Solider.id, Yogyakarta. Praktik mendominasi satu kelompok oleh penguasa atau orang yang lebih kuat atau praktik hegemoni, “lazim” dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Menjadi lazim dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, karena kelompok masyarakat yang terhegemoni tidak mampu keluar dari kuasa nilai-nilai ideologis yang diciptakan dan dibangun penguasa. Sebagai mana yang terjadi pada kelompok difabel.
Foto bersama Aktivis Gerakan Difabel
Cukup lama kelompok ini terhegemoni dan tidak berdaya menolaknya. Dominasi negara menanamkan konsep difabel dengan sudut pandang kesehatan, salah satunya. Sehingga kedifabilitasan dimaknai sebagai orang sakit. Orang yang harus direhabilitasi, diobati agar sembuh dan tidak lagi menjadi difabel.
Konsep tersebut berimplikasi secara intrinsik pada diri difabel maupun ekstrinsik. Masyarakat mengasihani difabel (karitatif), adalah sikap ekstrinsik yang diterima difabel akibat konsep negatif tersebut.
“Kasihan sekali ya, tidak bisa jalan, tidak bisa melihat, tidak bisa bicara dan sebagainya.”
Stigmatisasi serupa mengakar dan melahirkan sikap mengasihani, menjadikan difabel sebagai obyek penerima bantuan.
Cara pandang demikian berlangsung cukup lama, karena difabel tidak kuasa keluar dari konsep cara pandang yang melemahkan nilai kemanusiaan. Celakanya, relasi kuasa yang dibangun penguasa berdampak secara intrinsik terhadap difabel. Ada sebagian difabel yang tidak menyadari, justru menikmati kondisi distigmatisasi, dikasihani, dijadikan obyek. Sebuah ironi terjadi, kelompok difabel ini hanya sanggup berpikir tentang diri sendiri, tidak peduli dengan nilai kemanusiaan yang dimatikan, dihilangkan martabat dan harga diri.
Menolak hegemoni pelemahan nilai kemanusiaan yang cukup lama dan mengakar dampaknya, membuat keprihatinan dan mewujud dalam sebuah gerakan. “Keluar dari Hegemoni Pencacatan,” sebuah gerakan yang dipraktikkan oleh Ishak Salim. Aktivis yang juga peneliti ini melakukan penelitian, dan mengangkatnya dalam sebuah karya penulisan disertasi untuk meraih gelar Doktor Ilmu Politik-nya. Sebuah disertasi Doktor Ishak Salim yang menyajikan bagaimana aktivisme difabel melawan pelemahan nilai kemanusiaan.
Gebrakan dan gerakan yang menghentak tentu saja, mengagetkan dunia yang telah terbiasa dengan cara pandang negatif terhadap difabel. Ishak sadar betul bahwa beragam model dan gerakan difabilitas selama ini, tidak lain adalah bagian dari mengubah relasi kuasa itu.
Dalam sepenggal tulisan yang diunggahnya melalui media sosial, Ishak mengaku tahu betul bahwa tidak semua warga setuju dengan stigmatisasi itu. Bahkan banyak yang tidak sepakat dengan pelabelan negatif terhadap beragam kedifabilitasan. Dari pergulatannya dengan para aktivis, disimpulkannya bahwa tidak semua difabel menginginkan diperlakukan secara segregatif. Difabel harus sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), ini sebuah contoh tindakan pemisahan difabel dengan non-difabel (segregatif).
Dituturkannya pula sampai pada bagaimana difabel melakukan gerakan melawan segala bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh para ableist (pihak yang beranggapan bahwa tubuh lengkap lebih superior dari difabel). Pada intinya, bagaimana gerakan aktivis difabel melawan praktik stigmatisasi berdasar pada pandangan hegemonik pengetahuan biomedik, dikawalnya. Sejumlah temuan dan analisis atas fakta-fakta relasi kuasa dituliskannya.
Patut gembira, karena Ishak Salim, bapak tiga orang putra putri itu berhasil meraih gelar doktor bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik setelah berhasil mempertahankan disertasinya pada sidang ilmiah di Ruang Auditorium Mandiri, Gedung BB Lantai 4 Fisipol UGM. Jalan Sosio Yustisia, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (27/7). Aktivis dan peneliti yang aktif di PERDIK Sulawesi Selatan dan SIGAB ini, dipromotori oleh Prof. Dr. Purwo Santoso, MA dan ko-promotor Dr. Suripto, S.IP., MPA. berhasil mempertahankan karya risetnya di hadapan tim penguji, dan dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan.
Kemenangan gerakan difabilitas
Sontak tepuk tangan semua yang hadir bergemuruh di ruangan berukuran 10 x 12 meteran itu menyambut kabar gembira yang disampaikan pimpinan sidang. Sidang terbuka selain dihadiri oleh keluarga (istri, anak dan keluarga), juga para penggerak aktivisme difabel dari berbagai wilayah di Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.
Pengukuhan gelar doktor bagi Ishak Salim merupakan kabar gembira sekaligus kemenangan bagi pergerakan aktivis difabel. Hal ini diakui oleh Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia Suharto. Apa yang sudah dilakukan Ishak sangat menarik, dapat membangun dialog antara dunia aktivisme dengan dunia akademik yang selama ini punya mazhab sendiri-sendiri.
“Sesuatu yang menarik yang dilakukan mas Ishak, adalah bahwa dialog antara dunia aktivisme dan dunia akademik itu telah menjadi pencerah gerakan difabilitas di Indonesia. Harapannya apa yang telah dilakukan Ishak dapat diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya,” ungkap Suharto.
Ishak Salim sedang menjawab pertanyaan Penguji (Dok. Purwo Santoso)
Bagi gerakan difabilitas, kata dia, ini adalah satu kemenangan. Karena dapat mengajak orang yang semula tidak punya perhatian dan minat di isu difabilitas, tapi kemudian dengan interaksi intensif, melalui metode riset PAR (Participatory Action Research), dapat membuat terlibat langsung di dalam komunitas. Lantas bergerak bersama, kemudian menjiwai dan menjadi bagian dari gerakan komunitas itu.
“Ini sebuah kemenangan kelompok difabilitas di Indonesia terhadap pergerakan keilmuan di Indonesia,” tandas Suharto.
Apa yang dilakukan Doktor Ishak Salim, sejalan dengan visi dan misi SIGAB Indonesia. SIGAB menjadi tempat pembelajaran bersama.
“Meskipun kita pengurus yang sekian puluh tahun berpengalaman, kita tetap sama-sama belajar untuk membongkar ideologi kenormalan, termasuk juga membongkar ideologi kedifabilitasan itu sendiri.
Di akhir perbincangan dengan Solider, Harto menegaskan bahwa di SIGAB, orang yang baru bergabung dan orang yang telah lama dan aktif dalam gerakan, tetap selalu berdialog. Yang terpenting, lanjut dia, “Bagaimana perubahan paradigma menjadi perubahan cara berperilaku, mudah-mudahan juga berpengaruh pada cara membuat kebijakan,” pungkasnya. (H)
Ujian Terbuka dan Promosi Doktor Ilmu Politik yang saya jalani pada 27 Juli 2019 di Fisipol UGM, bukan kegiatan individual, tapi ini adalah performa kami bernama “aktivisme berpengetahuan”.
Kemarin, bukan hanya saya yang sedang tampil memaparkan kemampuan intelektualisme pergerakan itu, tapi kehadiran kawan-kawan aktivis di ruangan ini juga sedang mempresentasikan pengetahuannya secara langsung. Kehadiran aktivis dari berbagai organisasi gerakan difabel, penerjemah bahasa isyarat, ringkasan disertasi dalam format buku braille, dan ruang yang akses bagi peserta pengguna kursi roda adalah fakta nyata bertemunya dua produsen pengetahuan: akademikus dan aktivisme.
Para Professor dan para Doktor Ilmu Politik menguji pengetahuan gerakan difabel yang memang sengaja diberi ruang untuk memperkenalkan pengetahuannya di kampus. Jurusan Polgov UGM telah membangun jembatan mempertemukan dua tradisi berpengetahuan ini. Disertasi saya sudah menunjukkan bahwa upaya mulia itu bisa dilanjutkan.
Semoga jembatan ini semakin memudahkan pertukaran intelektual sekaligus pembauran pengetahuan kampus dan organisasi gerakan sosial demi mempermantap pemahaman problematika kemanusiaan dan ketepatan tindakan untuk pembaruan tatanan sosial yang semakin manusiawi.
Pagi ini, disertasi berjudul ‘Keluar dari Hegemoni Pencacatan’ akan kusampaikan kehadapan penguji dan publik yang sebagian besar akan dihadiri aktivis difabel dan kawan-kawan gerakan sosial.
Ini momen penting. Setelah ujian tertutup beberapa bulan lalu, dan perbaikan lagi di sana-sini melalui diskusi dengan promotor dan ko-promotor serta dua tiga penguji yang punya cukup waktu dan perhatian pada sebuah karya akademik, akhirnya naskah final disertasi sudah rampung dan disetor ke perpustakaan UGM.
Hari ini waktunya memaparkan pengetahuan perlawanan epistemologis ini ke teman-teman aktivisme difabel sebagai bagian dari pemilik sah dan pengguna utama naskah ini. Kita sudah bergerak bersama sekian tahun. Sekian banyak kerja menghimpun dan memproduksi pengetahuan, menerapkan dan menyebarluaskannya adalah bagian dari kerja panjang kita.
Promosi doktoral ini sekaligus awal pertanggungjawaban saya ke teman-teman. Prosesnya tidak mudah. Selain soal naskah tadi, menyiapkan ruang akses adalah hal lain. Sejak awal, saya sudah sampaikan ke pihak akademik bahwa pesertanya adalah mayoritas difabel dengan beragam kemampuan. Gedung lama yang biasa dipakai untuk promosi doktoral adalah gedung tua dengan status cagar budaya. Tidak akses dan tidak memungkinkan dibuat akses. Gedung alternatif pun dipikirkan.
Naskah Disertasi Keluar Dari Hegemoni Pencacatan
Di Fisipol UGM, ruangan akses untuk bisa menampung sekurangnya 120 peserta ada di lantai 4, berlift, bertitian (ramp), dan toilet akses di ruang akademik polgov. Itu merupakan pilihan paling baik, walau selama ini belum pernah dipakai untuk prosesi promosi. Setting ruangan pun dilakukan.
Tapi aksesibilitas yang kami pikirkan bukan hanya soal infrastruktur. Peserta dari aktivis Tuli akan hadir dan saya harus memastikan ada relawan juru bahasa isyarat bisa membantu menerjemahkan. Awalnya satu bersedia, kemudian bertambah dua JBI lainnya. Trims sista!
Berpose dengan Backdrop Bertuliskan Ujian Terbuka Program Pascasarjana, Promosi Doktor Ishak Salim
Beberapa aktivis netra juga akan hadir dan beruntung Divisi percetakan braille Sigab dengan sigap menawarkan diri mencetak 7-10 eksampelar ringkasan disertasi dalam bentuk braille. Ini sungguh anugerah buat saya. Sebuah laku kerja kolektif dari pelaku aktivisme difabel yang selama ini memang telah bergerak bersama. Pihak pengelola Fisipol juga serius mengupayakan aksesibilitas itu.
Malam sudah larut, saatnya tidur. Usaha maksimal sudah diupayakan. Sampai bertemu di pagi ini!
Foto dengan sikap terbuka pada papan instagram fisipolugm
SIANG ITU KAMI SEDANG dalam perjalanan dari desa Kambuno Bulukumba menuju Taman Belajar Ininnawa (TBI) di Bantimurung Maros, saat Ishak Salim, Ketua PerDIK mengirimkan sebuah pesan broadcast di grup whatsapp manajemen PerDIK yang entah dia peroleh dari mana. Broadcast itu berisi informasi peluang belajar selama enam bulan di Selandia baru bagi anak muda yang aktif di NGO/CSO di kawasan Indonesia timur.
Bagi
Ishak dan mungkin kawan-kawan PerDIK yang lain,
saya merupakan salah satu kandidat
yang paling besar peluangnya ikut program ini mewakili PerDIK. saat itu,
saya kemudian membaca informasi tersebut lebih teliti dan langsung membuka
laman pendaftarannya yang full berbahasa inggris.
Program INSPIRASI (Indonesia Selandia Baru untuk Generasi Muda Inspiratif) sendiri adalah program belajar 6 bulan di Selandia Baru yang didukung oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia dan dikelola oleh UnionAID dengan dukungan dana dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT). Dalam mengelola program ini, UnionAID bekerja sama dengan Yayasan BaKTI sebagai mitra lokal di Indonesia dan Auckland University of Technology (AUT) di Selandia Baru.
Tes dan wawancara kandidat terpilih INSPIRASI 2019, Makassar 5-6 Maret 2019 (Sumber Foto: Yayasan BAKTI)
*
SETELAH
MEMBACA LEBIH detail tentang program Inspirasi di website www.unionaid.org.nz, saya sempat merasa
ragu untuk mendaftar. Pertama, saya tidak menemukan ‘disability issues’ sebagai
salah satu concern yang menjadi prioritas dalam program ini. Saya sempat merasa
kurang yakin akan bisa diterima menjadi salah satu peserta, bahkan untuk tahap short-listed untuk maju ke tahap interview. Saya pun
mengabaikan informasi tentang program ini, dan sama sekali tidak berniat untuk
memulai mengisi aplikasi.
Hingga
beberapa kawan dekat kembali mengingatkan dan memotivasi untuk mencoba
meng-apply program ini. 15 Januari 2019 (dua hari sebelum deadline pendaftaran
usai), saya baru kembali mempelajari dokumen dan formulir yang harus diisi jika
ingin mendaftar. selain memerlukan informasi dasar seperti: Nama, tempat
Tanggal lahir, email dan alamat, para pelamar juga diwajibkan menulis essay
singkat dalam bahasa inggris tentang:
Penjelasan tentang
organisasi tempat bekerja sekarang.
Hal positif yang pernah
dilakukan yang memiliki dampak positif bagi masyarakat/komunitas.
Hal-hal apa (special
interest) yang ingin dipelajari di new zealand jika nanti terpilih menjadi
salah satu peserta.
Nur Syarif Ramadhan (PerDIK) dan Zul Khaidir Purwanto (WASTEDUCATION) saat presentasi kelompok (Sumber foto: Yayasan BaKTI)
Tiga hal di atas harus dijawab dalam bentuk essay dalam bahasa Inggris yang jumlah katanya harus lebih dari 150 kata. Saya baru bisa menuntaskan pengisian aplikasi kira-kira 10 menit sebelum pendaftaran ditutup. Saya merasa kurang sempurna dalam menjawab 3 pertanyaan yang harus dijawab dalam bentuk essay. untuk poin pertama, tentunya saya bisa menjabarkan tentang PerDIK dan apa yang telah kami lakukan selama kurang lebih dua tahun belakangan ini. Tapi, untuk dua pertanyaan selanjutnya, saya merasa kurang maksimal. Mungkin karena terburu-buru dan dikejar deadline.
Untuk
pertanyaan kedua, saya menceritakan tentang pengalaman saya saat mahasiswa dan
mencoba membantu menyelesaikan beberapa problem yang dialami oleh mahasiswa
difabel lainnya yang berkuliah di Makassar. Jujur, saya kurang puas dengan
jawaban saya pada pertanyaan kedua ini. Saya baru menyadari, jika saya punya
hal yang lebih bernilai untuk saya ceritakan dalam pertanyaan kedua ini. Tapi
karena terlalu tergesa-gesa, saya melupakannya.
Untuk
pertanyaan ketiga, saya hanya menuliskan bahwa saya ingin belajar apa saja
tentang kehidupan difabel di New Zealand, bagaimana pemerintah New Zealand
memecahkan beberapa persoalan yang dialami difabel dalam kehidupannya
sehari-hari.
Bagi
saya, jawaban tersebut tidak spesifik, dan terlalu umum. Itulah yang kemudian
yang membuat saya kurang yakin bisa dipertimbangkan untuk bisa diterima. Hingga
kemudian, sebuah email istimewa saya terima kira-kira delapan hari kemudian.
Dear Syarif
We are pleased to advise that you have been included on our
PROVISIONAL SHORTLIST for INSPIRASI – the Indonesian Young Leaders Programme
2019. Congratulations! We received over 300 applications for the programme and
we have shortlisted 31 applicants. There are 10 positions available. I am the
manager for the programme. I will be one of the people on the selection panel
and I will work with the group right through their time in Aotearoa/New
Zealand. I love my job – we had a great year last year and the 2018
participants all returned home with new ideas, skills and ways of working to
strengthen their organisations and communities.
Being on the PROVISIONAL SHORTLIST means that if you follow
the next steps set out here you will be invited to an interview in March 2019.
The date and location of the interview will be advised soon. To accept your
place on the shortlist you must complete this online form: https://form.jotform.co/90300760330846
– This form must be submitted by midnight Wednesday 6 February to confirm
your interview. All parts must be completed fully in English.
There are some further documents required – these can be
uploaded using the above form (you can upload this in any format). The most
important of these is the supporting letter from your organisation. This letter
must be on your organisation’s letterhead and signed by the leader/director or
a senior manager in your organisation and it must include the following:
Your name and confirmation
that you work with the organisation
Your role in the
organisation
Whether your work in the
organisation is paid or voluntary (or a combination of paid and voluntary –
please explain how this works)
How long you have worked
with the organisation
Whether the organisation
supports your participation in the programme (Note: your organisation DOES NOT
pay any money for this programme – all your travel, living and study costs are
paid by UnionAID)
An undertaking that the
organisation will continue to employ you (or provide you with voluntary work)
for AT LEAST one year after you return from New Zealand (i.e. for at least
2020)
The name, role/job title
and signature of the person providing the letter
If you have a TOEFL/IELTS certificate and/or a passport you
will also need to upload pictures of these as provided on the form. If you do
not have a passport or your passport expires before 30 June 2020 you should
start the application/renewal process now. If you are selected for the
programme, we will need to apply for your NZ visa immediately and so any delay
with your passport could cause problems. Also, please tell us some more about
yourself in the question about your hobbies. What do you enjoy doing in your
spare time?
This form must be submitted by midnight Wednesday 6 February to
confirm your interview. All parts must be completed fully in English.
Once we have received the completed form, we can confirm the
time and place of your interview. At this stage we are holding all interviews
in Makassar and Kupang between 5 and 12 March. All your travel and
accommodation costs will be paid if you need to travel for the interview. The
interview will be for a full day and include presentations, group work, English
language testing and an individual interview with the selection panel. It will
be fun!
All arrangements will be made by our partner organisation,
BaKTI. The contact person for you at BaKTI is Sherly
Heumasse sheumasse@bakti.or.id. If you have any questions about the form
please contact Sherly.
Once more, congratulations on being shortlisted. We look
forward to receiving the completed form and to meeting you in March.
Ngā mihi,Laila. Laila Harré (Programme Manager)
INSPIRASI – Indonesia
Young Leaders Programme
*
para kandidat peserta inspirasi 2019 yang mengikuti tes interview hari pertama (Sumber foto: Yayasan BaKTI)
SAMBIL MELENGKAPI INFORMASI tambahaan yang disebutkan Laila pada email tersebut, saya juga mengirimkan email kepada bakti dan Laila, mengabarkan bahwa saya sangat senang menerima email jika saya masuk short leasted. Saya juga menyampaikan bahwa saya seorang difabel, yang mungkin butuh penyeseuaian saat mengikuti tes interview dan tertulis. Beberapa hari kemudian, baik Laila maupun ibu Sherly (Bakti) menyampaikan jika mereka akan mencoba melakukan penyesuaian, dan membuat agar proses yang akan saya lalui nantinya betul-betul aksesibel buat saya.
*
05 MARET
2019, TES INTERVIEW DAN TERTULIS itupun tiba.. bertempat di kantor BAKTI, ada 8
kandidat yang mengikuti tes hari pertama. Mereka berasal dari
provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua.
Berada
diantara para kandidat lain, saya merasa
tiba-tiba down, merasa inferior. Mendengar mereka memperkenalkan diri dalam
bahasa inggris yang menurutku sangat lancar makin membuatku merasa tak bisa
bersaing. Saya sudah merasa kalah sebelum bertanding.
Proses
seleksi hari itu dibagi dalam 4 tahapan yakni presentasi individu,
kerja kelompok, tes bahasa inggris dan wawancara individu. Tim panel untuk seleksi adalah Laila Harre dan Michael Naylor dari
UnionAID, Mike Ingriani dari NZ MFAT, Zusanna Gosal dari BaKTI dan beberapa
alumni Program INSPIRASI 2018.
Pada
Sesi presentasi individu, kami diminta memperkenalkan organisasi masing-masing,
menghubungkan setidaknya dua poin dalam SDGS yang ada hubungannya dengan yang
telah kami kerjakan.
Dua
poin SDGS yang saya tekankan dalam presentasi saya adalah Quality of Education,
dan Gender Equality. Saya menceritakan pengalaman saya saat mendorong difabel
untuk lebih memilih bersekolah di sekolah umum
ketimbang harus bersekolah di SLB. Saya juga menceritakan bahwa meskipun
indonesia sudah memiliki kebijakan tentang pendidikan inklusi, tapi dalam hal
implementasi, panggang masih jauh dari api. Ketika seorang difabel memutuskan
bersekolah di sekolah reguler, nyaris tidak ada penyesuaian yang layak (reasonable accommodation) yang dia
peroleh. Dia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak akses
(integrasi) dan harus memecahkan
problemnya sendiri dalam hal mengakses pembelajaran maupun lingkungan sekolah
yang tidak akses. Saya juga menceritakan tentang keterlibatan perempuan difabel
dalam berbagai sektor juga masih sangat rendah.
Tiba
di sesi presentasi inilah, saya mulai menemukan kepercayan diri untuk berbicara. menurutku, issue/apa yang
telah kami di PerDIK lakukan tidak kalah
dari apa yang telah organisasi lain lakukan.
Sesi
selanjutnya adalah kerja kelompok. kami dibagi menjadi empat kelompok,
tiap-tiap kelompok diminta membuat sebuah alat peraga yang menggambarkan strategi masing-masing kelompok
dalam mendorong partisipasi anak muda dalam bidang politik..
Saat
itu saya berpartnert dengan Zul Khaidir Purwanto (WASTEDUCATION). Kami mereplikasi
sebuah TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang ramah bagi semua. Kami menunjukkan
bagaimana area jalan ketika memasuki TPS harus bisa diakses oleh pengguna kursi
roda, bagaimana seharusnya tinggi bilik suara, hingga contoh templet suara yang
dapat digunakan oleh pemilih difabel penglihatan (blind, Lowvision), saat ingin menyalurkan hak suaranya. saya merasa
memperoleh poin yang lebih dalam sesi ini. Laila beberapa kali terdengar
terkesan dengan hasil kerja kami.
Setelah
break makan siang, sesi dilanjutkan dengan interview dan tes tertulis bahasa
inggris. Kami lagi-lagi dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok langsung
mengikuti interview dan satunya mengerjakan tes bahasa inggris. Saya tergabung
dalam kelompok yang terlebih dahulu harus mengerjakan tes bahasa Inggris.
Seperti yang saya minta, mereka menyiapkan soal dalam bentuk file yang bisa
saya kerjakan dengan menggunakan laptop. Tes tersebut terbagi kedalam dua
bagian, yaktni tes grammar (tatabahasa), dan writing. Sayangnya, saat
mengerjakan soal grammar, ada beberapa hal yang tidak bisa diakses oleh jaws
(pembaca layar), karena berbentuk gambar. Akhirnya salah satu alumni inspirasi
2018 dibolehkan untuk membantu saya membacakan soalnya, dan saya langsung
menuliskan jawaban saya di laptop. Untuk writing test, saya tidak menemukan
kendala apapun. kita diperintahkan menulis minimal 200 kata dengan topik
tertentu yang sudah mereka tentukan. Menurutku, test tersebut tidak begitu
sulit, jauh lebih gampang dari ielts writing test.
Berikutnya,
saya mengikuti sesi interview. Saya menjadi peserta pertama di kelompok kedua
yang terlebih dahulu memasuki ruangan interview. ada empat orang yang menjadi
interviewer yakni: Laila Harre dan Michael Naylor dari UnionAID, Mike Ingriani
dari NZ MFAT, Zusanna Gosal dari BaKTI dan Rezky Pratiwi (alumni Inspirasi
2018).
Laila
Harre memulai interview sore itu dengan menjelaskan secara singkat detail
program Inspirasi. Ia menyampaikan bahwa saya merupakan disabilitas pertama
yang mendaftar di program ini, meskipun pada program inspirasi tahun
sebelumnya, ada salah seorang peserta yang bekerja di isu disabilitas.
“Kami
belum punya pengalaman bagaimana mengakomodir seorang disabilitas, kami juga
tidak tahu, apakah ada fasilitas yang dapat mendukungmu dalam proses
pembelajaran nantinya jika kamu terpilih menjadi salah seorang peserta yang
akan berangkat ke New Zealand. Tapi kami mungkin akan berdiskusi dengan AUT
(Auckland University of Technology), jika
kamu terpilih. mungkin saja mereka bisa memberikan fasilitas yang dapat
mendukung selama proses pembelajaran.” begitu kalimat yang disampaikan
Laila sore itu.
Selanjutnya,
secara bergantian, para panelis menanyai saya satu persatu. pada umumnya,
mereka menanyakan tentang diri secara personal (misalnya asal daerah, Usia dan
apa yang sedang dikerjakan). Selanjutnya mereka menanyakan tentang organisasi
yang kita wakili (program kerjanya yang sudah dilakukan, dan fokus isu yang
dikerjakan). selanjutnya, mereka menanyakan apa hal khusus yang ingin dipelajari (Special Interest), jika nanti
terpilih ke Selandia baru, serta apa
manfaat hal tersebut jika kelak kita kembali ke organisasi tempat kita bekerja.
dua poin terakhir yang mereka tanyakan adalah: apa yang akan dilakukan, atau akan jadi apa anda
lima tahun mendatang, dan adakah skill khusus atau talenta yang kita miliki
yang membuat kita special dan pantas untuk terpilih.
Mengakhiri
sesi sore itu, Laila memberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Saya
menggunakan kesempatan ini dengan menanyakan kapan saya bisa mengetahui
pengumuman peserta yang akan terpilih, serta saya juga menyampaikan bahwa jika
nantinya saya terpilih, saya bisa memberikan saran pada mereka mengenai
fasilitas apa yang kira-kira saya butuhkan selama proses.
*
PROGRAM INSPIRASI AKAN BERLANGSUNG selama lima tahun (2018-2022). Menurutku, ini merupakan kesempatan besar bagi generasi muda Difabel yang aktif di organisasi masyarakat sipil atau organisasi non pemerintah di Kawasan Indonesia Timur untuk berpartisipasi dan memperluas jaringan melalui program ini. Masih ada tiga kali kesempatan yakni tahun 2020, 2021, dan 2022[].
*Saat ini, Nur Syarif Ramadhan sedang mengikuti program INSPIRASI 2019 di Selandia Baru
Eko Peruge, salah satu penggagas Ekspedisi Difabel Menembus Batas 2016 Gunung Latimojong membuktikan lagi menembus batas dirinya. Dulu, saat mendiskusikan nama ekspedisi ini, kami bertukar pikiran soal memaknai kata “Batas” itu. Butuh beberapa kali pertukaran gagasan hingga sampai kata Difabel Menembus Batas. Intinya, setiap orang memiliki keterbatasan, tapi tak seorangpun bisa mengukur di mana batasan itu berada.
Saat Eko, bersama pendaki-pendaki Mamasa beberapa waktu lalu memutuskan menguji lagi batas diri masing-masing, maka menjelajah Gunung Gandang Dewata adalah sebuah pilihan tepat. Menurut kabar dari beberapa pendaki yang pernah kudengar, termasuk salah satu pendaki pelopor dari Jogja yang pernah ke sana sekitar tahun 1992 Antok Suryaden, Gandang Dewata yang ketinggiannya walau masih lebih rendah dibandingkan Latimojong memiliki medan yang jauh lebih berat dan menantang. Sayangnya, ekspedisi ini tidak melibatkan sejumlah difabel sebanyak saat ekspedisi di Latimojong dan apalagi saat ke Gunung Sesean di Toraja.
Tim Ekspedisi Difabel Menembus Batas Gunung Gandang Dewata, Juli 2019
Saya menjawab pertanyaan beberapa kawan difabel yang juga ingin mendaki bergabung dalam sebuah ekspedisi difabel ini saat mereka bertanya, “kenapa tidak mengabari? Padahal saya mau ikut kalau ada ekspedisi.” Saya hanya menjawabnya datar, “Gunung Gandang Dewata bermedan berat, biarlah Eko jajal dulu. Mari kita tunggu rencananya ke depan.
Mas Sabar Gorky tentu senang dengan capaian Eko ini. Dua orang ini bersahabat. Sama-sama mencintai gunung. Bedanya Gorky sudah menjajal limitnya di gunung-gunung paling menantang di luar negeri, seperti Elbrus, Kilimanjaro dan Aconcagua. Di Elbrus lah, Mas Sabar mendapatkan nama dari rekan seperjalannya. Katanya Gorky nama Rusia yang cocok untuk Sabar yang hidupnya pernah merasakan pahit. Gorky juga diambil dari nama penyair Rusia yang melekat pada dirinya: Maxim Gorky. Ia seorang pengarang yang dipuja sastrawan Pramoedia Ananta Toer.
Sebagai teman, saya bangga ia bisa melakukan itu di Mamasa. Pengalaman sewaktu bersama di Kampung Karangan usai ekspedisi di Latimojong lebih 2 tahun lalu, orang-orang kampung terkesima dan menyadari satu hal, kondisi diri dengan hanya satu kaki menopang tubuh dan beban di punggung, bukan berarti hidup sebagai orang dengan keterbatasan. Orang-orang di Mamasa aku yakin akan merasakan hal sama.
Mantap Eko, Proficiat. Saya yakin, Aconcagua di Argentina selanjutnya akan menyiapkan punggungnya kau tatto dengan tapak sepatu dan krukmu.
Sudah hampir delapan bulan ini aku menggeluti usaha jual beli Set Top Box Indihome sekaligus menjual jasa untuk unlock dan isi game ke Set Top Box Indihome. Hasil dari itu aku bisa memenuhi kebutuhan hidup dan mampu membiayai aktivitas di luar rumah saat menggunakan kendaraan mobil online.
Budi dalam salah satu kegiatan di Bandung
Berawal
dari kejenuhan Tontonan TV
Aku usaha seperti itu
tanpa ada rencana atau kesengajaan untuk mencari uang atau mencari apapun. Awalnya dari kesalahan membeli Set Top Box
Indihomee dan kejenuhan menonton siaran televisi lokal ingin memiliki alat untuk bisa menonton
siaran televisi luar negeri yang katanya bagus dan mendidik.
Kepikiran untuk pasang Indihome di rumah tapi aku pikir-pikir kembali terlalu mahal untuk memasang. Kata orang-orang, jika tidak digunakan tetap bayar bulanannya. Aku lalu membatalkan memasang Indihome karena harus bayar bulanan dan keluarga juga jarang menonton televisi.
Mendapatkan informasi dari
beberapa orang tentang Set Top Box Indihome unlock
dan root yang memakai kuota internet
dari ponsel membuat aku mencari tahu harganya di toko online, yang
ternyata
ada murah dan ada pula mahal. Jelas aku memilih
yang paling murah, dengan rincian harus full
set tanpa ada satu pun yang kurang dan ditambah mulus. Pasti semua ingin
seperti itu. Langsung saja segera aku memesannya di toko online.
Aduh, kok bisa gini
ya? Barang yang aku pesan sudah datang dan mendadak televisi di rumah rusak,
tiba-tiba tidak
ada gambar, hanya
ada
suaranya seakan berubah menjadi radio. Aku harus menunggu seminggu hingga
televisi di rumah selesai diservis. Setelah itu aku bisa mencoba Set Top Box Indihome yang aku pesan dari toko online.
Seminggu kemudian aku langsung mencoba memasang Set Top Box Indihome di televisi yang sudah diperbaiki.
Set Top Box Indihome
Apa yang terjadi?
Jari tangan ini langsung
menggaruk kepala sambil kebingungan karena berbeda dengan tampilannya yang sering aku lihat di google maupun di televisi temanku. Seketika itu, aku langsung
menghubungi pedagangnya untuk menanyakan perlihal yang terjadi. Masih belum bisa
langsung dipakai jawabnya, saat aku tanya pada penjualnya dan membutuhkan unlock katanya.
Aku kesulitan untuk
menemukan orang yang bisa unlock. Jika ada pun, jauh lokasinya
dan tidak bisa dipanggil ke rumah. Pada saat itu yang menjual jasa unlock Set Top Box Indihome sangatlah
sedikit jumlahnya, tidak seperti sekarang ini sudah sangat banyak yang
menjajakin jasa unlock pada Set Top Box Indihome.
Set
Top Box Indihome yang aku beli itu berubah menjadi rongsokan. Aku membiarkannya tersimpan di bawah
tangga bersama barang yang tidak terpakai lagi.
Sebenarnya aku sudah menemukan orang yang bisa unlock Set Top Box Indihome, namun ayahku tidak mau mengantar
barangnya ke sana alasanya,
“Harusnya beli ini itu yang
sudah siap dipakai bukan beli dibikin repot lagi,” katanya
Mencoba
Tanpa Henti
Beberapa minggu barang
menjadi barang rongsokan, aku pun mulai rajin membaca
semua mengenai unlock dan root.
Ada rasa khawatir gagal walaupun dasarnya aku pernah belajar IT, saat
aku membaca dengan detail ketika melakukan unlock
beresiko bootloop/gagal yang
berakibat mati total dll.
Aku seorang yang ingin
mencoba dan selalu penasaran jika tidak mencoba walaupun berakibat buruk
nantinya.
Aku
pikir tidak apa-apa dari sebuah kegagalan akan ada ilmu untuk memperbaikinya.
Seringkali aku mengalami kegagalan saat root
di handphone dan saat otak atik computer, langsung saja aku bawa pada yang ahli
dekat rumah. Alhamdulillah percobaan pertama kali ini di Set Top Box Indihome
berhasil tanpa ada kegagalan.
Dari keberhasilan itu,
penasaranku bertambah untuk merombak dan mengotak-atik
sistem operasi Set Top Box Indihome
yang hanya bisa menjadi alat untuk menonton televisi saja, namun kini bisa juga
dijadikan sebagai alat untuk bermain game.
Dari situ juga aku berpikir untuk menjadi seorang yang memberikan jasa setting
dan mengisi game di STB indihome yang belum ada yang melakukan.
Respon
Pelanggan Terhadapku
Selama aku menjual Set Top Box Indihome dan menjual jasa unlock plus isi gamenya, sikap orang yang datang ke rumah, saat baru melihatku sikapnya bermacam macam. Tubuhku kaku, menggunakan kursi roda, plus raut muka yang tidak meyakinkan bahwa orang ini yang melakukannya.
Ada yang heran, bengong atau menatap saja. Ada juga memilih mengobrol dengan orang tuaku di ruang tamu dan membayar biaya ke orang tuaku walaupun dia melihat jika aku yang mengerjakannya. Ada juga yang biasa aja ngobrol denganku di ruang kerja dan bersedia membantu jika ada kesulitan saat mencolok kabelnya. Hati ini sangat senang jika pelanggan membayar langsung ke aku, karena aku yang usaha bukan orang tua.
Budi bersama orang tuanya
Aku selalu memberikan
nomer whatsapp kepada orang yang
sudah menerima jasa Unlock atau yang
sudah membeli Set Top Box Indihome. Tujuannya adalah
memberikan pelayanan dariku untuk mereka bertanya jika ada yang tidak
dimengerti, terlebih aku juga bisa mengadvokasi melalui hubungan yang baik agar
mereka terbiasa berkomunikasi dengan seorang disabilitas berat sepertiku.
Inilah salah satu cara advokasiku terkait
bahwa ‘orang dengan disabilitas berat’ seperti aku
mampu produktif dan mampu membiayai diri sendiri tanpa harus meminta-minta kepada
orang tua maupun orang lain.
Inilah bukti jika
disabilitas berat seperti aku jika diberikan kepercayaan oleh keluarga,
diberikan dukungan ilmu dan tidak membiarkan diriku pasrah dengan
sebuah kondisi yang katanya ahli surga.
Menurutku, untuk masuk Surga, seseorang membutuhkan ilmu. Tuhan menciptakan manusia tidak untuk diam saja. Untuk masuk Surga, mungkin tidak bisa langsung masuk begitu saja kecuali meninggal dunia saat waktu bayi yang belum memiliki kewajiban[].
Budi bersama rekan-rekan aktivis difabel di kantor BILiC (Bandung Independent Living Center)
*Budi adalah aktivis difabel dari Bandung yang memperjuangkan hak Difabel yang paling marjinal, yakni yang ia kategorikan sebagai DIsabilitas Berat.
*ini cerita fiksi, atau semi-fiksi. Kalau ada kejadian serupa dalam hidup anda, yakinlah bahwa sebagian dari kesamaan itu fiksi belaka (Ishak Salim).
DI SEBUAH KAMPUNG KECIL DI LUMAJANG. Mamad sedang membaca Kitab malam itu. Anak-anak sudah tidur. Istrinya, Inah baru saja usai mengaji. Di atas meja kayu, ada dua koin tergeletak. Masing-masing bernilai 5 Rupiah. Mamad meraih satu koin itu dan mengamati gambarnya. Sebuah keluarga terdiri dari bapak, ibu dan kedua anaknya berdiri berjejer. Mereka sedang menatap ke dalam koin, jauh sekali seperti menuju masa depan. Tulisan ‘Keluarga Berencana’ yang melingkari tepi koin menunjukkan maksud gambar itu.
Akhir tahun 70-an, Presiden
sedang getol-getolnya mengajak keluarga-keluarga mengikuti mantra pembanguan,
batasi kelahiran, raih hidup sejahtera!
Malam semakin larut, tapi
keduanya belum mengantuk. Mamad bercerita macam-macam hal tentang Panti Asuhan
Muhammadiyah yang dikelolanya. Kebutuhan makanan anak-anak panti mulai menipis.
Ia mengemukakan sejumlah rencana mengatasinya. Inah mendukung apapun yang akan
dilakukan suaminya. Puas Mamad bercerita, gantian Inah yang bercerita, tentang
anak-anak mereka.
Malam sudah betul-betul larut. Inah
mengajak Mamad istirahat, tidur. Di kamar, Inah berbisik, ingat, cukup enam
saja anak kita. Tak usah tambah lagi.
Mamad melepas pecinya dan
meletakkan di sebuah paku yang tertancap di dinding. Ia mengingat gambar koin lima
rupiah tadi dan janji bahwa kali ini mereka harus ber-KB. Tapi malam itu cuaca
Lumajang sedang dingin dan basah. Hujan deras sore tadi membuat aroma bumi
begitu segar. Ia melepaskan kemejanya, menggantungnya di balik pintu kamar. Ia
pun berbaring, lalu memeluk Inah yang membelakanginya. Ia merasakan hangat yang
lembut dan aroma perempuan meruak di hidungnya.
Dasar malam sedang indah,
tiba-tiba hujan turun. Deras sekali, menampar-nampar genteng dan petir sesekali
mengguntur.
Malam itu, mantra ‘keluarga
berencana’ melesap, tak teringat sama sekali. Keduanya lalu bergemuruh
mengikuti irama hujan yang tumpah ruah. Keringat mengucur deras.
Saat dirasanya hujan tinggal
rintih-rintih, dan keduanya usai dengan ritualnya, Inah menyikut perut suaminya,
manja. Keduanya lalu memlih tidur. Suara kodok mendengkung tak karuan.
*
Beberapa bulan setelah malam itu,
Inah berjalan di tepi sawah menuju rumahnya. Ia tampak terburu-buru. Sial, Ia
terpeleset karena kerikil tanah dan terjatuh ke sisi pematang. Perutnya
membentur tanah dan ia merasakan sakit yang sangat. Ia ingat janinnya. Rasa sakit ia bawa sampai di rumahnya.
Mamad terkejut melihat Inah kesakitan. Seorang tetangga mengantarnya. Ia
langsung pamit setelah Inah masuk ke rumah.
“Kita ke dokter, ma!” Mamad
langsung mempersiapkan diri. Inah masih meraba perutnya dan mulai khawatir.
Di rumah, anak-anak bertanya
bagaimana keadaan ibunya. Mamad yang memilih menyampaikan. Usia kandungan Inah
5 bulan, dengan kondisi kandungan yang memburuk. Dokter mengatakan bahwa bayi
yang dikandung ibu mereka akan lahir cacat. Keluarga ini merasakan kesedihan. Setiap
waktu Mamad mendoakan istrinya, begitupun Inah mendoakan agar bayinya baik-baik
saja.
Anak ke tujuh mereka akhirnya
lahir. Kerabat dekat datang menemani. Anak laki-laki menangis. Satu persatu
anggota keluarga Mamad dan kerabatnya yang ada saat itu juga ikut menangis.
Dugaan dokter tidak meleset.
Mamad memerhatikan tubuh anaknya.
Ia mengucapkan syukur berkali-kali. Mulanya ia terkejut, namun tak lama, ia
menyambut kelahiran itu dengan suka cita. Inah menangis, antara kebahagian dan
kekhawatiran dengan keadaan anaknya.
Bayi itu, kedua kakinya berdempetan.
Mamad memegangnya. Tangan kanannya yang bengkok. Mamad merabanya. Leher miring,
selembar daging menarik leher bayi ini kearah kanan. Kepalanya seperti terkuci
tak bisa bergerak.
Dokter bertindak cepat. Anak ini
belum boleh dibawa pulang. Beberapa pemeriksaan harus dilakukan, termasuk
kemungkinan melakukan operasi memisahkan sepasang kakinya yang berdempetan. Observasi
medik pun dilakukan.
Mamad memberinya nama Hari. Ia
lahir setelah azan subuh tadi. Tepat ia memulai hari di bulan Juli dengan
tangisannya.
Tujuh bulan kemudian, Februari
1978, dokter memutuskan mengoperasi pemisahan kedua kaki Hari. Mamad dan Inah
menyetujuinya. Mereka pun menuju Surabaya, ke Rumah sakit Dr. Soetomo. Mamad
dan Inah dan anak-anak berdoa bersama. Mereka jelas berharap kaki Hari bisa
terlepas dan mulai belajar merangkak atau berdiri.
Dokter bekerja dengan baik. operasi
hari itu berhasil memisahkan kaki Hari. Beberapa hari kemudian mereka kembali
ke Lumajang. Dokter yang mengoperasi Hari mengupakan kaki kirinya tidak
bengkok. Sayangnya, saat Mamad membawa
Hari melakukan kontrol di Rumah sakit Lumajang, rupanya seorang suster melepaskan
pembalut bekas operasi itu. Luka belum kering, rasa sakit menyiksa Hari.
Sejak kejadian itu, kaki kiri
Hari bengkok. Mamad berupaya melakukan hal-hal terbaik untuk anak bungsunya
ini. Ia telaten menjaga dan mengajarkan anaknya banyak hal. Termasuk mengurut
kaki Hari agar bisa cepat belajar jalan. Mamad ternyata seorang terapis, ia ahli
akupresur—sebuah teknik terapis menghilangkan nyeri. Mamad menggunakan
kemampuan itu mengurut Hari setiap hari.
Hasilnya lumayan, pada usia 18
bulan, Hari mulai bisa berjalan. Terseok-seok. Kaki kirinya menapak dengan
punggung kaki. Hari miring kekiri setiap berjalan, pincang. Punggung kaki itu
jadi tampak kapalan, mengeras.
Mamad begitu telaten mengurus
Hari. Inah apalagi. Keduanya juga tak membeda-bedakan perlakuan maupun kemanjaannya
dengan kakak-kakaknya yang lain. Anak-anak mereka belajar mandiri sejak dini.
Mamad ayah yang baik bagi anak-anaknya.
Suatu hari, di sekolah kakaknya, Hari
menemani kakaknya membaca puisi. Hari saat itu belum pula sekolah di TK, masih berusia
4 tahun. Ia terbata-bata mengucapkannya kata-kata puisi. Ia belum lancar
membaca saat itu, tapi ia percaya diri bisa melakukannya.
MAMAD MEMASUKKAN HARI di
Raudlatul Athfal NU IV Lumajang. Jaraknya tak jauh dari rumahnya. Hanya berkisar
200 meter. Ia ingin Hari bisa berjalan sejauh itu sekaligus semakin menguatkan
otot-otot kakinya. Beberapa kali Mamad melihat Hari di sekolah. Memperhatikan Hari
dari balik jendela kelas. Melihatnya menggambar atau menulis dengan tangan
kirinya. Ia tahu, anak lelakinya ini tak bisa memakai jemari tangan kanannya
yang lemah. Hari melaluinya dengan mudah. Menulis dengan tangan kiri sama
mudahnya menulis dengan tangan kanan bagi teman-temannya di kelas.
Mamad senang anaknya menikmati
hidupnya. Dua tahun setelah itu, Hari melanjutkan sekolah di SD Lowo alias
sekolah yang menjadi tempat kelelawar membagun sarang. Hari masih ingat betapa
menyegat bau pesing kelelawar itu. Saking baunya, aroma sengit itu menempel
dibaju seragamnya. Lama-lama ia terbiasa dengan aroma Lowo itu. Nama SD ini
sebenarnya adalah Ditotrunan 1. Terletak di jalan Alun-alun Selatan.
Hari suka main bola. Ia pemain
yang disukai teman-teman kelasnya. Tapi ia tidak hanya bersepak bola, ia juga pemain
tenis meja yang jago. Di kampungnya, rata-rata anak-anak kecil sudah bermain
tenis. Demam bermain tenis meja membuat kampungnya jadi parameter kehebatan
petenis meja se Lumajang. Orang muda dan orang dewasa di kampung hari jata-rata
jago memainkan bet dan bola pimpong itu.
Hari kecil tidak cuma menyukai olah
raga, ia juga mengikuti kegiatan pramuka. Ia begitu aktif seolah melampaui apa
yang orang-orang banyak pikir soal tubuhnya. Kaki kirinya yang pincang,
lehernya yang kaku, atau jemarinya kanannya yang lemah. Sesuatu yang
biasa-biasa saja.
“Bagaimana jika seandainya Hari
sekolah di SLB?” ujar seorang kawan Mamad yang berkunjung ke rumahnya suatu
hari. Mamad menimpali santai. Pertanyaan itu tak perlu ia jawab. Sampai
kapanpun, Ia tidak pernah menyetujui ada sekolah namanya SLB. Sekolah kok luar
biasa, batinnya.
“Betul, seharusnya anak-anak
bermain atau belajar bersama yang lainnya. Tidak perlu dikumpul jadi satu
sesama orang cacat,” kata teman Mamad sambil menikmati pisang goreng yang
disajikan Inah.
“Cacat itu cuma ada pada diri
orang yang perangainya buruk, mas,” tiba-tiba Inah muncul dan duduk disamping
suaminya. Laki-laki itu manggut-manggut.
“Hari itu tidak pernah merasa
memiliki keterbatasan,” ujar Mamad melanjutkan obrolan.
“Ia juga tidak merasa perlu
dikasihani. Walau ada saja orang yang merasa perlu mengasihaninya. Mesakke katanya,” Mamad menunjukkan nada
kesal.
Perasaan kasihan pada anak-anak
hanya akan membuat mereka malu hati atau rendah diri. Itu tidak baik. Bebaskan
saja ia ingin berbuat apa, orang tua hanya perlu mendukung saja. Membantu
seperlunya.
Di tengah obrolan sore itu,
tiba-tiba Hari datang. Ia memberi salam dan masuk ke rumah. Tubuhnya bau
keringat.
“Main apa, Har?” Inah heran
melihat anaknya dekil berdebu.
“Main gobak sodor!” teriak Hari
langsung ke belakang.
Mamad teriak, “Mandi!” Hari tak menjawabnya.
Hari kecil paling senang main
bola. Kalau sudah menggiring bola ia suka membayangkan dirinya sebagai Ruud
Gullit atau Van Basten. Ia menyukai trio Belandan yang juga pemain AC Milan itu
bersama Rijkaard. Tapi ketimbang AC Milan, ia jauh lebih mencintai Arema Malang
(kini Arema FC). Ia seorang Aremania cilik saat itu. Saat pemain-pemain Arema menjuarai
Galatama pada tahun 1992, ia lantas mengagumi Singgih Pitono dan Micky Tata.
Selepas Hari mandi, Mamad menghampiri
Hari yang sedang duduk menonton televisi. Mamad menyodorkan beberapa buku
untuknya.
“Baca, nih!” ujarnya datar. Hari
meraihnya senang. Beberapa buku cerita. Ia membaca satu judul buku “Marsudi si
Anak Tiri dari Desa Waleri”.
Hari menyukai cerita dalam buku
itu. Kisah tentang Marsudi, si anak tiri yang kerap diperlakukan berbeda dengan
saudara-saudaranya oleh ibu tirinya. Walaupun begitu, Marsudi tetap ceria,
supel bahkan pandai dalam kesehariannya. Kelak ibu tirinya menyesal karena
kebaikan dan kepintaran anak tirinya ini.
Sejak ayahnya Mamad sering
membelikan Hari buku-buku. Ia jadi suka membaca. Itu memang pesan ayahnya yang
sering diulang-ulang kepadanya.
“Jadilah seorang pembaca!” begitu
katanya.
Hari mengagumi dan bangga pada
ayahnya. Ia kerap mendengarkan ayahnya berbincang dengan tamu-tamu yang datang.
Ia paling suka kalau ayahnya mulai berdiskusi. Selain itu, Mamad memang suka
mengajak Hari jalan-jalan, termasuk ke Panti Asuhan Muhammadiyah. Bagi Mamad,
membiasakan Hari dalam keramaian akan menumbuhkan rasa percaya diri pada
anaknya.
*
SUATU HARI, MAMAD DAN INAH
BERBINCANG soal membelikan Hari sebuah brace
atau penyangga kaki kirinya. Keduanya bersetuju membelikannya dan meminta Hari
untuk mau memakainya.
“Kalau mau, ayah belikan,” kata
Mamad ke Hari saat ia usai menjelaskan apa itu brace.
Hari memilih menolaknya. Ia
justru berpikir lain. Brace hanya akan membatasi langkah dan larinya. Ia tidak
ingin bermain bola dengan besi melilit kakinya. Ia tidak mau pakai brace.
Mamad tak memaksanya. Inah pun
demikian. Anak bungsunya ini memang anak yang kuat, bathinnya.
Kali lain Mamad berbincang dengan
Inah. Kali ini agak lebih serius dari biasanya.
“Bagaimana kalau kita meminta
Hari untuk operasi leher,” Mamad ingat seorang dokter saat kaki Hari usai
dioperasi, pernah menyarankan itu. Saat itu, usia Hari 12 tahun. Ia berharap
Hari bisa memiliki kepala yang bisa bergerak bebas.
Jika soal brace, Inah masih menyetujui upaya suaminya, kali ini Inah yang
menolaknya. Ia tidak berani membayangkan operasi kepada anak laki-lakinya
dengan menyayat batang lehernya.
Mamad menyampaikan rencana itu ke
Hari. Sebagai anak-anak yang mendambakan wajah serupa dengan kawan-kawannya,
Hari setuju saja kalau operasi itu dilakukan. Inah menangis mendengar kesediaan
anaknya. Melihat ibunya menangis, ia tidak tega. Dengan sopan ia berujar
keayahnya untuk membatalkan saja rencana itu.
Hari kecil kembali melewati
hari-harinya secara biasa. Bagaimanapun kondisi tubuhnya, ia tetaplah anak-anak
yang nakal atau usil. Ia seperti anak-anak atau kawan-kawan lainnya.
Suatu waktu, kelasnya senyap. Teman-temannya
diam menunduk. Guru Matematika Pak Joko sedang kesal. Beberapa anak tak membuat
PR. Hari salah satunya. Pak Joko mengambil penghapus papan tulis dan memanggil
Hari.
Hari melangkah gontai. Ia gentar
menghadapi Pak Joko yang killer ini.
“Gigit!” kata Pak Joko sambil
menyerahkan penghapus papan tulis itu.
Hari tak kuasa menolaknya. Ia
melirik ke teman-temannya dan mulai membuka mulutnya. Penghapus itu disorongnya
dan menggigitnya pelan-pelan. Ia menutup matanya yang malu-malu melihat
teman-temannya mulai tersenyum dan ricuh. Kejadian itu tidak hanya sekali,
terjadi beberapa kali dengan hukuman berbeda di pelajaran yang lain. bagi Hari
itu kesialan saja, bukan karena ia nakal.
Saat ia lulus SD, Hari
melanjutkan ke SMP Negeri 1 Lumajang. Teman-temannya kebanyakan juga bersekolah
disitu. Hari senang sekali.
Tapi, sejak itu, ayahnya mulai
sakit. Nyeri di dada kirinya. Inah bilang ke Hari kalau rasa sakit di dada kiri
itu sudah dirasakan ayahnya dua tahun ini. Belakangan kata dokter, Mamad
mengidap penyakit jantung koroner.
Tak lama setelah Hari bersekolah
di SMP, ayahnya meninggal. Inah menangis sedih, kakak-kakaknya pun demikian.
Hari murung selama berhari-hari. Ia amat mencintai ayahnya.
*
SEPENINGGAL AYAHNYA, HARI melewati
hari-harinya seperti biasa. Ia masih sering mengenang ayahnya saat mengalami
kesulitan-kesulitan dalam pergaulannya. Kalau sudah begitu, biasanya Ia membaik
lagi dan akan mengatasi kesulitan yang dihadapinya itu perlahan-lahan.
Tahun demi tahun berganti. Hari
melanjutkan di SMA Negeri 2 Lumajang. Hari tetap mengikuti kegiatan-kegiatan
layaknya anak lelaki. Ia aktif di Tapak Suci dan mengikuti Kelompok Penempuh
Rimba Pendaki Gunung “Argawana”. Saat permulaan, ia bersama anggota-anggota
baru mendaki Gunung Lamongan dan mulai menyukai gagasan-gagasan pelestarian
alam.
Lepas SMA tahun 1997 Hari
melanjutkan pendidikannya di Universitas Brawijaya. Ia mengambil jurusan hukum.
Ia masih tak berubah. Tetap aktif. Ia mengikuti banyak kegiatan. Dia aktif di
UKM Tapak Suci, Forum Studi Agama, Forum Kajian dan Penelitian Hukum, Law
English Study Club, dan bersama kawan-kawannya mendirikan teater “Kertas” Fakultas
Hukum Uni. Brawijaya serta sempat ikut menjadi jurnalis mahasiswa di Majalah
Mahasiswa Manifest.
Selama kuliah, Hari merasa
dirinya seorang Sosialis. Ia menyukai gagasan-gagasan pembebasan. Ia juga mulai
melirik gerakan bertemakan kecacatan saat itu. Di awal ia kuliah di Unibraw,
pemerintah baru saja mengesahkan UU Penyandang Cacat No. 4 tahun 1997.
Selepas kuliah pada 2002 ia mulai ke desa dan mengorganisir petani. Di desa Lengkong, Mumbulsari, setahun setelah ia lulus ia mendorong masyarakat membentuk Organisasi Rakyat bernama Persatuan Rakyat Lengkong. Saat pembentukan Komite Kabupaten Pergerakan Sosialis tahun 2003, Hari terpilih sebagai ketua. Sambil mengurusi petani, Hari juga mulai menekuni isu kecacatan dan bergabung ke dalam organisasi yang bernama ‘Persatuan Penyandang Cacat’ Perpenca Jember.
Sampai saat ini, Hari sudah bergerak jauh sekali. Ia telah mendirikan satu Lembaga Bantuan Hukum untuk disabilitas di Malang dan bekerja memberi layanan bantuan hukum skala Jawa Timur, termasuk Jakarta. Ia juga bergerak di kabupaten-kabupaten lain bahkan ke pelosok-pelosok desa mengabdikan diri untuk rakyat. Kini ia juga seorang pengacara yang banyak membela petani-petani yang terusir dari lahannya karena keserakahan pengusaha ataupun pemerintah. Ia tak takut membela siapapun. Tak gentar pada apapun. Ia bahkan tak takut miskin dengan hanya menjadi pengacara probono.
*
“Nama lengkapnya Hari Kurniawan,”
ujar Mamad saat mendaftarkan Hari di SD Ditotrunan.
“Wah nama yang bagus ya, Pak,”
kata seroang guru yang penerima pendaftaran itu. “Artinya apa toh, Pak?”
tanyanya kepo.
“Hari yang dikarunia Gusti Allah!” katanya sambil tersenyum. Bu guru itu ikut tersenyum. Tiba-tiba matanya menatap koin lima rupiah di samping berkas di meja itu. Bergambar Keluarga Berencana. Ia mengenang suatu malam yang basah.
Foto ini ilustrasi atas cerita ini (milik Hari Kurniawan dan istrinya)
Hari Kurniawan, kini dikenal bukan hanya sebagai aktivis difabel. Ia adalah pengacara pembela rakyat jelata. Sebenarnya ia lebih dikenal sebagai Cak Wawa. Itu nama kecil saat ia di sekolah. Kawan-kawannya banyak memanggil begitu. Lelaki ini sangat bangga pada kedua orang tuanya, khususnya pada Mamad, ayahnya.
Saat dia akan menikahi seorang
gadis ayu bernama Meiry, pada 18 Februari 2017 lalu, ia menziarahi makam
ayahnya. Pada nisan itu tertera epithap, Ahmad Zain, 11 Oktober 1991. Ia
bersimpuh di makam dengan doa-doa terbaik yang ia punya. Ia panjatkan sekhusyu
mungkin[].