagai korban, saksi, terdakwa atau pelaku. Termasuk bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialaminya.
Belajar mendampingi kasus
Baru-baru ini, November 2018, Tim Advoakasi PerDIK mendampingi sebuah kasus hukum seorang gadis Tuli yang menjadi korban perlakuan kekerasan seksual. Sebagai paralegal, tugas saya membantu pengacara PerDIK, yakni Fauzia Erwin (Kuasa Hukum korban). Paralegal merupakan istilah bagi seseorang yang bukan pengacara dan tidak bisa beracara di peradilan. Sebelum bertugas, sebagai paralegal saya telah dilatih dan dididik melakukan tugas dan bertindak dalam rangka membantu/mendampingi proses hukum.
Mengikuti proses pendampingan
kasus hukum ini, Saya menemukan ada sejumlah kasus kekerasan dialami difabel. Hanya sebagian kecil dari kasus itu berhasil
masuk ke tingkat pengadilan. Kondisi kelemahan difabel dikarenakan impairment seseorang acapkali menjadi sasaran “pemanfaatan” yang tidak
bertanggungjawab. Pihak kepolisian
yang masih awam mengenai isu disabilitas juga kerap keliru memperlakukan difabel berhadapan hukum.
Mereka bingung bagaimana berinteraksi dengan difabel dan tidak tahu cara penanganannya serta tidak tahu harus berjejaring dengan siapa untuk membantu kasusnya. Dalam
keadaan seperti ini, seringkali, pihak keluarga korban memilih jalan pintas. Dalam kasus pelecehan seksual misalnya, pihak keluarga
memilih menikahkan korban dengan pelaku kekerasan tersebut.
Menurut saya, hal ini membuat korban kembali menjadi korban. Melalui pernikahan, tindakan kekerasan sangat mungkin kembali terjadi. Korban kekerasan seksual/pemerkosaan sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan fisik apabila dinikahkan dengan pelaku. Ada faktor-faktor lain yang memungkinan jalan pintas ditempuh. Salah satunya adalah alasan kerentanan ekonomi keluarga pelaku.
Di Kota Makassar, menurut data PerDIK, kasus kekerasan seksual yang melibatkan difabel
sebagai korban sudah banyak terjadi, Dari sekian banyak itu, sebagian kecil yang berhasil masuk ke ranah kepolisian. Sepanjang
2017, tercatat oleh Tim Advokasi
PerDIK, terdapat 8 kasus.
Sebagai paralegal yang baru
belajar, ada banyak kendala dihadapi selama proses pendampingan. Salah satu adalah kesulitan
berkomunikasi dengan korban Tuli yang harus menggunakan bahasa isyarat. Tanpa
penerjemah bahasa isyarat, sulit bagi pendamping atau kuasa hukum korban
berkomunikasi dengan korban. Belum lagi jika jumlah kosakata isyarat dari
korban masih sedikit. Hal ini bisa menghambat proses penyusunan BAP. Tugas penerjemah
dilakukannya secara bertingkat, misalnya: penerjemahan secara bertingkat atau proses menerjemahkan keterangan korban kepada pendamping. Kemudian penerjemah akan menyampaikan
lagi kepada penerjemah
dengar yang menyampaikannya
kepada penyidik.
Tetapi, saat proses
pendampingan masih berjalan, rupanya muncul deretan kasus kekerasan seksual difabel lain di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Beberapa di antara korbannya adalah anak-anak. Melihat kenyataan ini, saya menyadari bahwa sangat penting mempersiapkan lebih banyak
lagi paralegal yang kedepannya akan menjadi Quick Respond
kasus-kasus difabel
berhadapan dengan hukum. Quick Respond
(Tanggap Cepat)adalah paralegal menjadi pihak yang
akan merespon informasi awal di mana
kasus terjadi, mengklarifikasi informasi kasus kepada pihak-pihak terkait
seperti Polrestabes dan Polda untuk selanjutnya berkoordinasi dengan tim yang
akan mendampingi kasus tersebut. Dengan lebih banyak paralegal, kasus-kasus di daerah yang
jauh dari Makassar akan bisa ditangani oleh tim advokasi.
Di PerDIK kami memikirkan hal
itu. Beruntung, saat ini PerDIK
mulai bekerjasama dengan SIGAB (didukung oleh Disability
Right Fund) untuk melaksanakan Pelatihan Paralegal. Melalui
pelatihan ini, upaya
membantu difabel dalam mengakses
hak-hak hukumnya dan memberi pengetahuan mengenai hak-hak mereka dalam hukum dapat terjadi.
Pelatihan ini setidaknya dipersiapkan sejak
November 2018, Tepatnya sejak tim advokasi PerDIK mendampingi kasus gadi
difabel Tuli yang menjadi korban penyekapan. Akhirnya, rencana pelatihan
paralegal terlaksana juga diawal tahun 2019. Saya salah satu peserta. Sekaligus
membantu panitia dalam menyiapkan sejumlah hal teknis.
Pelatihan [calon] Paralegal
Pada 22-24 Januari 2019, sebanyak 12 orang muda berkumpul di Aerotel Smile Makassar. Kami, ada yang difabel maupun non-difabel. Mereka adalah saya, Zakia (PerDIK), Fauziah Erwin (PerDIK), Muhammad Lutfi (PerDIK, aktivis difabel netra), Istiana, Rafi Zulfadli, Fadhilah Nuryanda Yasin (PerDIK, Juru Bahasa Isyarat), Dwi, Lutfi Pandi (Ketua PPDI Enrekang, Aktivis difabel kinetik), Daus (Ketua PerDIK Kabupaten Enrekang), Filemon (Gerkatin Makassar, Tuli), Faizah (Ketua Gerkatin Makassar, Aktivis Tuli) dan Andi Rezky Hardiyanti (Juru Bahasa Isyarat). Kami berasal dari beragam latar Pendidikan dan karakteristik yang berbeda. Dipertemukan dan dikumpulkan untuk satu tujuan yang sama: Fight for equal justice.
Foto bersama peserta Pelatihan Paralegal
Fasilitator penuh dalam pelatihan ini adalah Purwanti.
Ia adalah salah satu paralegal berpengalaman dari SIGAB. Kami memanggilnya mbak
Ipung, seorang difabel kinetik, menggunakan kursi roda untuk mobilitas
sehari-hari. Meskipun begitu, mbak Ipung
adalah orang yang cekatan dan sangat mandiri. Dalam pelatihan, mbak Ipung dibantu oleh mas Ulum agar pelatihan berjalan denganbaik. Mas
Ulum pun adalah salah satu paralegal SIGAB yang telah mendampingi banyak kasus
difabel berhadapan hukum bersama Mbak Ipung. Kami memanggilnya dengan panggilan
akrab Pak De.
Selama 3 hari, kami
berbagi pengalaman, pengetahuan dan tips mendampingi difabel berhadapan dengan
hukum. Yah kami orang-orang muda yang akan ikut berjuang bersama orang-orang
muda lainnya dalam memperjuangkan hak-hak
disabilitas/difabel sebagai kelompok rentan. Fokus pada isu-isu disabilitas/difabel
berhadapan hukum, Kami belajar strategi pendampingan, pemilihan Juru Bahasa
Isyarat, pendampingan psikologis dan pendampingan pasca kasus. Pendampingan
pasca kasus penting dilakukan agar membantu “korban” dan keluarga menata
hidupnya kembali pasca jatuhnya putusan hakim yang Inkracht. Bersama dengan teman-teman disabilitas/difabel (Buta, Tuli
dan Daksa) dalam pelatihan, memberikan pengetahuan lebih dalam lagi kepada kami
mengenai cara berinteraksi dan membantu mereka secara baik dan benar tanpa
membuat mereka tidak nyaman.
Mengenal Konsep Dasar Difabel
Karena latar belakang Pendidikan yang berbeda dan
pengalaman yang masih minim dalam proses pendampingan difabel berhadapan dengan
hukum, di awal pelatihan kami belajar mengenai konsep dasar
difabel dan kerentanannya. Bagaimana pandangan medis
berupaya mengenali dan memahami
difabel sebagai sebuah penyakit
atau permasalahan individu. Frase “sehat jasmani dan rohani” yang pada akhirnya
menjadikan difabel sebagai korban karena dianggap tidak sehat secara jasmani
dan rohani. Padahal, aspek yang belum banyak orang
pahami adalah pengertian dari sehat secara jasmani dan secara rohani itu
seperti apa.
Sehat secara jasmani adalah kondisi tubuh yang
bebas dari segala penyakit dan koordinasi organ tubuh dalam keadaan baik.
Sehingga membuat seseorang mampu menganalisa dan mengambil keputusan sendiri.
Sedangkan sehat secara rohani berkaitan dengan hati dan perasaan bahagia
ataupun tenang. Dalam agama Islam, bukankah penyakit hati ada selama manusia
memiliki perasaan iri pada sesama, membenci, mendendam dan lain sebagainya? Itu
artinya semua manusia tidaklah sehat secara rohani. Lalu mengapa hanya difabel
yang ditempatkan sebagai orang yang tidak sehat jasmani dan rohani?
Dalam pandangan sosial,
disabilitas dianggap sebagai gagalnya lingkungan mengakomodasi interaksi dengan
keberadaan difabel sehingga berkembang sikap masyarakat yang memandang difabel
sebagai objek “kasihan” atau objek “beramal”. Namun dalam perkembangannya, kini
keberadaan difabel bergandengan dengan wacana HAM sehingga kesulitan difabel
dalam mengakses ataupun berinteraksi dengan lingkungannnya dianggap sebaga
Pelanggaran HAM. Disinilah negara seharusnya berperaan lebih dalam menjamin
kesetaraan difabel dalam masyarakat.
Difabel sebagai kelompok rentan
Lebih jauh kami berdiskusi mengenai kelompok
rentan. Berfokus pada 3 kelompok yaitu: anak, perempuan dan difabel. Dalam
melihat kerentanan, tentu saja difabel mengalami berlapis kerentanan
dibandingkan perempuan dan anak. Terlebih jika ia adalah anak perempuan yang
difabel. Seorang difabel baik anak, perempuan bahkan laki-laki rentan menjadi
korban baik dalam keluarga, lingkungan maupun masyarakat (Negara). Dalam
keluarga, sebelum lahir pun difabel tidak memiliki “Hak Hidup”. Hal ini tertera
dalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 36 tentang Kesehatan yang menyebutkan salah satu
syarat sah melakukan aborsi adalah “Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi
sejak usia dini kehamilan baik yang mengancam nyawa ibu/janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupunyang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup diluar kandungan”.
Belum lagi anggapan-anggapan usang yang menyatakan bahwa difabel merupakan kutukan
dari kesalahan masa lalu sehingga menjadi aib keluarga. Pemikiran-pemikiran
inilah yang akhirnya menimbulkan diskriminasi, disembunyikan, tidak dicatat
sebagai anggota keluarga (tidak mendapatkan KTP ataupun terdaftar dalam KK).
Kerentanan lain difabel dalam keluarga adalah menjadi alasan diceraikan. Dalam
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 39 ayat 2 yang menguraikan salah
satu alasan perceraian adalah apabila salah satu mengalami cacat badan.
Hilangnya hak atas Pendidikan sehingga muncul label bahwa semua difabel itu bodoh, tidak mampu berfikir seperti masyarakat umumnya. Belum lagi ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitar, difabel rentan menjadi korban perundungan (bullying)karena kondisinya yang tidak dipahami orang lain. Masyarakat awam kerap menganggap mereka sebagai masyarakat kelas II yang hanya akan selalu berlaku sebagai penerima bantuan (Charity). Difabel rentan menjadi korban eksploitasi dan kekerasan seksual karena kondisinya seringkali dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Negara pun yang berkewajiban menjunjung tinggi hak, kesetaraan dan melindungi difabel tidak lepas dari tindakan diskriminasi terhadap difabel. Tidak diakuinya difabel sebagai “subjek hukum” adalah salah satu bentuk diskriminasi yang dilakukan negara sehingga keterangan/kesaksiannya dapat dengan mudah diragukan.
Abd. Rahman, Direktur PerDIK membuka kegiatan Pelatihan paralegal Difabel
Kiat-kiat menjadi paralega
Sebagai calon paralegal, kami belajar tips dan trik
untuk menjadi pendamping yang baik bagi korban difabel. Hal tersebut dimulai
dari:
Empati. Seorang paralegal harus memiliki empati yang
tinggi dan mampu membangun suasana yang nyaman bagi korban yang didampingi.
Sehingga tidak terjadi tekanan psikologis yang berlapis pada korban.
Pandaibertanya. Fungsi
seorang paralegal/penerjemah adalah menyederhanakan pertanyaan sesederhana
mungkin sehingga mudah dipahami oleh korban difabel. Mengingat level Pendidikan
setiap difabel berbeda sehingga analisis dan kosa kata yang mereka miliki
sangat terbatas.
Tidak
merendahkan.Hal yang patut dinngat bagi seorang paralegal
adalah agar tidak memberikan pertanyaan yang merendahkan harga diri korban
sehingga korban semakin merasa tertekan.
Menggunakan Media Komunikasi.Mengingat kosa kata difabel (mental intelektual/ Tuli)
sedikit, penting untuk menggunakan media komunikasi seperti Gambar/Menggambar,
Kalender, Boneka, Peragaan, menunjuk benda yang dimaksud, foto-foto dan
ekspresi wajah.
Merangkaikan
kata/kalimat/kisah yang terpotong. Paralegal/Penerjemah
berkewajiban membantu penyidik dalam menganalisa dan merangkai kata ataupun
kalimat yang disampaikan korban. Mengingat jenjang dan kualitas Pendidikan yang
tidak merata, sebagian korban difabel menjelaskan alur kejadian secara acak.
Tidak
memotong pembicaraan.Biarkan
korban menjelaskan semua yang ingin ia jelaskan terlebih dahulu baik itu
sejalur maupun tidak dengan pertanyaan yang diberikan. Lalu kemudian menanyakan
balik agar pertanyaan tidak keluar jalur terlalu jauh. Hal ini dikarenakan
kondisi difabel (mental intelektual/ Tuli) mudah terpengaruh lingkungan.
Mendengar,
Mengklarifikasi dan Menjeaskan. Memberikat pertanyaan yang sama namun dengan Bahasa
yang berbeda (untuk menghindari korban berbohong).
Perlu diingat bahwa pendamping bertugas membantu
untuk mengarahkan penyidik dan menjadi pendukung secara moril bagi korban
difabel sehingga harus memiliki sensitifitas yang baik karena kondisi
psikologis atau ekspresi traumatis difabel sangatlah berbeda dengan
non-difabel. Perlu diperhatikan, bahwa perubahan-perubahan
terkecil sekalipun pascakejadian dapat menjadi tanda traumatis. Hal ini dapat
ditanyakan pada orang tua maupun keluarga. Dengan begitu,
tugas Paralegal sebenarnya tidak hanya berfokus pada pendampingan korban, tapi
juga pada pendampingan keluarga baik dalam proses penyidikan maupun pasca
peradilan.
Di hari
pertama pelatihan kami menyadari kerentanan difabel sebagai korban. Namun tidak
menutup kemungkinan seorang difabel juga bisa menjadi pelaku. Saat posisi
difabel adalah seorang pelaku pidana, maka hal tersebut tidak serta merta
menjadikan ia bersalah. Difabel rentan menjadi pelaku pidana bukan hanya karena
dimanfaatkan, tapi juga karena sebelumnya ia adalah korban.
Dari pengalaman paralegal lain, kami dapat
mengetahui hambatan-hambatan maupun tekanan-tekanan yang mereka rasakan pada
saat mendampingi difabel berhadapan dengan hukum. Banyak kisah sedih, namun
juga banyak hal-hal lucu yang terjadi. Semua itu menyadarkan kami untuk lebih
berpikiran terbuka pada difabel, khususnya mereka yang berhadapan dengan hukum.
Di hari kedua, kami bermain peran dan memerankan proses pendampingan, penyidikan hingga peradilan saksi korban. Zakia (Penasehat Hukum Terdakwa), Rafi (Paralegal), Fadhilah (Interpreter/Penerjemah Bahasa Isyarat), Ibu Faizah (Tuli – Saksi Korban), Lutfi Pandi (Penyidik/Polisi), Daus (Jaksa Penuntun Umum), Istiana (Hakim Ketua), Filemon dan Dwi (Hakim Anggota), Nurhidayat (Panitera) dan Abd. Rahman berperan sebagai tersangka Pelecehan seksual.
Di awal, kami
masing-masing memerankan proses pengambilan keterangan oleh saksi korban dan
penerjemah kepada paralegal dan dilanjut dengan adegan pengambilan keterangan
saksi korban oleh penyidik. Dalam proses pemeriksaan, korban didampingi oleh
interpreter dan paralegal/kuasa hukum. Kesulitan yang kami alami dalam role play ini adalah pertanyaan yang
membuat paralegal tidak nyaman dikarenakan contoh kasus yang diperankan adalah
pelecehan seksual sehingga istilah yang digunakan cukup vulgar ditambah
sedikitnya kosa kata yang dipahami saksi korban Tuli sehingga pertanyaan-pertanyaan
paralegal harus ditsanyakan berkali-kali atau setidaknya disederhanakan oleh
penterjemah. Kemudian kesulitan yang dialami penterjemah adalah ketika
mendapatkan pertanyaan yang sulit untuk diterjemahkan kedalam Bahasa isyarat
karena memang belum ada Bahasa isyaratnya.
Dari dua adegan diatas, kami mempelajari bahwa dalam kasus pelecehan seksual/persetubuhan anak dibawah umur sebaiknya tidak melibatkan paralegal dan penyidik laki-laki agar tidak menambah tekanan psikologis atau rasa takut korban terhadap lawan jenis. Sebaiknya melibatkan paralegal dan penyidik perempuan agar korban merasa nyaman untuk bercerita. Selain itu, untuk memperkuat posisi paralegal, sebaiknya menyiapkan surat pelimpahan kuasa dari korban atau orang tua (korban anak) dan surat tugas dari Lembaga sehingga status dan kedudukan paralegal menjadi jelas dalam setiap proses yang berkaitan dengan kasus.
Bermain Peran Proses Beracara Pendampingan Difabel Berahadapan Hukum
Dalam adegan terakhir, kami memerankan proses
peradilan. Dalam proses ini, JPU meminta untuk tidak mempertemukan korban
dengan alasan menghindari tekanan psikologis (ketakutan) korban terhadap
terdakwa. Dengan pertimbangan tersebut hakim ketua memutuskan untuk tidak
memasukkan terdakwa kedalam ruang sidang selama saksi korban memberikan
kesaksian dan terus didampingi oleh paralegal dan penterjemah.
Dalam role
play ini, setiap peserta merasa antusias karena dapat melihat gambaran
proses pendampingan hingga peradilan dan juga mengetahui hambatan dan apa yang
sebaiknya dilakukan. Kami menjadi lebih paham mengenai posisi dan tugas mereka
sebagai paralegal sehingga membuat peserta lebih bersemangat lagi. Meskipun
dalam praktiknya tentu saja tidak semudah dalam bermain peran. Tantangan dan
hambatan akan muncul lebih banyak. Sehingga kami juga berlatih untuk siap secara
fisik dan mental menghadapi setiap proses pemeriksaan hingga peradilan yang
akan menguras begitu banyak tenaga dan emosi. Sehingga penting untuk selalu
sehat dan ikhlas dalam menjalankan tugas. Kami muda, kami berjuang!
Pasca pelatihan
Pasca pelatihan, Tim Advokasi PerDIK siap
melanjutkan tugas pendampingan terhadap 2 kasus difabel berhadapan dengan hukum
dengan Tuli sebagai korban. Dalam prosesnya, kami tidak berjalan sendiri,
PerDIK membangun jejaring dengan pihak-pihak yang pro terhadap difabel seperti
LBH Makassar, P2TP2A, Dinas Kesehatan, ABDI dll. Kami berkomitmen untuk
mengawal kasus-kasus tersebut tidak hanya sampai jatuhnya putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap, melainkan juga setelahnya. PerDIK akan membangun
kerjasama dengan DPO lain untuk memberikan Pendidikan dan pelatihan terhadap
korban-korban kekerasan guna tidak lagi menjadi korban dikemudian hari dan bisa
sedikit demi sedikit mengurangi resiko terjadinya kekerasan terhadap difabel
lain[].
Setiap orang berhak protes atas ketidakadilan. Itu merupakan tanda ada pemikiran kritis yang bekerja di kepala kita. Cepat atau lambat setiap yang mapan, setiap yang normal, akan mendapat gugatan.
Pengetahuan berbasis ideologi kenormalan adalah akar ketidakadilan atas tubuh individu dan tubuh sosial. Pemilahan sosial terjadi, jika tidak normal maka abnormal, jika tidak natural, maka deviant. Relasinya menjadi timpang. Satunya diperlakukan adil, lainnya tersingkir.
Bookface: The only disability in life is a bad attitutde
Para devian diperlakukan sebagai orang jajahan orang-orang normal. Padahal, jika ditelaah lebih serius, mereka yang merasa ‘organ’nya lengkap, ‘tubuh’nya normal, itulah justru ketidaknormalan ‘diri’ paling hakiki. Kenormalannya diukur dari satu aspek manusia yang sejatinya kompleks.
Para penyandang kenormalan berpikir sempit ini, dikarenakan segala privelege atau kemudahan yang diterimanya mendesain apapun berdasarkan kesempitan cara pikirnya menciptakan kesulitan demi kesulitan. Mereka memang membangun dan memiliki rumah megah, stadion kokoh, gedung mentereng, ruang publik indah, dst. Tapi semuanya hanya untuk mereka sendiri. Dia atau kamu yang dianggap liyan, abnormal, cacat, cukup di rumahmu saja. Syukur-syukur jika tidak dipasung dengan rantai atau balok kayu.
Akibat ketersingkiran dan akhirnya kemenderitaan itu, para penjajah yang merasa berwajah baik mengalirkan segala macam kemasan bantuan, santunan, amal, dst. Berulang-ulang dan menjelma menjadi teknologi kuasa penjajahan baru atas nama kenormalan, bahkan kadang sering berwajah agama. Anjuran syukur dan sabar menjadi tuitan paling trending di ruang kolonial ini. Jika bukan untuk membungkam kaum tertindas, maka anjuran itu demi menjaga kemapanan yang telah terlanjur begitu nyaman bagi yang merasa diri normal.
Lalu muncul kesadaran baru. Penjajahan atas nama kecacatan, keliyanan, dan abnormalitas harus dihentikan. Pemikiran dengan paradigma tandingpun disusun, metodologi memahami realitas bermunculan, dan perlawanan demi perlawanan mulai diterapkan.
Belakangan, kita mulai melihat perlawanan itu di beberapa tempat: privat dan publik. Orang-orang yang selama ini nyaman dalam posisi sebagai normal, tidak sadar telah menindas, mulai membuka pikirannya. Sumbatan demi sumbatan yang berkarat mulai dikerik atau diminyaki. Pendulum politik mulai bergeser.
Kami di PerDIK adalah bagian dari subjek yang melawan itu. Sejak dua tahun ini, kami menghimpun aneka literasi perlawanan dari mana saja, siapa saja, dalam bentuk apa saja. Dengan cara yang dianggap sopan atau nakal, canda atau serius, individual atau massif, mendasar atau instrumental dst[].
Asian Para Games 2018 di Jakarta telah lewat. Sebuah event besar yang memberi kesempatan para atlet difabel se-Asia berunjuk nyali. Sebuah acara hebat yang diharapkan dapat mewakili kepentingan teman-teman difabel, baik kepentingan untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi, ataupun memperoleh kemudahan aksesibilitas fisik dan nonfisik selama berlangsungnya pesta olahraga ini.
Di tengah-tengah event istimewa inilah saya berada di beberapa hari pada bulan Oktober 2018 lalu. Dalam pesta olahraga yang luar biasa ini, saya bertugas di cabang olahraga wheelchair basketball, persis saat pertandingan final putra yang super ketat, penuh kontak fisik kasar, dan kejar-kejaran nilai yang mendebarkan di sepanjang pertandingan antara Iran melawan Jepang yang akhirnya berhasil dimenangkan tipis 68-66 oleh Iran.
Bagi
saya, keterlibatan sebagai juru bahasa Inggris dalam perhelatan akbar Asia ini
adalah satu titik dari sekian ribu titik bentuk interaksi saya dengan
kawan-kawan difabel. Berinteraksi secara intens dengan teman-teman tunanetra sejak
tahun 2002 telah membuat saya beradaptasi dengan cara berpikir dan sudut
pandang mereka, yang cara berpikir dan sudut pandang itu kemudian masuk ke
pikiran bawah sadar saya, menjadi kebiasaan saya sendiri setiap kali
berinteraksi atau terlibat dalam hal apa pun yang berkaitan ataupun tidak
berkaitan langsung dengan tunanetra dan sahabat difabel lain. Termasuk saat
saya bertugas sebagai juru bahasa di Asian Para Games 2018 yang lalu. Di sana,
saya pun menggunakan sudut pandang, cara berpikir, dan perasaan tunanetra, di
samping cara berpikir, sudut pandang, dan perasaan saya sendiri sebagai seorang
awas yang sedang bertugas sebagai juru bahasa.
Relawan audio deskripsi. (Foto: UEFA)
Nah, satu hal yang saya rasakan hilang atau kurang dalam event besar ini adalah keberadaan audio describer. Tidak ada seorang audio describer atau seorang yang menjalankan tugas audio description di acara ini. Sebenarnya, jajaran staf yang dibutuhkan dalam event untuk difabel semacam ini bukan hanya volunteer untuk atlet serta juru bahasa untuk atlet, official, dan penonton. Tapi juga audio describer, khususnya untuk penonton tunanetra. Tanpa adanya seorang audio describer, tunanetra tidak akan dapat menikmati jalannya pertandingan secara utuh dengan baik.
Bayangkan kalau kita adalah tunanetra, saat kita mendengar hentakan musik meriah yang mengiringi tari-tarian pada acara pembukaan, tentu kita ingin tahu, ke manakah ratusan penarinya bergerak membentuk formasi? Ke tengah atau pinggir panggung? Bagaimana model, warna pakaian dan dandanan para penyanyi dari negara tetangga? Apa atraksi yang mereka lakukan yang membuat penonton satu stadion berdecak kagum dan berteriak histeris?
Kita juga ingin tahu, sejauh apa Zhang Lijun, atlet andalan putri China di cabang olahraga sitting volleyball dapat melemparkan bola, apakah bisa sampai ke tengah-tengah penonton?
Kita penasaran, bagaimana perawakan atlet balap sepeda tunanetra Indonesia Sri Sugiyanti dan pilotnya, Ni’mal Maghfiro yang berhasil meraih empat medali? Apakah mereka tinggi berotot, atau kecil tapi lincah?
Kita penasaran, bagaimana caranya para atlet dan official Iran saling bantu membopong seorang rekannya sampai dia bisa memanjat ring basket dan berpose di atasnya untuk merayakan kemenangan gemilang timnya? Tanpa ada seseorang yang memberi tahu secara detail kepada kita tentang itu semua, tentang segala keseruan, kelucuan, keharuan, bahkan mungkin keributan antara wasit dan pemain, kita tak akan bisa sepenuhnya larut dan menikmati kegembiraan suasana pesta olahraga yang sebenarnya sangat meriah dan menghibur ini.
Bila kita sebagai tunanetra tidak bisa menikmati secara detail, lalu apa nikmatnya “menonton” sebuah pertandingan olahraga? Apa serunya datang ke pesta olahraga yang katanya mengakomodir kepentingan difabel?
Memang betul, di Para Games kemarin, banyak teman-teman tunanetra yang datang dalam rombongan dan sudah memiliki pendamping sendiri. Tapi jumlah pendamping dalam rombongan itu sendiri jauh lebih sedikit daripada jumlah tunanetra, dan mereka tidak akan bisa menjelaskan jalannya acara secara detail dan efektif kepada begitu banyak tunanetra yang mereka dampingi, yang mungkin jarak duduk antara tunanetra dan si pendamping pun berjauhan.
Paling banter, para pendamping ini hanya bisa menceritakan jalannya acara kepada tunanetra yang duduk di kiri-kanannya saja.
Tentu
akan jadi solusi yang melegakan dan menyenangkan bila ada seseorang yang melakukan
tugas audio description ini. Tugas
ini bisa dilakukan oleh seorang audio
describer profesional untuk tunanetra. Tapi sebenarnya seorang MC pun dapat
melakukan tugas ini. Berbekal niat baik dan dengan menggunakan sudut pandang
sebagai tunanetra, MC dapat menambahkan berbagai keterangan menarik tentang hal-hal
detail yang terjadi, selain memaparkan jalannya acara secara umum.
Keberadaan audio describer sangatlah penting sebagai salah satu wujud kemudahan aksesibilitas, khususnya untuk penonton tunanetra. Dengan demikian, pesta olahraga difabel tidak hanya bisa dinikmati oleh nondifabel, tapi terutama juga oleh difabel itu sendiri. Jangan sampai pesta olahraga difabel malah tidak diapresiasi dan menimbulkan kekesalan di hati difabel, karena bahkan event istimewa yang konon diperuntukkan bagi para difabel ini pun tetap tidak berpihak pada kepentingan sahabat kita, para difabel.