“Halo, Khan. Apakabar?” Adit, kordinator Aksi Kamisan Karawang, menelponku.
“Baik, lu sendiri gimana, dit?”
“Gue juga baik. Jadi gini, kita sampe sekarang belum dapet
isu apa yang mau diangkat buat besok kamisan. Gimana kalau kita angkat isu
disabilitas aja? Ucup nyaranin gue buat ngangkat isu yg perna ada di artikel lu.”
“Artikel gue yang pertama bukan? Yang ‘Ableisme: Definisi dan Bahayanya’?”
“Bukan. Tapi artikel lu yang kedua.”
“Oh, yang ‘Disabilitas Dalam Media: Belas Kasihan Sebagai
Barang Dagangan.’?
“Iya, betul!”
Pupil mataku
membesar. Ekspresi sumringah tumpah ruah. “Ahh, inilah yang
kutunggu-tunggu,” kataku dalam hati.
“Wah,
bagus tuh, Dit.”
“Nah, iya. Jadi intinya mah bisa ngga lu tolongin gue
bikinin rilisan kamisan? Soalnya gue ngga gitu ngerti isu disabilitas.”
“Iya, dit. Bisa kok. Tapi maaf iya kalau rilisan yang gue
tulis kurang bagus. Soalnya gue ngga terbiasa menulis rilisan.”
Malam itu juga, Rabu, 19 Juni, lewat pukul sepuluh, aku menulis rilisannya. Lalu besoknya aku meluncur ke taman I Love Karawang. Sesampainya disitu aku bertemu Tedy, lalu tak beberapa lama kemudian muncullah Adit dengan membawa payung-payung dan spanduk hitam.
Angin bertiup
lembut. Rona petang membuat tenang. Hangat menyeruak dan jemu rusak. Suasana yang
enak.
Di suasana yang enak itu Adit berujar, “Anggap aja ini
sebagai tonggak awal perjuangan disabilitas di karawang,” ia melanjutkan
“Di lain waktu, kita musti mengajak teman-teman disabilitas
yang lain untuk ikut berjuang bersama.”
“Iya,
betul itu, dit,” kataku seraya mengangguk.
Lalu tak beberapa lama kemudian teman-teman yang lain datang. Kami maju ke depan dan memegang payung hitam. Melihat kendaraan yang kencang berlalu-lalang. Beberapa orang yang lewat memperhatikan: antara penasaran dan keheranan.
Pamflet Aksi Kamisan
Sekitar pukul
17:00 sesi memegang payung selesai. Dimulailah sesi diskusi. Semua peserta
duduk bersila, kecuali aku duduk di kursi roda.
“Siapa yang mau buka diskusinya, dit?”
“Lu aja. Lu kan ngerti isu ini.”
“….Oke,
Assallamuallaikum warohmatulohi wabarokatu,” aku melanjutkan.
“hari ini kita menjalani aksi kamisan karawang yang ke 109
tertanggal 20 Juni 2019. Isu yang kita angkat hari ini adalah ‘Disabilitas
Dalam Media: Belas Kasihan Sebagai Barang Dagangan.’
Itu berasal dari artikel saya yang berjudul serupa. Pada intinya
adalah media masih belum adil dalam mencitrakan penyandang disabilitas. Media
kerap kali mencitrakan disabilitas sebagai lemah, inferior, dan tidak punya
martabat sebagai manusia. Hal-hal ini menciptakan belas kasihan. Belas kasihan
ini jelek karena menciptakan relasi superior-inferior. Hubungan
superior-inferior. Pihak yang memberi belas kasihan merasa dirinya superior
sementara pihak yang diberi belas kasihan yaitu penyandang disabilitas
dipandang inferior.
Relasi superior
– inferior inilah yang membuat orang “normal” mendominasi segala sektor
kehidupan. Sementara penyandang disabilitas semakin terpinggirkan. Sebagai
contoh jika kita lihat di DPR, itu cuma ada kaum normal. Ngga ada itu kaum
disabilitas.
Belas kasihan adalah wacana. Sebagai wacana ia tidak bisa dibunuh. Karena ia bukanlah mahluk hidup. Wacana juga tidak bisa dihancurkan karena ia bukanlah barang. Yang bisa kita lakukan adalah melawan wacana diskriminatif dengan menawarkan wacana tandingan yaitu wacana kesetaraan. Itu saja dari saya.”
Suasana Aksi Kamisa, Karawang
Lalu datanglah
riuh tepuk tangan meriah. Orang-orang yang sebelumnya bermuka serius menyimak,
jadi bermuka sumringah. Senyum tumpah ruah.
Lalu Adit dengan bersemangat menanggapi.
“Kalau
menurut saya benar ya apa kata Arkhan itu. Segala sektor didominasi oleh kaum
normal. Termasuk sektor politik. Di dalam kehidupan bernegara tidak kenal
istilah ‘disabilitas’ dan ‘orang normal.’ Semua orang setara dan berhak hidup
tanpa mendapat diskriminasi…..,”
Suasana
bertambah seru. Ada langkah kaki sepatu sneakers. Ternyata itu Rizky. Ia baru
datang. Setelah Adit berhenti mengutarakan pendapatnya, Rizky ikut menambahkan.
“Kalau
menurut saya pribadi sih ya, disabilitas itu setara dengan orang normal. Cuma
cara hidupnya aja yang beda…”
Di hari itu,
kamis tanggal 20 Juni 2019, aku merasa bahagia. Senyum timbul berangsur-angsur,
pesimisme hancur, dan semangat untuk terus aktif di dunia pergerakan terus
menyala tak padam dan tak kenal karam!
Dari aksi
tersebut juga, para peserta kamisan yang tidak begitu paham isu disabilitas,
bisa bertambah pengetahuannya. Ini membuat mereka tergerak untuk melawan
penindasan terhadap kaum disabilitas[].
_____________________________________
Pamflet Aksi Kamisan Karawang dibuat oleh: Hilman
PERTAMA KALI MENGENALNYA di Jakarta pada 2005. Saya sekos dengannya di sekitaran Jl. Salemba. Kami sedang mengikuti kursus bahasa Inggris. Selama beberapa bulan, setiap ke Kampus UI, saya bergandengan tangan dengannya.
Mesra? Ia tentu
saja.
Menyusuri
lorong-lorong sekitaran Salemba Bluntas sampai kampus UI itu jaraknya sekitaran
lebih satu kilometer. Menurut saya saat itu, Joni seorang humoris, periang,
tapi belakangan saya mengenalnya sebagai aktivis yang
serius.
Pertemanan Joni saat itu merupakan kali pertama saya mengenal ada gerakan
sosial dengan isu difabel. Istilah itu asing di telinga saya. Berbeda kalau
mendengar kata cacat, saat itu jauh lebih familiar
rasanya.
Malam
hari, saat kami sama-sama belajar, Joni akan membaca buku-buku berhuruf braille.
Saya meraba lembaran-lembaran putih itu beberapa kali.
Saya sama
sekali tak paham. Buku-buku Joni yang disediakan oleh Pusat Bahasa UI
selalu lebih tebal. Jika saya punya lima buku, maka setelah buku itu dicetak
braille, jumlahnya bisa berkali 3 atau 4. Jadi, tumpukan buku-buku pelajaran
bahasa Inggris di kamarnya bisa setinggi satu meter.
Saat
itu ia juga sudah mulai menggunakan perangkat pembaca layar pada laptopnya.
Setiap teks yang muncul di layar akan menjelma menjadi suara. Seringkali ia
menggunakan headset agar tak
mengganggu orang lain. Ia melakukan banyak hal dengan cara berbeda. Katanya
suatu hari, ia juga menandai baju dan celananya dengan tanda tertentu yang
membuatnya tahu mana pasangan dari setiap helainya.
Pernah
suatu sore, kami pulang sama-sama. Jalanan ramai pejalan. Di sisi kiri kanan
banyak toko dan penjual. Tiba-tiba ia mengajak berhenti.
“Mas,
kita beli gorengan dulu,” katanya. Saya berhenti, menatap penjual tahu isi
yang sedang menggoreng. Jika ia mengandalkan suara mestinya ia tidak dengar
seperti saya tak mendengar suara minyak mendidih.
“Lo
kok kamu tau Jon ada penjual gorengan di sini,” kataku heran. Dia tak
menjawabnya, kami mendekat dan kami pun memesan beberapa
ribu.
Belakangan
ia bilang menandai undakan di jalan itu. Lagi pula, mungkin
ia
sudah pernah singgah sebelumnya dengan kawan yang lain,
sangkaanku.
Joni memiliki tongkat putih dan selalu membawanya. Tapi di rumah kos maupun di ruang-ruang belajar di Pusat Bahasa, saya lihat ia jarang memakainya. Ia sudah terbiasa berjalan sendiri, melangkah pelan tapi dengan arah yang benar. Sesekali ia menabrak kursi atau apa saja yang ada di depannya. Biasanya benda-benda itu tidak berada di posisi sebenarnya. Seseorang mungkin menggesernya dan tidak mengembalikan ke posisi semula.
Pak Mansour Fakih dan Joni Yulianto
DALAM DUNIA
AKTIVISME difabel, Joni bukan hanya seorang pengorganisir tapi ia juga pemikir
dan konseptor. Ia menulis beberapa tulisan penting bagi aktivis difabel. Tulisan-tulisan
pendek yang berangkat dari pengalaman dan refleksinya dalam aktivisme
difabel.
Selain itu dia menulis dua tesis dari dua universitas berbeda. Satunya di Leeds
University di mana ia digembleng oleh Professor Colin Barnes, seorang
akademisi aktivis yang turut menggagas pendekatan model sosial disabilitas. Tesis
satunya ia tulis di Lee Kuan Yew School of Public
Policy di singapura. Tesis pertama itu soal gerakan difabel di Indonesia, dan
saya pernah membacanya. Tesis kedua saya sama sekali tidak pernah melihat
apalagi membacanya.
Masih dalam dunia aktivisme, beberapa tahun lalu ada seorang kawan bilang, kalau Joni itu anak ideologisnya Mansour Fakih. Mansour adalah intelektual yang memperkenalkan istilah Difabel pertama kali. Tapi istilah itu bukan hanya berasal dari pikiran tunggal Pak Mansour Fakih (1953 – meninggal 2004). Rumusan pemikirannya merupakan buah dari diskusi intensif dengan sejumlah aktivis penyandang cacat saat itu. Di tahun-tahun 90-an, khususnya menjelang Republik ini merumuskan UU Penyandang cacat tahun 1997, istilah cacat sangat lazim digunakan, walau kritik terhadap maknanya yang miring juga sudah mulai disuarakan. Ketunaan adalah istlah lain yang maknanya juga sebenarnya tidak cukup positif, rugi atau merugi.
Mansur memperkenalkan istilah difabel melalui tulisan berjudul “Panggil saja kami Kaum Difabel”. Tulisan itu kemudian di terbitkan oleh INSIST Press dalam buku Mansour Fakih berjudul ‘Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik’, 2002.
Buku Jalan Lain (Mansour Fakih)
Kalau Joni
anak ideologis Mansour Fakih, maka bisa dibilang bahwa Joni ini anak ideologis
yang patuh pada bapaknya. Pasalnya, sejak 2003 saat Joni dkk mendirikan SIGAB,
kata difabel itu sudah dipakai dan tetap dipakai hingga saat ini. Sigab kependekan dari Sasana Integrasi dan Advokasi
Difabel, namun karena konsep integrasi mulai ditingglkan dan Sigab mulai
mempopulerkan konsep inklusi, maka kata integrasi dalam nama organisasi ini pun
berganti menjadi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel.
Tapi
apakah hanya sebatas itu? Apakah pemikiran anak dan bapak seideologis ini sama
atau yang satu lebih canggih dari yang lain? Sulit menjawabnya.
Saya
beruntung bisa mengakses tulisan-tulisan kedua suhu ini. Mansour pada
era 90-an sampai awal 2000-an menulis beberapa artikel terkait difabel dan Joni
pun demikian pada era pertengahan 2000-an dan 2010-an. Membandingkan
kedua pemikiran aktivis ini tentu sedikit banyak bisa menjawab pertanyaan di atas.
Mari kita coba.
Supaya
tulisan ini tidak panjang, saya menyarikan saja poin-poinnya. Sebelumnya mari
kita pilah penjelasan
atau pemikiran keduaya dengan beberapa pertanyaan pemandu. Pertanyaan utamanya
‘bagaimana
kedua penulis ini melakukan problematisasi disabilitas/difabel dan merumuskan
jalan
keluar dari kondisi yang sedang dihadapi difabel.
Apa permasalahan Difabel?
Mansour
Fakih menguraikan bahwa Permasalahan Difabel adalah terjadinya diskriminasi
yang disebabkan oleh bekerjanya Sistem Produksi Kapitalisme yang di dalam
sistem itu melekat watak ketidakadilan. Jadi difabel menjadi pihak yang
merasakan watak kapitalisme yang tidak adil pada sebagian warga tertentu.
Sementara Joni Yulianto menguraikan bahwa Diskriminasi terhadap difabel terjadi
di seluruh sektor penghidupan warga yang berakibat pada terciptanya kondisi subordinasi,
inferior (rasa rendah diri), miskin dan terabaikan.
Sebab terjadinya masalah?
Menurut
keduanya, sebab-sebab yang menghadirkan masalah difabel ini dikarenakan oleh
banyak hal. Mansour Fakih menguraikan bahwa persoalan difabel
ada karena
akademisi, birokrat, dan sejumlah ahli atau tokoh menggunakan teori dan
Analisa Modernisme, Liberalisme, Kapitalisme, dan Positivisme dalam melakukan
‘Problematisasi’ atas realitas Penyandang Cacat (menggunakan istilah lama yang
masih dipakainya saat itu). Problematisasi yang dimaksud di sini adalah upaya
mengenali realitas dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh difabel.
Setelah
menyimpulkan telah mengenali fakta-fakta kecacatan itu, menurut
Mansour, para
ahli ini melakukan Teknikalisasi atau upaya meerumuskan jalan keluar seperti apa
yang paling tepat. Bagi Fakih, teori-teori yang digunakan dalam melakukan
problematisasi akan menghasilkan solusi yang tak jauh dari upaya-upaya pengentasan
Kemiskinan (miskin karena rendah sumberdaya). Dalam pandangan
modernisme dan liberalisme, kemiskinan, sayangnya dianggap sebagai
problem
individual yang tidak bisa memanfaatkan bekerjanya pembangunan. Tipe menyalahkan
korban menjadi corak dari para ahli atau aparatus negara.
Bagaimana
dengan cara pandang Joni dalam menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan diskriminiasi,
subordinasi dan kerendahdirian itu? Pandangan Joni di sini menunjukkan sisi
aktivismenya sebagai aktivis difabel. Ia menguraikan bahwa akar diskriminasi
itu adalah kuatnya pengaruh paradigm medik, atau dalam kajian difabilitas disebut
medical model of disability. Pandangan
ini menurut Joni disetir oleh WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia.
Joni
menyatakan bahwa pendekatan medik selalu terlalu jauh masuk ke konteks-konteks
non-medik. Misalnya, jika saat ini konsep ICF menjadi pendekatan yang paling
dominan dipakai, itu karena institusi medik selalu berupaya memperbaiki
pendekatannya. Apa yang tidak disepakati Joni adalah pendekatan ICF ini tetap
memasukkan asumsi bahwa ada keterkaitan langsung antara disfungsi tubuh/mental
dengan mobilitas aktivitas dan partisipasi sosial. Jadi, fokus probelmatisasi
maupun teknikalisasi disabilitas selalu yang utama adalah pada individunya,
organ maupun tubuhnya, sehingga rekomendasi yang diputuskan untuk mengatasi
soal-soal difabel adalah melalui pendekatan medik-rehabilitatif, SLB dan
pemberian layanan-layanan maupun perlakukan-perlakuan khusus lainnya.
Joni dalam salah satu aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Yogyakarta, 2015
Langkah apa yang perlu diambil?
Mansour
Fakih menganjurkan agar Akademisi, birokrat, dan aktor-aktor penting dalam masyarakat
tidak lagi menggunakan pendekatan mainstream dalam menganalisis permasalahan
atau diskriminasi atas difabel. Ia menawarkan agar aktivis mulai menggunakan
Pendekatan Kritis, yakni melihat pada sistem dan struktur relasi kuasa antara
mereka yang disebut ‘normal’ dan mereka yang disebut ‘cacat’ atau abnormal.
Sementara
Joni menwarkan gagasan yang lebih praktis, yakni aktivis atau siapapun yang
peduli pada isu difabel sudah saatnya meninggalkan konsepsi ‘kecacatan’ yang
dianggap lemah dari aspek kegagalannya melihat keberadaan faktor di luar
individu sebagai bagian yang sangat menentukan dalam pencapaian aktualitas
sosial seseorang. Kemudian Joni juga menyebutkan bahwa konsepsi kecacatan itu sangat
dekat dengan ‘normalisme’ yang didesain oleh para professional medis dengan
standar keilmuan sepihak dan menimbulkan sejumlah label negatif bagi orang yang
dilabeli cacat.
Menurut
Joni, konsepsi kecacatan ini sebenarnya tidak konsisten dengan konsepsi
teologis yang menempatkan manusia sebagai makhluk Tuhan—jika ciptaan Tuhan
disebut rusak, cacat, maka itu sama dengan menyebut Tuhan tidak sempurna. Joni
kemudian menawarkan cara pandang social model of disability dalam memahami
permasalahn difabel. Baginya, dengan menggunakan pendekatan ini, maka tidak ada
korelasi langsung antara disfungsi fisik dan mental (impairment) dengan kondisi
beraktivitas berpartisipasi di ranah sosial.
Keyakinan
Joni, kondisi kerentanan yang dihadapi difabel sesungguhnya adalah dampak dari kegagalan
masyarakat, lingkungan serta negara dalam mengakomodasi keberadaan atau
eksistensi difabel. Selain itu, untuk memperkuat capaiannya, maka aktivis perlu
mulai mengedepankan pendekatan HAM—khususnya setelah UU No. 8 tahun 2016
disahkan karena melalui pemenuhan hak ini kondisi kerentanan difabel dapat
diatasi.
Jika pendekatan Pak Mansour dan Joni dipakai
apa yang akan diperoleh?
Ketika
pendekatan kritis yang ditawarkan Mansour digunakan,
menurutnya pendekatan ini dalam menelaah isu difabel akan membuat
kita memahami bekerjanya sistem ketidakadilan melalui: Pertama, terjadinya
diskriminasi
ekonomi (di mana difabel tidak bisa bekerja di sektor formal); kedua, subordinasi
dan marjinalisasi (difabel sebagai kelas dua); ketiga, pelabelan negative
(difabel tidak produktif, dibantu terus menerus); keempat, terjadi kekerasan (di
mana sarana publik yang tertutup), dan [5] sempitnya akses sosial dan budaya
serta fisik bagi difabel.
Bagaimana
dengan tawaran pendekatan yang dipaparkan Joni? Apa yang diperolehnya ketika
pendekatan itu dipakainya dalam analisis kehidupan difabel? Pertama, konten
kebijakan yang diskriminatif terhadap difabel; misalnya—Joni
mengambil contoh di bidang politik, di mana terdapat diktum ‘sehat jasmani dan
rohani’ dalam peraturan pemilu yang banyak menjadi syarat
politik untuk menjadi pemimpin publik dan ketentuan-ketentuan di bidang sosial,
ekonomi, hukum dan lain-lain. Kedua, ketiadaan aksesibilitas baik fisik,
non-fisik, informasi/intelektual bagi difabel dalam mengakses berbagai bentuk
layanan publik oleh baik oleh negara, sektor swasta maupun masyarakat. Mulai
dari layanan kesehatan, pendidikan, hukum, ekonomi, politik/pemilu dan
seterusnya. Ketiga, masih kuatnya cara pandang banyak anggota masyarakat yang
stigmatik kepada difabel. Hal ini kemudian membentuk praktik budaya tertentu di
masyarakat, mulai dari sistem perawatan difabel seperti spiritual healing,
sampai kepada praktik “kekerasan” seperti pemasungan, pengurungan bahkan
pengusiran. Keempat, kuatnya dominasi medik bisa dilihat dari sejumlah praktik
layanan pemerintah seperti panti rehabilitasi fisik dan mental, sekolah luar
biasa, dll.
Setelah memahami Realitas Difabel, apa
yang harus dilakukan?
Mansour
mengatakan bahwa aktivis harus membongkar cara pandang akademisi, birokrat, dan
masyarakat yang menggunakan pendekatan mainstrream (pembangunanisme,
modernisme) melalui produksi pengetahuan dan wacana tanding (counter-hegemony).
Kedua, kerja pemberdayaan difabel (dengan skema empowerment) baik melalui
pelibatan difabel dalam Advokasi kebijakan maupun pengorganisasian difabel
harus terus dilakukan dalam aktivisme. Ketiga, aktivis menerapkan sistem pendidikan
yang membangun kesadaran Kritis’ secara luas bagi masyarakat (khususnya
non-difabel). Keempat, aktivis perlu menggerakkan pengimplementasian Kota Ramah
Difabel, dan mendorong penegakan hukum atas pelanggaran hak difabel (law
enforcement).
Pada masa Mansour menulis analisis ini, solusi senada
yang
ditawarkan juga populer untuk isu lain semisal ketimpangan peran gender.
Lalu
apa yang ditawarkan Joni? Joni menawarkan:
Pertama,
aktivis mengadopsi konsepsi difabilitas sebagai bentuk tindakan dekonstruksi konsep
kecacatan yang dominan, baik yang dipakai oleh negara (birokrasi), akademisi,
maupun anggota-anggota masyarakat.
Kedua,
aktivisme melakukan pengorganisasian difabel di tingkat akar rumput,
kaderisasi, pembekalan keterampilan teknis dan seterusnya demi meluasnya
penerimaan diri sebagai difabel yang berdaulat atau bermartabat dan bersedia
bekerja bersama untuk melawan segala bentuk praktik diskriminatif dst.
Ketiga
aktivis perlu melakukan kritik atau advokasi kebijakan, baik dalam mengubah isi
kebijakan (melalui skema legal drafting, juridicial review, studi kebijakan,
dst) maupun struktur kebijakan (memastikan birokrasi memberi layanan
aksesibel).
Berupaya menyimpulkan
Setelah membaca tulisan-tulisan keduanya, saya menyimpulkan bahwa pemikiran atau ketajaman analisis yang dirumuskan Joni mengenai fakta-fakta difabilitas lebih mengena (kontekstual) dan mengikuti alur berpikir gerakan difabel yang juga bergulir di luar negeri, seperti Inggris yang digerakkan oleh UPIAS. Jika basis analisis Mansour Fakih adalah kritik terhadap cara pandang mainstream dalam hal ini ‘paham modernisasi’ yang merupakan pengejawantahan dari ideologi [neo] liberalisme dalam sistem ekonomi di Indonesia, maka analisis Joni menandaskan bahwa persoalan marjinalisasi, eksklusi hingga pemiskinan difabel adalah konsekuensi dari paham atau cara berpikir ‘kenormalan’ atau Normalisme yang dipetik dari paradigma medik.
Walaupun Mansour dan Joni mengkritik cara pandang pengusung wacana mainstream yang menempatkan difabel (individu) sebagai pusat masalah—meminjam istilah Mansour ‘menyalahkan korban’—tetapi rujukan teoritis Joni dalam mencari jalan keluarnya bukan [sekadar] kepada praktik kapitalisme yang di dalamnya melekat sumber ketidakadilan terhadap difabel. Joni menggunakan pendekatan model sosial dan mengkritik keras padangan difabilitas dari sisi medik (Model Medik).
Analisis Joni menjadi lebih mengena ke persoalan-persoalan sehari-hari difabel. Ia kemungkinan dipengaruhi oleh Inggris, di mana perjuangan melawan rezim kebenaran berjalan simultan dalam mengubah sendi-sendi kebijakan negara dan masyarakat Inggris. Inggris merupakan salah satu negara yang memiliki aturan spesifik terkait perlindungan hak-hak difabel dalam regulasinya, yakni Discrimination Disability Act pada 1995 dan terus-menerus mengalami penyempurnaan—pada 2005 dan lima tahun kemudian menjadi Equality Act 2010.
Nah,
penjelasan panjang lebar di atas itu, jika anda misalnya teman Joni, apa yang
anda lakukan? Apakah anda sependapat dengannya, ingin mengadopsi pikiran-pikiran
dan sepak terjangnya, ataukan mengkritik dan menantangnya dengan
rujukan-rujukan pemikiran yang lebih baru atau apa? Silakan jawab dalam hati
saja, atau jika anda ingin menjawabnya, silakan melalui tulisan atau ajakan
berdiskusi.
Kalau
saya, saya hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Mas Joni. Panjang Umur,
sehat selalu dan umur panjang pergerakan difabel Indonesia!
Hai, aku Balqiz. Nama lengkapku Balqiz Baika Utami. Usiaku saat ini 13 tahun. Aku bersekolah di SMP Negeri 259 Jakarta Timur, kelas 7. Sekolah umum yang menyelenggarakan program inklusi. Anak anak berkebutuhan khusus (ABK) diterima dan menimba ilmu di sini.
Dari SLB ke Sekolah Inklusi
Aku bersekolah di SD Luar Biasa, SLB A Negeri Pembina Tingkat Nasional di Jakarta Selatan (SLB kategori A khusus untuk blind dan low vision, red).
Jujur, sebenarnya sih, dulu aku takut banget
mau belajar di sekolah inklusi. Aku sudah merasa dekat dan nyaman
dengan teman-temanku di
SLB. Dengan lingkungan sekolah, dengan
para bapak – ibu guru di SLB. Walaupun gak yakin, sebenarnya ibu dan ayahku juga belum memutuskan
apakah aku tetap di SLB A atau melanjutkan di sekolah
inklusi.
Jadilah banyak persiapan
yang dilakukan orangtuaku dan melakukan evaluasi sebelum membuat keputusan.
Persiapan waktu itu, aku menjalani tes psikologi di Klinik Terpadu
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di Depok. Di sana aku mengerjakan
beberapa tes yang diberikan.
Capek sih, tapi Alhamdulillah suasana saat tes dibuat nyaman dan santai. Jadi gak terasa melelahkan.
Persiapan lainnya aku juga
menjalani beberapa les intensif di Yayasan Mitra Netra, yakni les komputer dan
bahasa Inggris.
Hingga akhirnya, dari serangkaian tes, evaluasi
dan hasil diskusi, ibuku dengan berbagai pihak, mengambil keputusan bahwa aku mampu menjalani pendidikan inklusi di
sekolah umum.
Ibuku sih yang banyak berperan membuat keputusan. Dialah yang banyak
berdiskusi dan mendatangi banyak pusat sumber belajar.
Sewaktu proses penerimaan siswa baru, sempat ada kendala. Seperti mendapat kata kiasan penolakan dari sebuah sekolah.
Namun Alhamdulillah,
akhirnya aku bisa mendaftar dan lulus proses saringan siswa baru di SMP Negeri
259 Jakarta Timur. Aku mendaftar melalui jalur inklusi pada Penerimaan Peserta
Didik Baru (PPDB).
Selain aku, ada 15 siswa ABK
lainnya yang juga diterima di sekolah. Namun yang tunanetra hanya aku sendiri.
Ibu bercerita padaku. Sebenarnya, di awal proses pendaftaran, bukan hal mudah. Dalam artian, di sekolahku ini baru pertama
kali menerima siswa tunanetra.
Jadi baik dari sekolah
maupun dari para guru masih minim sekali pengalaman dan fasilitas dalam
pelayanan kepada tunenetra. Bersyukur dukungan dari SLB A dan dari Mitra Netra
bisa menjembatani kebingungan yang dialami.
Ibuku juga sudah
menyanggupi bisa duduk bersama pihak sekolah dan membantu mengakomodir apabila
dalam proses belajar mengajar menemui kesulitan.
Upaya Mengatasi Kendala
Mengatasi kendala, ibu menyiapkan tenaga guru pendamping kelas atau shadow teacher untuk bisa mendampingi selama proses belajar di kelas. Sebenarnya aku sempat merasa minder, takut, sedih dan pengen rasanya lari dari sekolah balik lagi ke SLB.
Berjalan dengan white can di sekolah
Aku sempat gak betah.
Lingkungan baru ini bikin
aku bingung. Gak ada yang mau
berteman dengan aku. Bahkan teman sebangku jarang mau ngobrol denganku.
Beberapa kali aku sempat
nangis dan sedih. Kubilang sama ibu kalau mau aku balik aja sekolah di SLB A. Ditambah lagi,
sebalnya, ternyata selama kelas 7 ini aku akan masuk siang terus. Aku harus
sudah di sekolah jam 11.00 dan baru keluar kelas jam 17.30. Ngantuk dan capek
banget jadinya.
Menyebalkan!
Ibu dan kak Neddy (shadow teacher) selalu memberi semangat
dan melatih aku untuk giat belajar, membantu melakukan Orientasi Mobilitas alias OM di sekeliling lingkungan sekolah. Memudahkan aku bergerak dan cepat hapal ruangan-ruangan kemana harus
beraktifitas. Mereka mendorong agar aku berani duluan menyapa dan
ngobrol dengan teman-teman baruku.
Mulai menyenangkan
Awalnya sih bingung, tapi lama-lama ternyata teman-temanku pada baik dan mau berteman dengan aku. Aku sekarang punya banyak teman. Gak cuma teman sekelasku saja tetapi dari kelas-kelas yang lain.
Guru favoritku, Ibu Dewi. Beliau mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Suaranya ramah, cara mengajarnya menyenangkan.
Aku bisa cepat paham.
Guru yang sangat perhatian dan selalu bertanya
apakah aku bisa mengikuti, namanya Pak
Bagus. Beliau guru Bahasa Indonesia. Aku senang bisa belajar dan mengikuti
pelajaran.
Ada sih kesulitan yang aku hadapi misalnya saat belajar matematika dan IPA. Apalagi kalau harus masuk ke ruang laboratorium. Aku gak ngerti apa apa, dan teman-temanku juga kadang bingung bagaimana cara membantu menjelaskan apa yang sedang dikerjakan saat berada di ruang laboratorium.
Dengan Pak Guru
Bermain bulutangkis
Memasuki sekolah bersama teman
Berpose bersama teman-teman
Saat belajar di kelas aku
mencatat dengan menggunakan riglet
dan stylus (alat tulis untuk menulis huruf braille,
red). Kadang aku bisa cepat menulis
kadang kalau jariku lagi sakit ya nulisnya lambat.
Untuk tugas-tugas di rumah
aku bisa mengerjakan dengan bantuan komputer dan bisa dicetak dalam huruf awas
untuk bisa diserahkan kepada guru.
Aku tahu, awalnya beberapa
guru sulit beradaptasi dengan cara belajarku. Aku sering ketinggalan dalam
mencatat karena terlalu cepat saat didikte atau kadang karena tidak ada
penjelasan lebih detail tentang apa yang diberikan, seperti bentuk gambar atau
simbol. Nah itu menjadi kesulitan buat aku.
Aku juga tahu, kalau beberapa guru menyangsikan bahwa aku bisa terus mengikuti
pelajaran. Ya, memang sih kadang kesulitan tapi aku selalu diberi semangat
untuk bisa belajar dan mengejar ketinggalan.
Alhamdulillah, setelah semester 1 berlalu ternyata nilai-nilaiku cukup
bagus. Aku bisa berada di peringkat ke 9 di kelas.
Whuaaa kaget sih
sebenarnya. Gak nyangka aku bisa berada di peringkat 9. Doain
ya nanti di semester 2, saat kenaikan kelas nilai-nilaiku tetap bagus.
Mengikuti Ekstrakurikuler
Setiap Sabtu ada ekskul wajib yang harus diikuti, yaitu Pramuka. Untuk ekskul tambahan aku pilih musik. Tadinya aku pengen bisa main perkusi, ternyata aku diarahkan ke grup paduan suara. Tetep seneng sih bisa bernyanyi.
Kegiatan Pramuka
Serunya lagi, saat ikut lomba di festival paduan suara, kami bisa meraih
juara 1 tingkat SMP. Aku merasa bangga bisa turut andil membawa nama sekolah
meraih juara.
Bersekolah Inklusi itu
tidak mudah memang, tetapi jika mau berusaha dan giat belajar bisa
kok dijalani. Ternyata bersekolah inklusi tidak menakutkan seperti yang awalnya
aku pikirkan[].
[*tulisan ini diterbitkan pertama kali oleh Gema Braille [GB] Anak-Remaja Mei-Juni, 2019. PerDIK dijinkan ibuk Mima, ibu Balqis, untuk memposting dalam blog ini]
Memulailah dengan sesuatu yang manis Oleh: M. Luthfi (Koordinator Pustakabilitas)
Ada banyak cara untuk
meresmikan sesuatu. Pemukulan gong, membunyikan sirene, pengguntingan
pita, melepaskan burung merpati, adalah beberapa di antaranya. Bahkan dengan cara yang paling nyampah sekalipun,
seperti pelepasan ribuan balon ke
udara atau menembakkan kembang api ke langit yang temaram.
Sebagai wadah perjuangan yang identik dengan orang mudanya, PerDIK memilih cara tak lazim saat meresmikan sayap baru perjuangannya, PUSTAKABILITAS.
Logo Pustakabilitas
Kalian mau tahu? Atau
kalian sudah tahu? Ya, Pembacaan
puisi.
Sunguh romantis bukan?
Pemilihan pembacaan puisi
sebagai ritual peresmian perpustakaan
PerDIK yang kami namai Pustak@bilitas , bukan tanpa alasan. Kita ingin membuka sesuatu yang baru dengan sesuatu yang manis, sesuai
dengan kata-kata bijak “Berbukalah dengan yang manis” ia betul , semanis kamu. 😊
Selain itu, Sebagaimana pada tulisan Kak Ishak Salim “…Energi dari setiap bait puisi, bahkan setiap diksi di dalamnya mampu memantik dan menggerakkan perubahan”.
Energi-energi perubahan
inilah yang ingin kami masukkan ke dalam perjuangan kita sebagai gerakan sosial berbasis pengetahuan.
Tunggu dulu?
Kita? Kenapa saya memakai
kata kita?
Maafkan kelancangan saya,
sudah menganggap kalian adalah bagian dari kami, PerDIK, khususnya Pustak@bilitas. Semoga kalian berkenan, dengan
prinsip kami yang menganggap, dan menjadikan semua pembaca tulisan kami adalah
bagian dari kami, keluarga besar Pustak@bilitas. Oleh karenanya, selanjutnya
kata “kita” akan saya gunakan pada tulisan-tulisan berikutnya. Bagaimana?
Kalian bersedia bukan? Menjadi bagian dari keluarga besar Pustak@bilitas? 😊
Oh iya, bukan cuma puisi yang menambah kesan romantis pada
peresmian Pustak@bilitas pada jumat sore itu (14 Juni 2019),
langit juga menurunkan bulir-bulir rahmat Tuhan di hari yang juga penuh
keberkahan.
Pada sambutannya, Direktur PerDIK menegaskan bahwa pustak@bilitas adalah perpustakaan milik publik, sehingga siapa saja boleh datang dan menikmati sajian yang terhidang. Ia berharap pustak@bilitas betul-betul mampu menjadi pusat produksi pengetahuan yang akan sangat bermanfaat pada kerja-kerja advokasi.
Selanjutnya, ritual keramat nan romantis itu pun dimulai. Kak Aan Mansyur membukanya dengan membacakan puisinya yang berjudul “Puisi Dari Suami Yang Tuli Untuk Istrinya Yang Buta” ia kemudian melanjutkan dengan 1 puisi lagi yang tentunya sangat sedap di telinga para hadirin.
Mata acara berikutnya
ialah materi pengantar dari beliau, yang membahas tentang bagaimana karya
sastra, khususnya puisi dalam pergerakan perubahan dikaitkan dengan isu-isu
difabilitas.
Kak Aan menekankan bahwa, puisi mampu membungkus dan membawa isu-isu tertentu yang melahirkan sebuah gerakan yang massif. Lebih dari itu, Kak Aan berharap ke depannya akan banyak karya sastra yang dihasilkan oleh para difabel. Menurutnya, sebagai manusia yang menangkap informasi, dan berinteraksi dengan lingkungan dengan cara yang berbeda, difabel harusnya mampu memberikan warna tersendiri dalam dunia sastra.
Ia mencontohkan bagaimana
seorang buta yang mampu mengeksplorasi keindahan alam, dengan lebih memainkan
diksi-diksi yang dominan bersifat auditory.
Atau seorang Tuli, yang mampu membacakan puisi dengan Bahasa isyarrat, dengan sangat ekspresif. Ia
beberapa kali menonton video dari
seorang Tuli yang berpuisi
“saya sangat suka dengan mimik, dan gestur yang sangat kuat, saya yakin, karena
ia tuli dan bisu, sehingga ia bisa totalitas dalam menyampaikan puisinya”.
Kak Aan juga berharap,
tidak perlulah menyematkan kata-kata
seperti “Penyair Netra” atau hal yang semisal. Baginya, kata-kata itu akan semakin mengekslusifkan teman-teman
difabel.
“Biarlah publik yang menilai karya kita, biarlah mereka yang
menilai cita rasa baru yang kita tawarkan”.
Kak Aan juga memberikan tips cara memilih diksi untuk memberikan efek yang lembut, kuat, dan sebagainya. Ia mengibaratkan setiap kosa kata itu adalah
alat musik. Seperti kata-kata “murka,
marah, dan geram”
Ibarat perkusi, kata ‘murka’ akan memberikan efek pukulan yang sangat keras. Ini karena adanya huruf
“K” pada kata tersebut, pun dengan kata ‘marah’, akan memberikan efek pukulan yang keras, meskipun tak sekeras kata ‘murka’. Beda pula dengan
kata ‘geram’. Ini
akan memberikan efek pukulan lembut yang tertahan. Ini terjadi, karena adanya
huruf “M” yang meredam pengucapan kata ini.
Bagi kamu yang belum tahu siapa Aan Mansyur, tanyalah Mbah Google: tentang profil, dan bagaimana jejak rekamnya dalam
dunia sastra di Indonesia.
Diskusipun mengalir
lembut, manis, dan hangat sebagaimana rasa minuman berjahe, Sarabba yang kita teguk bersama dalam ruangan tersebut.
Tak terasa lantunan
ayat-ayat suci pun terdengar dari Masjid-masjid sekitar Rumah PERDIK, pertanda hari telah senja, dan kegiatan tanggal 14 Juni itupun akan segera
berakhir, dan kembali. Pembacaan puisi akan menutup seluruh rangkaian acara.
Pembaca puisi yang pertama
ialah Fitrah seorang difabel tuli membacakan puisinya dalam Bahasa isyarat, dan
diterjemahkan oleh juru Bahasa yang akrab
disapa Kak Chiki, kemudian dilanjutkan
dengan Risya, seorang difabel visual yang membacakan puisinya dengan efek suara
yang sangat teatrikal.
Menutup tulisan ini,
Pustak@bilitas mengirim salam untuk kita. Ia berkata” Ruang bacaku mungkin tak
seluas perpustakaan-perpustakaan ternama di dunia, hanya saja, percayalah,
setelah memasuki ruang bacaku, kalian akan masuk ke ruang-ruang yang lebih
luas, bahkan kalian dapat menjelajahi waktu dan dimensi yang berbeda”.
Kita tunggu ya kehadiran kita di Pustak@bilitas.
Foto bersama usai pembukaan Pustakabilitas dan Diskusi Puisi yang menggerakkan perubahan
Bukan Cuma buku dan
sederet fasilitas yang akan menyambut kita, tapi di Pustak@bilitas selalu ada
cinta yang hangat nan membara, ada rindu yang resah membuncah yang selalu
terhidang menyambut kita.
Seorang berkopiah haji berjalan perlahan mendekati pintu Hotel Ramedo. Baru saja ia nyaris tersandung diundakan teras hotel. Ia meraba-raba pintu kaca bergagang panjang, berharap ada taktil huruf latin atau aksara braille penanda di dinding pintu itu. Sia-sia ia meraba. Ia pun mendorongnya lalu bergerak menuju lobi. Seorang kawan memberinya aba-aba bergerak ke kanan di mana meja resepsionis berada. Ia menyesali diri tak membawa tongkat putihnya.
Setiba di meja resepsionis, Ani menyapanya ramah.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” ujarnya sambil memberi
tanda salam.
Rustam tentu saja tak melihat salam itu. Ia langsung
menjawab bahwa ia ingin kembali ke kamarnya di lantai 7 dan berharap ada yang
bisa membantunya menuju lift.
Ani segera mengambil handy-talky dan meminta seorang petugas hotel. Sekitar 3 menit, petugaslelaki berseragam safari muncul. Penanda nama bertuliskan Burhan. “Tolong antar bapak ini ke kamarnya di lantai 7,” ujarnya. Burhan membungkuk ke Rustam. Ia belum mendapatkan informasi bahwa Pak Rustam buta.
“Mari, pak,” ujarnya berharap Rustam mengikutinya. Rustam
tak beranjak. Kawan-kawan Rustam yang menemaninya memberi isyarat ke Burhan
jika Rustam tak melihat.
Ia pun meraih tangan Rustam dan menariknya sopan.
Tentu tidak seperti itu menuntun seorang difabel netra. Menurut etika disabilitas, penuntun cukup menyiapkan lengannya dan biarkan difabel menyentuh lalu berjalan bersisian.
Ishak Salim memfasilitasi sesi aksesibilitas Pelayanan Publik dan strategi pemantauan oleh Organisasi disabilitas
Kejadian tadi adalah praktik melakukan pemantauan aksesibilitas infrastruktur sebuah hotel. YASMIB, organisasi yang konsern pada isu-isu disabilitas menggelar pelatihan bagi sejumlah organisasi disabilitas yang ada di kabupaten Gowa. Ada empat organisasi hadir, yakni PPDI Gowa, Permata Gowa, ITMI Gowa, dan NPC Gowa. Rustam dan kawan-kawannya saat ini sedang melakukan asessmen area parkir, lobi dan toilet umum di lobi.
Assesmen aksesibilitas Hotel Ramedo, pelatihan.
Di area parkir yang sempit, tak ada tempat parkir khusus disabilitas. Tak ada penandanya. Dari ruang parkir menuju pintu lobi, ada sedikit ram. Ramnya akses bagi kursi roda dan tamu hotel pengguna kursi roda bisa menaiki teras itu. Hanya saja, tentu sulit jika tamu tersebut ingin membuka pintunya. Pintu hotel tidak terbuka otomatis. Harus didorong dengan tenaga ekstra. Untuk memasukinya, ia harus dibantu, dan ini mengurangi kadar aksesibilitas hotel ini. Pun demikian jika ia menuju meja resepsionis yang tingginya sekitar 1,20 meter tak akan akses baginya dan orang kecil. Termasuk ketika ia harus ke toilet di samping lift. Ia bisa masuk ke lorong dan masuk ke toilet, namun jika diri dan kursi rodanya sudah di dalam, maka ia tak mungkin bisa menutup pintunya. Ia hanya akan stuck di dinding karena ujung rodanyanya sudah menyentuh diding toilet dan sama sekali tak dapat bermanuver atau memutarnya. Sangat tidak akses.
Kelompok lain memonitoring kamar tamu dan ruang pertemuan. Kelompok ini juga menemukan sejumlah lingkungan fisik yang tak mendukung aktivitas tamu. Kamar mandi salah satu yang paling tidak akses bagi pengguna kursi roda dan orang kecil. Orang-orang yang mengandalkan rabaan—di mana membutuhkan penanda-penanda seperti guiding dan warning block untuk tongkat putih, buku-buku informasi dalam huruf braille, maupun bel untuk memanggil petugas hotel semisal di meja makan di restoran mesti tersedia. Orang-orang buta tidak bisa mengamati di mana petugas-petugas hotel berdiri. Dengan adanya bel di meja makan, maka dengan mudah tamu hotel meminta bantuan.
Upaya-upaya menghilangkan hambatan bagi tamu difabel di restoran dikerjakan oleh kelompok lainnya. Ada juga yang mencoba jalur evakuasi yang tidak informatif (tak ada pemberitahuan di awal acara yang biasanya terdapat di hotel-hotel tertentu) dan sepi penanda. Jika terjadi kebakaran, atau kejadia alam yang mengharuskan tamu dievakuasi, yakinlah, banyak difabel akan kesulitan menuju titik kumpul yang entah berada di mana.
Bahan presentasi 1
Bahan presentasi 2
Bahan presentasi 3
Ishak Salim, fasilitator untuk sesi aksesibilitas ini sengaja mengajak para aktivis difabel daerah Gowa ini untuk melakukannya. Sebelumnya ia sudah memfasilitasi curah pendapat atau brainstorming pengalaman-pengalaman mereka melintasi hambatan-hambatan fisik jika harus berhubungan dengan kantor dan fasilitas layanan-layanan publik, baik milik pemerintah maupun swasta.
Dalam sesi presentasi, setiap kelompok bukan hanya mengandalkan catatan. Mereka juga memotret dan merekam sejumlah kejadian. Kami menikmati seluruh presentasi itu. Interaktif dan penuh visual. Selain kemudian lebih dalam mendiskusikan ketentuan-ketentuan baku yang harus dipersiapkan untuk menciptakan aksesibilitas, diskusi juga merembet ke hal-hal non-infrastruktur yang secara fisik menghambat aktivitas dan partisipasi. Ishak memancing bahwa hambatan-hambatan yang kawan-kawan temui masih lebih pada hambatan fisik. Ada hambatan yang jauh lebih sulit dibenahi, yakni hambatan sikap dan cara berpikir.
Menurut Ishak, bangunan-bangunan yang tidak akses adalah konsekuensi dari cara berpikir dan sikap para desainer. Bangunan-bangunan kebanyakan hanya akses bagi orang-orang yang dengan mudah berjalan dengan kedua kakinya, melihat dengan kedua matanya, mendengar dengan kedua telinganya, menggenggam dengan kedua jemari dan lengannya, dan anggota-anggota badan yang lengkap lainnya. Bagi yang di dirinya sudah melekat beragam teknologi alat bantu tidak mudah menyesuaikan dan mengaksesnya. Perspektif disabilitas, atau secara spesifik perspektif inklusivitas belum menguat diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi maupun di media-media pembelajaran lainnya. Hal itu membuat banyak desainer tidak akrab dengan prinsip-prinsip universal design yang mengakomodasi seluruh kondisi diri seseorang—termasuk difabel.
Ketua Perhimpuan Mandiri Kusta (Permata) Gowa, Ernawati, menyampaikan pengalamannya mengakses kantor dinas sosial. Kebanyakan mereka jika ingin mengurus kartu kependudukan berangkat dari rumahnya naik bentor. Petugas kantor dinas ini, satpol PP melarang setiap bentor masuk sehingga penumpangnya harus berjalan. Difabel kinetik, yang menggunakan kaki palsu (protese) atau sepasang kruk juga harus melangkah sekitar 100 meter dan hal itu melelahkan. Bagi sejumlah difabel, misalnya yang pernah mengalami polio di masa kecil, kandungan kalsium di kaki mesti dirit. Semakin banyak berjalan akan menggerus kadar kalsium sehingga merentankan tulang dan berpotensi rapuh lebih cepat di masa mendatang. Satpol PP yang melarang bentor dengan penumpang disabilitas berjalan kaki sejauh itu menunjukkan bagaimana sikap ableist bekerja.
Idha, PPDI Gowa, mempresentasikan hasil asessment kelompoknya
Ableist merupakan cara pandang negatif dari orang-orang yang bertubuh lengkap dan tak terbiasa atau bahkan tak mengetahui bahwa ada keragaman kemampuan orang berdasarkan kondisi tubuh maupun alat bantunya. Itu hanya satu contoh bagaimana sikap dan cara berpikir yang menyudutkan difabel. Bolot yang berpura-pura tuli di televisi dan menjadi bahan ejekan teman-temannya adalah kaum audist yang memperburuk citra para Tuli di Indonesia. Audist merupakan ekspresi kesombongan para kuam dengar yang merasakan bahwa bisa mendengar adalah lebih superior dari orang yang tak mendengar, sehingga menertawai orang Tuli seperti sebuah ekspresi kekuasaan merasa diri superior. Kita bisa mengungkap banyak contoh mengenai hal itu. Salah satunya pengalaman Rustam saat ke salah satu dinas pemerintah daerah mengurus sesuatu. Belum sempat ia berkata apa-apa seorang pengawai dengan ringannya berujar “Lain kali ya, Pak!”
Memangnya aku ke sini mau mengemis! Jengkel Rustam di dalam hati.
Diskusi terus menukik semakin dalam, membongkar pengalaman-pengalaman hidup terabaikan. Tentu ada orang-orang baik memudahkan, namun lebih banyak orang berada dalam ketidaktahuan dan bahkan ketidaksadaran sehingga keliru dalam mendesain kehidupan sosial.
Lalu siapa yang akan membongkar kebekua demi kebekuan dalam pikiran dan hati jika aksesibilitas harus menyasar ranah mental dan pikiran?
Itu tugas kita semua yang sudah paham isu dan memiliki pikiran-pikiran kritis terkait disabilitas ini. Jika ingin memperjuangkannya, sepanjang usia kita dan organisasi yang kita jaga ini. strategi perlu dibangun, dan kita bisa melakukannya dengan prinsip “tolong menolong dalam gerakan!” Demikian ujar Ishak meyakinkan peserta yang merasakan keterbatasan kapasitas organisasi disabilitas daerah ini.
“Kita tidak harus bergantung sebuah program besar, semisal PROGRAM
PEDULI hadir hanya untuk mendiskusikan hal-hal penting di hotel,” katanya penuh
semangat. Ada banyak mitra dengan orang-orang yang berkapasitas yang bisa
membantu kita mengajarkan ini dan itu dan melakukan itu dan ini. Panggil siapa
saja yang bisa bekerja dengan semangat kerelawanan. Lagi pula, kita sudah cukup
banyak membantu orang-orang marjinal di desa-desa tanpa pernah dihargai dengan
matei seperi uang sebagai honor. Teman-teman aktivis difabel di daerah-daerah
banyak bergerak dengan hanya ongkos secukupnya untuk menjemput kawan-kawan
difabel di kampung hanya untuk melakukan perekaman biodata di dinas pemerintah.
Itu tidak sekali dua kali dilakukan, tapi tahunan!
“Hanya saja kita perlu bekerja lebih terencana dan terukur,
kawan-kawan, Kita masih membutuhkan banyak keterampilan dan memperkuat
kapasitas organisasi untuk bisa mengerjakan hal-hal yang lebih luas cakupan dan
jangkauannya. Mempengaruhi pemerintah, bukan hanya pada orang perorang atau
pejabat tertentu, agar berpihak dan memenuhi hak difabel yang menjadi kewajiban
mereka tidak bisa dilakukan jika kita hanya bergantung pada kegiatan eventual
yang didanai donor. Organisasi difabel daerah, termasuk PerDIK masih harus membenahi
beberapa urusan administratif untuk bisa menjangkau dana publik. Orang-orangnya
masih harus banyak belajar ‘bekerja bersama’ dan mengandalkan kerja kolektif
mengubah keadaan.
“Kita harus sering bertemu dan berbagi, kawan-kawan!” Ishak
meyakinkan pentingnya kerja kolektif.
Kerja kolektif harus dibarengi dengan berpikir kolektif.
Gerakan yang tidak berangkat dari upaya berpikir kolektif, akan mudah terpecah
belah dan sibuk dengan urusan organisasi masing-masing. Semakin banyak bekerja
bersama, semakin sering mengobrol bersama, semakin banyak yang bisa dilakukan
tanpa berharap bantuan besar datang entah dari mana. Dengan berpikirn dan
bekerja bersama, bantuan akan mengalir dari mana saja. Kita tak perlu
mengandalkan tetesan demi tetesan, kita harus menjadi sumber mata air perubahan.
Jika ada donor—entah melalui mitra organisasi maupun langsung ke organisasi
kita—harus dianggap sebagai bonus dari kerja-kerja kecil bersama-sama kita. Dengan
begitu, kita tak akan terjebak pada mental menengadahkan tangan yang justru
menjadi bagian yang seringkali kita jaga, harga diri!
Tanpa diketahui kawan-kawan yang sedang berdiskusi, Masita
Syamsuddin dari Yasmib menyampaikan kepada pihak manager hotel mengenai hasil
asessmen ini. Ia memberitahukan, jika tertarik dengan hasil itu, silakan
bergabung dalam diskusi.
Saat diskusi pendalaman nyaris usai, tiba-tiba masuk seorang
perempuan enerjik dan berpenampilan rapi. Ia ramah bersemangat. Masita
menyampaikan maksud kedatangannya dan meminta ijin jika memungkinkan para
setiap kelompok kembali menyampaikan hasil asesmennya. Peserta menyetujui dan
semakin bersemangat. Diskusipun digelar dan puhak manageral hotel itu, turut
bersila mendengarkan secara seksama.
Ishak sebagai fasilitator menyerahkan sepenuhnya ke peserta untuk memandu diskusi semau mereka. Ia duduk menyimak.
Musa sedang menjelaskan restoran yang kurang akses baginya
“Jika pihak hotel harus mengandalkan institusi pemantau dengan konsultan disabilitas yang harus disewa, berapa menurut kalian pihak hotel harus bayar?”
Kali ini pihak hotel mendapatkan ANUGERAH alias Anu Gratis!
Jika Anda seorang buta, apakah puisi bisa membantumu membaca di perpustakaan kota yang hanya menyediakan buku-buku beraksara latin? Jika kamu tuli, apakah suara-suara penyair bisa membebaskanmu dari kesenyapan yang panjang?
Jika kamu seorang yang pernah mengidap kusta, apakah puisi bisa menyelamatkanmu dari panas jalan raya dan cacian satpol PP yang selalu siap mengusirmu? Jika kamu seorang cerebral palsy, apakah puisi-puisi mampu mendatangkan terapis yang bisa menyelamatkanmu dari kekakuan tubuh yang membatasi gerakmu?
Kata-kata indah dalam puisi dengan makna berlapis-lapis, apakah itu cukup membuatmu memahami sulitnya kehidupan jika kau sepanjang hidup hanya duduk di Sekolah Luar Biasa? Atau, jika dikau seorang aktivis difabel, apakah puisi dapat membuatmu semakin membara merencanakan perubahan demi perubahan?
Logo Pustakabilitas
Cobalah berselancar di dunia maya. Kau akan menemukan begitu banyak puisi mengusik hidupmu. Kata-kata penuh sentimentil, derita dan derai air mata menjadi yang paling utama. Kau bak titipan Tuhan yang dengannya sebagian penyair menemukan kata demi kata mengurai segala batasmu. Dalam puisi, jika mereka sedang tak ingin membuat pendengar atau pembaca berurai air mata, mereka akan membuatmu objek inspirasi. Tubuhmu disebut abnormal, kemampuanmu disebutnya superhero. Lalu bersyukurlah orang-orang yang diaggap normal berkat inspirasimu. Itu puisi-puisi yang buruk dan keji. Puisi itu tak menolong apapun dan siapapun.
Tapi, ada puisi-puisi yang baik dan menolong orang-orang tertindas. Wiji Tukul menyuarakan hak para buruh, WS Rendra mempersatukan para pelacur dan membela rakyat jelata, sementara Chairil Anwar rela mengalami siksaan Kenpeitai karena rangkaian kata-katanya yang membangkitkan perlawanan kaum terjajah.
Lalu, adakah puisi-puisi yang dapat membebaskan difabel dari label-label kecacatan, ketidaknormalan, ketidakmampuan, beragam cap miring, peremehan, pengabaian bahkan segala bentuk diskriminasi?
Bisakah puisi membubarkan sekolah luar biasa dan menjadikan seluruh sekolah inklusif dan meninggalkan sikap penolakannya kepada anak-anak difabel yang ingin bersekolah dengan mudah dan senang?
Mampukah puisi menghentikan segala sinetron yang isinya mengolok-olok tubuh yang berbeda? Bisakah puisi menggerakkan difabel yang tertindas, yang terluka, yang terabaikan untuk bangkit meradang dan menerjang melawan penindasan? Bisa, dan kita harus yakni bahwa puisi bisa membebaskan dan menggelorakan perlawanan!
Mari kita diskusikan hal ini. Rumah Perdik melalui sayap Pustakabilitas menggelar bincang Puisi dan buku yang menggerakkan perubahan, bersama M. Aan Mansyur.
BINCANG PUISI DAN BUKU YANG MENGGERAKKAN PERUBAHAN Pustakabilitas mengadakan diskusi literasi dan puisi bersama M. Aan Mansyur di pekan ini. Mengundang penikmat puisi, pencinta sastra, dan para rekan yang sama-sama berjuang untuk kesetaraan difabel. Jumat 14 juni 2019. Pukul 15.30 sampai kegiatan usai. Tempat: Rumah PerDIK Jl. Syekh Yusuf Kompleks Graha Aliyah blok E3a, Katangka, Kec. Sombaopu, Gowa. Nara hubung: Muhammad Lutfi di WhatsAppnya, 085342577787
Nama Saya Fira Fitri Fitria. Tuban adalah tempat kelahiran saya, tepatnya pada 11 Juni 1987. Ayah saya seorang wiraswasta dan ibu seorang pensiunan PNS. Saya lahir premature, dengan usia dalam rahim hanya 6 bulan dan dengan berat saat itu 1,2 kg. Itulah yang menyebabkan saya mengalami Cerebral Palsy (CP). CP merupakan suatu kondisi dengan hambatan motorik disfungsi otak.
Orang tua saya baru menyadari kondisi CP saya tersebut di
usia saya yang ke dua tahun. Tepatnya setelah dokter
mendiagnosis tubuh saya. Sejak itu, saya mulai rutin
melakukan sejumlah terapi fisik. Ini
dilakukan demi
perkembangan gerak motorik saya. Beberapa rumah
sakit tempat saya melakukan terapi adalah RSUD dr. Koesma
Tuban, Dr Soetomo Surabaya dan dr. R Soeharso
Solo. Terapi ini saya lakukan sampai saya berusia 25 tahun.
Saya selalu ingat, betapa kedua orang tua saya telah bersusah payah untuk mengupayakan kemajuan gerak motorik saya. CP tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan agar tidak bertambah parah. CP yang saya alami adalah tipe spastic. Suatu kondisi di mana tangan dan kaki kiri mengalami keadaan kaku. Di usia 14 tahun, tepat setahun setelah saya memutuskan tinggal di Kota Solo, saya sudah bisa menggunakan Walker.
Fira saat usia kanak-kanak, remaja, dan dewasa
CP
dan Sekolah
Orang tua menyekolahkan saya dan saya bersemangat untuk
menempuhnya. Saat usia TK, saya bersekolah di TK ABA 3 Tuban.
Lalu melanjutkan di SDN
Perbon 2 dan kemudian di SMPN 2 Tuban.
Saat pindah ke Solo, saya melanjutkan pendidikan di SMP YPAC Solo
dan SMAN
5 Solo serta di SMAN RENGEL. Saat kuliah, saya sudah
tinggal
kembali di Tuban dan kuliah di di STIE Muhamadiyah
Tuban.
Terukir
banyak cerita ketika saya menginjak bangku sekolah.
Saya pernah mengalami penolakan namun terus berupaya mencari sekolah yang
mau menerima kondisi
saya. Ada pihak sekolah bahkan meragu dan mengultimatum saya bahwa dalam masa 3 bulan pertama
saya harus bisa
mengikuti pelajaran. Jika saya gagal, mereka akan mengeluarkan saya. Tapi
Kuasa Allah jauh lebih mumpuni. Saya mampu membuktikan bahwa
saya bisa. Saya bahkan memeroleh peringkat 5 besar di antara
45 siswa.
Saya juga berhasil di terima di SMAN
Negeri di Tuban yang awalnya sejumlah guru meragukan kemampuan saya. Namun saya
beruntung karena justru kepala sekolah yang
baik dan berpikiran terbuka mau menerima saya bersekolah di sana.
Tempatnya cukup jauh dari rumah saya. Waktu tempuh setidaknya 40 menit
dari rumah. Setiap hari sekolah, saya berangkat pukul 05.30 dan
pulang
pukul 5 sore. Itu adalah
perjuangan bagi saya. Saya menjalaninya selama 1,5 tahun.
Sejak
Orang tua meninggal
Perjalanan merenda asa saya semakin berliku manakala kedua orang tua meninggal dunia. Saya mengalami down. Tapi saya tak ingin larut dalam keputusasaan. Berkat dukungan sejumlah teman, saya bangkit dan bahkan mendirikan sebuah organisasi difabel yang diberi nama ‘Organisasi Disabilitas Tuban yang disingkat ORBIT. Selain saya, pemrakarasanya adalah Pak Eka Prastama Widiyanta, pada 6 September 2016 dan hingga saat ini sudah beranggotakan 60 orang.
Terus
Merenda Asa
Dalam
proses pengembangan potensi diri ini, alhamdulilah
saya melewati beberapa pengalaman berkesan. Saya
pernah
menjadi penyiar, spesial acara Jawa
selama 4 tahun, sejak 2012 – 2016. Jadwal siaran saya selama 6 jam dalam
sehari, di radio
Vidia FM. Pada 2017, saya berkesempatan mengikuti training
jurnalisme dasar yang dilaksanakan oleh Organisasi Sigab Indonesia. Lepas
pelatihan itu, saya diterima menjadi jurnalis media Solider yang dikelola Sigab
sampai sekarang. Selain itu, sejak awal 2018, saya menjadi tenaga trainer ‘Financial
Life Skill’ di Project YEPT, USAid
dan menjadi kader Progresif
(Program Ayo Inklusif) sejak
Maret
sampai Desember
2018.
Menjadi kader progresif , saya merasa memiliki banyak pengalaman berharga. Salah satunya dengan menjadi salah satu pemuda terpilih dari 49 pemuda difabel se-Jawa Timur. Saya merasa mensyukuri kesempatan ini, karena dengan aktif, saya jadi dapat mengakses berbagai aktivitas yang meningkatkan kemampuan (kapasitas) saya. Saya benar-benar mendapatkan banyak pengetahuan yang berguna bagi diri saya. Belum lagi dengan semakin meluasnya jaringan pertemanan maupun kelembagaan. Dari semua capaian itu, yang terbaik adalah saya merasa memiliki keluarga-keluarga baru dari beragam tempat.
Pencapaian ini, menurut saya tak lepas dari hasil didikan
kedua
orang tua saya. Keduanya ingin agar saya memiliki kepribadian yang percaya
diri dan orang yang tak mudah menyerah dengan keadaan
diri. Sejak
dulu, saya sudah berprinsip bahwa saya harus berpendidikan
tinggi. Itu satu cara agar diri saya tidak diremehkan dan disepelekan.
Jika merefleksikan pengalaman hidup ini, maka saya
merasakan bahwa “Kondisi keterbatasan maupun
kehilangan bukanlah sebuah akhir,
melainkan awal
dari proses hidup agar senantiasa tetap merenda asa”[].