Syarif berdiri di salah satu sudut ruangan rumah adat Maori
Seorang perempuan Maori memasuki kelas kami yang masih di ruangan wt1440, AUT Tower. Ia menenteng sebuah gitar, duduk di salah satu kursi di bagian belakang ruangan , lantas memetic gitar dan bernyanyi.
Te Aroha
Te Whakapono
Me Te Rangimarie
Tatou tatou e
Perempuan itu terus bernyanyi, mengulangi empat baris lirik diatas sebanyak empat kali. Kemudian ia melanjutkan dengan lagu lain, yang masih berbahasa Maori; He honore dan Puriane. Boleh jadi, tak ada satu pun dari kami yang paham makna tiga lagu tersebut, hingga kemudian seorang perempuan lain yang kali ini berkulit putih membagikan sebuah buku pada kami satu persatu. Buku tersebut berisi puluhan lagu tradisional dalam Bahasa Maori, yang sayangnya tidak ada versi digitalnya.
“Besok kita akan
mengikuti upacara penyambutan ala adat Maori.” Laila menjelaskan.
“Kalian baru
bisa dianggap sah diterima di sini jika kalian telah disambut dengan upacara adat.”
Saya menangkap
nada keseriusan dari kalimat itu. Dua tamu perempuan ini akan menyiapkan kami
sebelum mengikuti upacara penyambutan tersebut, termasuk mengajari kami
beberapa lagu Maori, bagaimana memperkenalkan diri dalam Bahasa Maori, serta
banyak bercerita mengenai makna dibalik seremoni tersebut.
Auckland University of Technology (AUT) atau Te Wānanga Aronui o Tāmaki Makau Rau (Maori) merupakan salah satu universitas yang masih tergolong muda di Selandia baru. Namun, itu bukanlah penghalang bagi kampus ini bersaing dengan kampus besar lain dalam hal kualitas Pendidikan dan layanan untuk mahasiswa. Selain memiliki tiga kampus utama di Auckland dan menawarkan lebih dari 250 program studi di berbagai bidang, mulai dari seni dan desain hingga Bahasa, AUT dengan bangga terpilih sebagai universitas milenial nomor satu di selandia baru, dan berada di peringkat 50 besar universitas berusia di bawah 50 tahun (QS World University Rankings, 2019). AUT menawarkan berbagai layanan dukungan untuk mempermudah kehidupan perkuliahan mahasiswa. Hal ini termasuk layanan dukungan disabilitas, dukungan mahasiswa internasional, layanan konseling, serta dukungan spiritual dan keagamaan bagi seluruh kepercayaan mahasiswa.
AUT memiliki relasi penting dan kuat dengan suku Maori. Sebagai bentuk penghormatan terhadap ‘Perjanjian Waitangi’, AUT mendirikan Marae (rumah adat Maori) di tengah kampus (City Campus) sekitar tahun 1990an. Walaupun rumah adat ini terlihat sangat semi modern, namun arsitekturnya masih sarat makna dengan tradisi suku Maori seperti simbol-simbol, patung, dan cerita-cerita lokal. Salah satu tradisi yang sangat menarik ialah Powhiri, tradisi menyambut orang-orang non-Maori dalam Marae untuk menjadi bagian dari keluarga orang Maori. Dalam tradisi lokal orang-orang Maori, tanah tidak dimiliki dalam pengertian sebagai hak milik perorangan atau sekelompok orang (ownership). Tapi, tanah dipahami sebagai ibu, dan jiwa bagi semua orang. Oleh karena itu, dalam proses perkenalan (Pepeha), kami harus lebih dulu menyebutkan daerah asal, tempat tinggal, kemudian baru menyebutkan nama. Untuk menjadi bagian dari keluarga suku Maori, maka tanah menjadi penghubung yang sangat kuat.
Berikut
merupakan cara saya memperkenalkan diri dalam Bahasa Maori, saat upacara
Powhiri:
Kia ora tatou
No Indonesia ahau
Kei Makassar ahau e hoho ana
Ko Nur Syarif Ramadhan toku ingoa
No reira, tena koutou katoa
*
Foto bersama pasca upacara penyambutan
Di hari yang sudah ditentukan, kami lantas menuju Marae yang masih merupakan bagian dari AUT dengan mengenakan pakaian adat daerah kami masing-masing. Sebenarnya itu tidak wajib, tapi menurut penjelasan yang kami terima, orang Maori senang dengan tamu yang memperkenalkan kebudayaannya pada mereka. Beberapa staf pengajar yang kami temui selama proses orientasi turut menyertai kami. Bahkan Michael Naylor, Executive Officer Union Aid, datang langsung dari wellington untuk hadir.
Pada umumnya,Marae adalah kompleks lahan dan bangunan berukir yang dipagari, yang dimiliki oleh iwi (suku), hapū (marga), atau whānau (keluarga) tertentu. Suku Māori menganggap marae sebagai tūrangawaewae – tempat mereka berpihak dan berasal. Marae digunakan untuk pertemuan, perayaan, pemakaman, lokakarya pendidikan, dan ajang suku penting lainnya.
Sebelum kami
mengikuti upacara, terlebih dahulu kami memasuki sebuah ruangan yang tepat
berada di samping Marae. Di situ kami lagi-lagi diberitahu beberapa hal yang
tidak boleh kami lakukan selama upacara berlangsung. Semua tas kami tinggal
sementara beserta makanan dan minuman yang sebelumnya kami bawa dari rumah
masing-masing. Kami juga tidak diperkenankan mengambil gambar selama
penyambutan itu berlangsung. Kami boleh membawa hp, tapi harus di matikan. Usai
briefing, kami pun berkumpul di depan Marae, menunggu aba-aba.
Pōwhiri dimulai
di luar marae dengan wero (tantangan). Seorang satria dari tangata whenua (tuan
rumah) akan menantang manuhiri (tamu), untuk memastikan apakah mereka kawan
atau lawan. Ia membawa taiaha (senjata mirip tombak), dan menaruh benda penanda
berupa dahan kecil untuk dipungut oleh
pengunjung sebagai tanda bahwa mereka datang dalam damai. Salah satu dari kami
memungut tanda tersebut, menandakan kami datang dengan maksud baik.
Seorang wanita
yang lebih tua dari pihak tuan rumah kemudian melakukan karanga (seruan) kepada
manuhiri. Ini merupakan isyarat bagi kami untuk mulai beranjak masuk ke marae.
Seorang wanita dari kelompok kami yang sebelumnya telah ditentukan menyahut
menyambut seruan itu. Kami selanjutnya melangkah menuju marae bersama-sama
dalam kelompok, dengan perlahan dan hening, dengan perempuan mendahului
berjalan di depan. Kami berhenti di tengah jalan untuk mengenang para leluhur
Maori yang sudah mangkat.
Kami lagi-lagi berhenti sejenak di depan marae, membuka sepatu sebelum melangkah masuk, kemudian menempati kursi-kursi yang sudah diatur secara berhadap-hadapan antara tamu dan tuan rumah. Seterusnya, salah seorang tetua tuan rumah mmenyampaikan pidato dalam Bahasa Maori yang mungkin bermakna selamat datang. Benny (peserta inspirasi dari Biak) mewakili kami menyampaikan pidato perkenalan tentang program belajar yang akan kami jalani selama enam bulan di Aotearoa. Saat berpidato, benny memadukan beberapa Bahasa yakni Bahasa biak, Indonesia, Ingris dan ditutup dengan Bahasa Maori.
Tepat saat Benny mengakhiri pidatonya, salah seorang dari tuan rumah memainkan gitar, kemudian nyanyian Maori pun dilantunkan oleh pihak tuan rumah. Tak mau kalah, kami pun membalas nyanyian tersebut dengan lagu-lagu yang telah kami latih sehari sebelumnya dengan juga diiringi gitar.
Untuk mengakhiri
tata krama formal pagi itu, kami dari pihak tamu dan tuan rumah saling menyapa
dengan hongi – upacara bersentuhan hidung. Setelah pōwhiri, kai (makanan) akan
disajikan, sesuai tradisi manaakitanga atau keramahtamahan Māori.
“Sekarang kalian sudah menjadi bagian dari keluarga Maori, jadi kalian bebas mengelilingi kompleks ini. Kapanpun kalian mau. Kalian sudah boleh mengambil gambar jika kalian ingin.” Salah seorang tetua dari pihak tuan rumah yang ternyata sangat vasih berbahasa inggris menyilahkan kami. Merespon itu kami pun mengeluarkan handphone masing-masing, mengabadikan peristiwa spesial pagi itu. []
Oeh Ade Siti Barokah adalah Program Officer The Asia Foundation
Jumat, 10 Oktober 2019. Deru pesawat berbaur lantunan azan dari Masjid Jami ‘Al Akbar di kompleks Bandara Internasional Yogyakarta. Di tengah jamaah Jumat, Bahrul Fuad duduk tenang di kursi rodanya. Hingga saat ini, pemandangan seperti ini nyaris mustahil bisa dibayangkan: kursi roda Bahrul [bisa-bisa] malah akan dilarang masuk areal masjid.
Bahrul Faud menghadiri sholat di Masjid Jami ’Al Akbar, Bandara Internasional Yogyakarta, Indonesia. Aktivismenya melalui ‘fiqh disabilitas’ memungkinkan kursi roda di masjid.
Pemikiran Islam telah lama memperlakukan sepatu dan sandal — dan kursi roda — sebagai pembawa kotoran dari jalanan yang tidak boleh mengotori tempat ibadah. Seperti sepatu dan sandal, kursi roda harus ditempatkan atau diparkir di luar. Bagi jamaah pengguna kursi roda, hal lazim ketika mereka merangkak atau dibopong ke dalam masjid. Tapi hari ini, Bahrul—disapa akrab Cak Fu bisa beribadah secara bermartabat dengan kursi rodanya. Larangan kursi roda memasuki masjid telah dicabut, dan Cak Fu—salah satu aktivis difabel [red]—yang memainkan peran sentral.
Kunci membuka
pintu untuk perubahan penting ini adalah fiqh, atau yurisprudensi Islam.
Sementara hukum ilahi tidak dapat diubah, fiqh adalah ranah penafsiran manusia
yang menerapkan hukum tersebut pada moral, ritual, dan legislasi sosial. Fiqh
dianggap dapat berubah, dan, kadang-kadang, bahkan bisa keliru. Pandangan ini sering
digunakan sebagai contoh bagaimana Islam seringkali mendorong penelitian
berkelanjutan atau ber-ijtihad, demi menyesuaikan prinsip-prinsip keadilan
dengan konteks dan keadaan terkini. Cak Fu berperan penting dalam mengumpulkan
sekelompok cendekiawan Islam Indonesia untuk menimbang kembali yurisprudensi
Islam tentang disabilitas. Hasil dari upaya keras ini, pemerintah dan
masyarakat mengubah cara padangnya terhadap difabel, terutama persamaan hak difabel
untuk beribadah.
Keberhasilan Cak Fu ini memberi rasa senang khususnya bagi pihak yang turut mendukung upaya panjangnya, di antaranya The Asia Foundation.
“Ketika ia pertama kali bertemu kami kami untuk mendapatkan dukungan,” kenang Sandra Hamid, direktur TAF di Indonesia, “kami merasa skeptis terhadap upaya mengembangkan yurisprudensi Islam sebagai gagasan manjur untuk mengatasi marjinalisasi. Saya bertanya pada Bahrul mengapa teks-teks Islam harus dieksplorasi untuk membangun kerangka kerja baru, ketika bersikap baik kepada difabel sudah menjadi bagian dari ajaran agama.”
Cak Fu berpendapat bahwa, meskipun “kebaikan” bagi difabel berlimpah, hal itu dilakukan, misalnya, dengan cara membantu menaikkan difabel pengguna kursi roda naik ke atas dengan tangga-tangga. Sementara, akses untuk kursi roda, dan martabat bagi kami yang menggunakannya, ditolak [tetap terabaikan, red] karena adanya perspektif tentang “kesucian”.
“TAF benar-benar menerima argumennya, dan kami menawarkan dukungan untuk upaya tersebut,” ujar Sandra Hamid,
Fiqh baru mengakhiri aturan lama bahwa kursi roda, seperti sepatu dan sandal, tidak boleh masuk masjid. (Foto milik Bahrul Fuad)
Penelitian awal kemudian dilakukan di tiga kabupaten di Jawa Timur oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih 90 persen masjid di sana tidak dapat diakses jamaah difabel. Para pengelola masjid tidak hanya melarang kursi roda, tetapi kebanyakan dengan desain bertangga panjang dan tidak memiliki lift. Hal lain, tempat berwudhu sering kali terletak di area yang sulit diakses.
Ketidakaksesan juga terjadi bagi jemaat Tuli, di mana tak ada masjid yang mengupayakan adanya Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang menerjemahkan khotbah oral ke sistem isyarat. Hal lain lagi, terlepas dari adanya keyakinan bahwa shalat Jumat diterima Tuhan hanya bagi jemaat [yang bisa] “mendengar” dan menerima khotbah, ketiadaan JBI untuk jemaat Tuli merupakan bentuk diskriminasi difabel.
Penelitian ini, yang melibatkan difabel, cendekiawan Muslim, pejabat pemerintah, dan perwakilan masyarakat, berlanjut selama sekitar 15 bulan. Para cendekiawan muslim menemukan bahwa, dalam banyak hal, teks-teks Islam yang mereka periksa dapat ditafsirkan untuk memungkinkan adanya pengecualian bagi difabel. Setelah pertimbangan panjang dan perumusan tafsir baru atas fiqh, mereka lalu mengumumkan fiqh baru tentang masalah disabilitas: terdapat 86 bagian (pasal) terpisah, keputusan menyerukan untuk mengakhiri stigma tentang disabilitas dan menyatakan inklusi dan aksesibilitas sebagai target yang wajib dicapai, termasuk akses bagi kursi roda, juru bahasa isyarat, dan melarang tindakan pelecehan bagi difabel.
Para peneliti menyampaikan rekomendasi mereka kepada Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Indonesia, organisasi Muslim terbesar di dunia, yang secara resmi mendukung fiqh baru ini. Kemudian, fiqh diadopsi oleh Kementerian Agama, mengangkat isu-isu disabilitas ke wacana nasional. Bagi Indonesia, ini adalah kemajuan besar!
Masjid Ramah Difabel
Pengenalan fiqh disabilitas di Masjid Istiqlal di Indonesia. (Foto: Farid Arif Fandi)
Agustus lalu, Saat Idul Adha 2019, hari libur yang dirayakan setiap tahun oleh umat Muslim di seluruh dunia, menandai pelaksanaan fiqh disabilitas ini, dimulai dari Masjid Istiqlal, masjid paling penting di Indonesia dan menjadi rujukan bagi masjid-masjid lain di negara ini. Untuk pertama kalinya, kursi roda diizinkan memasuki masjid, dan tempat khusus disediakan untuk jamaah yang menggunakan kursi roda di barisan depan. Dua layar besar dan monitor televisi di setiap sudut menampilkan bahasa isyarat selama khotbah berlangsung. Selain itu, pengurus masjid juga memobilisasi sukarelawan dari Pemuda Istiqlal dan Komunitas Pemuda Lintas Agama, yang sudah bekerja sejak pukul 3:00 dini hari untuk membantu jamaah difabel melakukan sholat Idul Adha.
“Saya
berdoa sambil menangis, mengingat bahwa selama 11 tahun saya hanya bisa
mengikuti doa-doa di Istiqlal melalui tontonan televisi,” seru Syaiful,
seorang jamaah berkursi roda.
“Luar
biasa! Hari ini aku ada di dalam masjid!”
Seorang
jamaah lain mengatakan dia biasanya berdoa di masjid di dekat rumahnya, di mana
dia meninggalkan kursi rodanya di luar dan kemudian merangkak ke masjid.
Seorang pria Tuli mengatakan ini adalah Idul Adha yang paling mengesankan yang
pernah dialaminya, karena untuk pertama kalinya ia dapat memahami khotbah
melalui juru bahasa isyarat.
Perasaan senang
dan emosi meluap dari wajah-wajah itu dengan cepat menyebar ke seluruh negeri
saat proses Idul Adha disiarkan di televisi dan menarik perhatian media-media
nasional.
Buku Fikh ini, bukan sekadar soal yurisprudensi Islam disabilitas terkait kursi roda, bahasa isyarat atau soal infrastruktur lainnya, tapi buku Fikh ini sekaligus merupakan penghargaan atas martabat semua manusia[].
Ade Siti Barokah dapat dihubungi di ade.siti@asiafoundation.org. Tulisan asli dalam bahasa Inggris dapat ditinjau di sini Pandangan dan pendapat yang diungkapkan di sini adalah dari penulis, bukan dari The Asia Foundation.
Tahukah kamu, 17 Oktober lalu diperingati sebagai hari Pengentasan Kemiskinan Internasional?
Sebagai isu multidimensional, kemiskinan memiliki banyak kesamaan dengan isu Difabel. Menariknya, kedua lingkaran ini, sering bersinggungan hingga menghasilkan irisan yang berujung pada kerentanan berlipat.
Bersama Ishak Salim, Kaprodi Ilmu Politik Universitas Teknologi Sulawesi dan Ermawati dari PerMaTa (Perhimpunan Mandiri Kusta) DPC Gowa. Selaku pemercik bara diskusi. Kita akan mencoba menelaahnya dari berbagai perspektif.
Seperti biasa, Rumah PerDIK Sulsel (Jln. Syekh Yusuf Komp. Graha Aliyah Blok A3a, Katangka, Kec. Sombaopu, Gowa) menanti kehadiran dan gagasanmu di Sabtu sore, 15.00 WITA hingga usai, 26 Oktober 2019.
Pastikan Kehadiranmu, dengan mengirimkan pesan (Nama Lengkap_asal Instansi_Difabel dan Kemiskinan) ke Luthfi di WA-nya 085342577787. Tersedia E-Sertifikat.
credited for Andi Kasri Unru
logo pustakabilitas (buku, aksara latin, aksrara braille, audio, isyarat bahasa isyarat dan tulisan pustakabilitas/pustak@bilitas
Oleh Nur Syarif Ramadhan (Penerima beasiswa INSPIRASI 2019, aktivis PerDIK)
“Are
you might be student from Indonesia, Aren’t you?”
Perempuan paru baya itu menyapa saya dan Zul yang tergesa-gesa dan Nampak kebingungan keluar dari lift Gedung AUT Tower, lantai 13. pukul 09:05 waktu Auckland, dan dari skejul yang kami terima, seharusnya kami sudah berada di kelas di lantai 14 tepat jam Sembilan. Kami sebelumnya sudah naik ke lantai 14, tapi seorang perempuan yang sepertinya salah seorang staf AUT mengatakan jika tidak ada kelas untuk internasional students hari itu di lantai 14. Ia malah menyuruh kami ke lantai 13.
Syarif berdiri di depan kampus AUT
“Yes,
We are.” Jawabku singkat.
“Perkenalkan,
saya Karent Rutherford, kepala sekolah international House, Auckland University
of Technology. Apakah kamu Syarif?”
Mendengar
kalimatnya barusan, saya sedikit khawatir. Ini merupakan hari pertama belajar
di Universitas Tekhnologi Auckland, atau lebih dikenal dengan Auckland
University of Technology (AUT), dan belum apa-apa, kami sudah terlambat, malah
ketemu dengan salah satu orang penting AUT pula.
Sebenarnya
pagi itu kami sudah mencoba berangkat lebih awal. Aplikasi google maps mengatakan jarak menuju Gedung AUT
Tower di WakefieldStreed Auckland CBD dari tempat tinggal kami di Avondale sekitar
10 km. Jarak
sejauh itu membutuhkan sekitar 35-40 menit menggunakan bus.
Kami lalu berangkat dari rumah sekitar pukul delapan pagi karena dari rumah
menuju halte bus (bus stop), masih
harus berjalan sekitar tujuh
sampai sepuluh menit. Saat keluar dari rumah itulah, suhu dua derajat yang
disertai angin menampar-nampar tubuhku yang ringkih dan sedikit menghambat
perjalanan. Saat bernafas, kusaksikan kabut putih terbentuk dari udara yang
kuhembuskan. Kami juga ternyata menghabiskan waktu lebih lama dari yang
diperkirakan google maps di atas
bus.
“Yes, I
am.”
Karent
lantas menjabat tanganku.
“Syarif,
hari ini, kita akan bertemu dengan AUT Disability Support, berbincang tentang
bagaimana kami seharusnya memfasilitasimu dalam belajar, sekaligus kamu akan
lebih awal mengikuti placement test
untuk mengetahui di kelas mana nanti
kamu bergabung di program English Course.”
Mungkin melihat wajah kami yang khawatir, Karent berusaha menenangkan.
“Kalian
boleh tunggu di sini. biarkan saya yang ke lantai 14, mencari di ruangan mana
kelas kalian, dan menjelaskan ke Laila kalau kalian tersesat. Jangan khawatir.
Ini biasa kokk terjadi. Apalagi kalian masih baru di sini.”
Selama
25 minggu mengikuti program INSPIRASI, dua minggu pertama, kami akan mengikuti
orientasi yang diorganisir oleh Faculty
of Social Science and Public Policy. Dalam
masa orientasi, kami akan berkunjung ke area kampus utama AUT yang meliputi
ruang kelas, perpustakaan, Student
Medical Center, masjid, serta akan bertemu dengan beberapa staf pengajar
yang akan berinteraksi dengan kami selama di Auckland. Kami juga akan mengikuti
upacara penyambutan ala Maori (powhiri) dan akan mengunjungi tempat-tempat
penting dipusat kota Auckland seperti stasiun kereta, pelabuhan, perpustakaan
kota dan beberapa museum dan tempat wisata.
Usai masa orientasi,
kami selanjutnya akan mengikuti kursus Bahasa inggris selama 12 minggu di pusat
Bahasa AUT atau lebih dikenal dengan international House AUT. Kami akan belajar
di kelas internasional, bersama dengan pelajar dari negara lain.
Sebelas minggu terakhir, akan
kami gunakan untuk belajar mengenai Sustainable
Development Course yang tema pembelajarannya meliputi: hak asasi manusia, masalah lingkungan, Social Enterprise, pengembangan masyarakat adat, community development dan sebagainya.
Kami juga diminta memilih satu tema khusus yang harus kami pelajari selama
berada di New Zealand (Special Interest) yang berhubungan dengan area kerja
kami masing-masing di organisasi. Akan ada seorang mentor yang akan membantu
kami dan menyediakan bahan bacaan dan beberapa kunjungan ke organisasi yang
berhubungan dengan area ketertarikan yang kami fokuskan. Dalam sesi ini pula, nantinya kami akan berkunjung ke Wellington,
ibukota New Zealand, berkunjung ke beberapa tempat yang salah duanya adalah
Gedung parlement selandia baru dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Kami juga berkesempatan mengalami hidup langsung ditengah-tengah suku asli
selandia baru (Maori) selama seminggu.
*
Hari Pertama di kelas Laila Harre
Sebuah pelukan hangat kami terima dari Laila saat tiba di ruangan WT1440 di lantai 14 AUT Tower. Sayangnya wanita yang awalnya kami temui di lantai itu yang menyuruh kami ke lantai 13 tadi sudah tak ada.
Kelas
yang kami gunakan ini merupakan ruang pertemuan yang biasanya menjadi tempat
rapat para pimpinan Fakultas
Social Science and public policy AUT.
Terdapat empat buah meja berbentuk persegi yang diposisikan saling merapat berbentuk
memanjang, dikelilingi kursi-kursi kantoran tepat di tengah-tengah ruangan. Di bagian depan sebelah kanan,
terdapat seperangkat komputer,
dan sebuah layar
berukuran 32 inci menempel di dinding tepat di sebelah komputer. Di bagian tengah, terdapat lemari berisi
ATK yang posisinya merapat di dinding sebelah kiri, yang dihadapannya, atau di
dinding sebelah kanan ruangan juga terdapat sebuah papan tulis yang menempel di
dinding. Tiap-tiap dari kami lantas memilih kursi masing-masing, mengitari meja
sambal menyaksikan Laila melakukan presentasi dengan slide yang ditampilkan di
layar.
Sekitar satu jam kemudian, dua petugas dari Australia New Zealand Bank (ANZ), memasuki kelas kami. Mereka akan membantu kami mengaktifkan rekening bank yang akan kami gunakan selama di Aotearoa. Sepuluh menit pertama, petugas lelaki yang berseragam serba hitam menjelaskan secara pintas mengenai ANZ Bank serta layanan-layanan yang ditawarkan pada para nasabah. Sedangkan petugas satunya membagi-bagikan sebuah brosur dan sebuah form yang sepertinya harus kami isi dengan terlebih dahulu mengecek paspor kami satu persatu. Mereka juga meminta kami menginstal sebuah aplikasi android bernama GoMoney New Zealand, agar lebih mudah bertransaksi secara online. Kami juga diberikan sebuah kartu ATM (debet card) yang juga bisa digunakan bertransaksi di manapun di Aotearoa sehingga tidak perlu membawa uang tunai.
Saat orientasi di salah satu gedung kampus AUT.
Proses ini
membuat saya terkesan. Saat
saya mengatakan saya lowvision, tidak
ada keraguan dari kedua petugas itu untuk
mengajari saya menggunakan aplikasi e-mobile
banking (GoMoney New Zealand). Mereka
mengajari saya menggunakan aplikasi tersebut, memastikan jika screen reader dapat mengakses semua
vitur-vitur yang tampil dalam aplikasi dengan
sabar. Tak ada masalah juga dengan tandatanganku. Pendeknya, semua hal yang biasanya
dipermasalahkan petugas bank di Indonesia saat seorang calon nasabah buta atau lowvision ingin membuka rekening bank tidak terjadi di sini.
Siangnya,
Laila mengajak kami keluar Gedung AUT Tower, menunjukan beberapa food court yang bisa kami datangi saat
makan siang. Ada banyak sekali pilihan makanan yang tersedia, umumnya makanan
asia seperti Jepang,
India, Vietnam, Korea, dan Cina.
Sayangnya tak ada dari Indonesia. Mulai saat itu, saya mulai membiasakan lidah
dengan beraneka ragam makanan yang rasanya jauh sekali dengan masakan Indonesia.
*
Sekitar
jam dua siang, saya kembali ke lantai 13, menemui Karent yang kini bersama dua koleganya dari AUT Disability Support. Keduanya
memperkenalkan diri sebagai John
dan Hana.
Saya
kemudian terlibat pembicaraan serius dengan Jon. Dengan Bahasa Inggris yang masih malu-malu,
saya menjelaskan tentang kedifabilitasan saya, bagaimana saya belajar, dan
bagaimana saya biasanya mengakses buku pembelajaran dengan scan.
“Di sini, kamu tidak perlu memindai buku. Saya bisa minta ke penerbit versi digital buku
yang digunakan dosen saat mengajar di kelas.”
Jon
selanjutnya menyerahkan sebuah flashdisk yang berisi dua buah file soal Bahasa Inggris yang harus saya kerjakan
sebagai placement test. Dua file itu
memiliki format yang berbeda.
“Kamu cukup memilih satu file saja.
Disitu ada file yang berformat word, dan ada yang berformat txt. Pilih yang
paling aksesibel dengan screen readermu,” ujarnya tenang.
Sebenarnya,
dua buah file tersebut aksesibel. Sepertinya Jon sudah amat berpengalaman
memfasilitasi seorang difabel visual. Saya saat itu memilih file yang berformat
word, kira-kira membutuhkan waktu sekitar 90 menit mengerjakan 50 soal grammar
pilihan ganda, dan dua buah writing. Untuk soal grammar, saya memberi tanda
huruf X yang diapit dengan tanda kurung pada akhir kalimat pada huruf yang saya
anggap benar. sedang untuk writing, saya langsung menuliskan jawaban saya di bawah soalnya. Usai mengerjakan
soal, saya menjelaskan cara saya menjawab baik kepada Karent maupun pada Jon.
“Syarif,
you still have more time if you want.”
“Thanks.
I am confident enough with what i did”
Karent
kemudian mengambil flashdisk dari tanganku, memeriksa jawabanku melalui komputer yang terdapat di
ruangan itu.
Selanjutnya
saya berbincang dengan Jon dan Hana. Saya menyampaikan pada keduanya, bahwa
salah satu hal yang ingin saya pelajari selama di Selandia baru yakni bagaimana
pemerintah mengakomodasi warga difabel dalam hal Pendidikan. Kami pun berjanji,
akan bertemu lagi di kesempatan berikutnya, mereka berjanji akan mempertemukan
saya dengan salah seorang difabel yang juga bekerja di AUT disability support.
[*]
Oleh Rizal (Peserta Pendidikan Penelitian dan Pengorganisasian desa, SRP Payo-Payo)
Penyandang disabilitas atau juga dikenal dengan
sebutan difabel, meski memiliki pemaknaan yang berbeda tentang dua penamaan di
atas, arahnya tetap sama yakni tertuju
pada mereka yang memiliki kamampuan yang berbeda dengan manusia pada umumnya.
Sudah beberapa pekan ini saya dan seorang teman meneiliti soal difabel di desa Bonto Masunggu, Tellu Limpoe, Kabupaten Bone. Mulai dari bagaimana kisah masa kecil setiap difabel, kebiasaan atau keseharian difabel, interaksi sosial dengan anggota masyarakat, perilaku difabel, dan bagaimana difabel di mata orang tua mereka serta anggota masyarakat. Desa ini merupakan desa terpencil di Sulawesi Selatan. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1105 jiwa.
Ya’di (kiri) saat mengunjungi basecamp panitia PPPD
Setiap
hari kami menyusuri desa mencari tahu keberadaan difabel di dua
dusun, Elle dan Tokella. Jika kami menemukan informasi terkait warga dengan
disabilitas, maka kami akan mewawancarai
orang tua mereka dan orang-orang yang ada di sekeliling difabel dan tentu saja, jika keadaan
memungkinkan mewawancarai difabel.
Penelitian ini menarik bagi saya pribadi sebab ini menjadi pengalaman awal saya tentang bagimana
mengorganisir difaebel atau keluarga yang memiliki anggota difabel. Apalagi
saya seorang yang awam akan hal itu.
Belajar Disabilitas di desa
Melalui penelitian ini, kami belajar mengenai isu disabilitas yang dibimbing oleh kak Ishak Salim, salah satu anggota
Sekola Rakyat Petani Payo-Payo dan
pendiri PerDIK Sulsel (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan). SRP
Payo-Payo adalah anggota dari Komunitas Ininnawa yang mengadakan kegiatan Pendidikan, Penelitian,
Pengorganisiran dan Pendampingan Desa (PPPPD).
Kegiatan ini berlangsung selama 2 bulan dengan diikuti 23 peserta. Kelompok
lain selain meneliti isu disabilitas adalah kelompok Paggolla (Pengrajin Gula
Merah), Kelompok Kekerabatan dan Sistem Pengelolaan Lahar Bergilir, kelompok
Penggunaan Energi untuk Memasak, kelompok Pengelolaan Air Bersih, kelompok
Layanan Kesehatan berbasis desa, dan seorang kawan yang meneliti tentang
Kelompok pemuda desa yang memilih tinggal di desa.
Dari temuan kami, kami mengidentifikasi karakteristik difabel di desa Bonto Masunggu. Beberapa diantaranya adalah bisu, Tuli, low vison (rabun), penyandang disabilitas fisik, mental dan intelektual. Dari data desa (Buku Sistem Informasi Desa Bonto Masunggu) , terdapat 23 difabel dan seratusan lebih orang yang diidentifikasi memiliki kondisi penglihatan yang rabun. Berdasarkan data dasar itu, kami pun mencari informasi tentang 23 difabel dengan mendatangi rrumahnya, bertemu keluarganya dan orang-orang di sekitarnya atau tetangga terdekat mereka.
Baco sedang santai di basecamp panitian PPPD setelah meminta rokok dan memilih duduk di luar dan tidak bergabung dalam obrolan
Temuan kami setidaknya menunjukkan bahwa di masa-masa kecil
difabel, ada kecenderungan dari setiap penjelasan orang tua mereka bahwa,
sebagian dari difabel pernah mengalami demam
tinggi sampai mengalami kondisi kejang-kejang
atau step.
Umumnya, step pada anak merupakan perubahan elektrik pada otak. Jika
sinyal-sinyal dari otak mengalami gangguan atau terjadi
keabnormalan, otot-otot tubuh akan berkontraksi dan bergerak tanpa terkendali
dan itulah yang terjadi saat tubuh kejang-kejang. Dalam
penjelasan medik, ketika terjadi step secara berulang-ulang pada anak (kurang lebih 15 menit lamanya).
Menurut informasi medik, kondisi itu akan berpengaruh pada disfungsi syaraf-syaraf otak bagi anak kecil yang mengalaminya. Penyakit
step timbul dikarenakan penurunan daya tahan tubuh pada anak dan juga serangan
bakteri yang dapat menimbulkan penyakit. Biasanya hal ini terjadi ketika sistem kekebalan tubuh anak sedang mengadakan perlawanan
terhadap penyakit akibat perubahan cuaca yang tidak menentu. Temperatur suhu tubuh yang rentan pada anak kisaran 38-39
derajat Celsius, pada saat itulah rawan terjadi step pada anak, dikarenakan
lonjakan suhu badan tidak mampu dikontrol oleh tubuh (Sumber: doktersehat.com).
Sejauh penelitian kami,
sudah ada empat difabel yang mengalami hal itu di masa kecilnya. Kami menduga ia mengalami gangguan otak sehingga
menyebabkan lamanya mereka mengakses sesuatu hal baru yang mereka pelajari.
Gejala yang terjadi
pada difabel lainnya adalah ada yang terjatuh di masa kecilnya. Ada yang jatuh dari kasur, dari tangga, dan ada pula yang tertimpa kepalanya oleh benda dengan begitu keras.
Orang-orang di
sekelilingnya meyakini dan
beranggapan bahwa itu menjadi salah satu indikasi kenapa kemudian ia menjadi
difabel.
Setelah kami bertanya
lebih dalam lagi, tentang apa yang dilakukan ketika anak-anak mereka mengalami sakit
step, terjatuh dari tangga, terjatuh dari kasur, atau dijatuhi benda, sakit kepala yang begitu kerasnya dan
lain-lain, mereka memiliki dua alternatif dalam berobat. Ada yang berobat ke
dukun atau paranormal yang biasa mereka sebut dengan massandro
ugidan
adapula berobat secara medis, ke dokter. Namun dalam pengobatan secara medis,
kebanyakan dari mereka tidak terlalu rutin dalam berobat. Memang untuk berobat
secara medis, mereka harus menempuh perjalanan cukup jauh sekitar kurang lebih 1-2 jam
perjalanan naik kendaraan motor atau mobil.
Karena infrastruktur
sarana dan prasarana dalam desa
belum mampu menangani penyakit yang dialami oleh mereka yang sudah terlanjur
difabel, kecenderungan
yang kami dapati juga dalam hal penanganan sakit step, orang tua mereka hanya
memberi pengobatan seadanya, tidak terlalu intens dalam konsultasi ke dokter
mengenai penyakit yang dialami oleh anak mereka yang terkena step, maupun penyakit
lainya. Sebagian dari mereka juga tidak paham apa yang dialami oleh anak-anak
mereka, ketika ditanya mereka juga bingung kenapa bisa begitu.
Nampaknya pengetahuan tentang step masih sangat minim di masayarakat desa. Kini mereka, para difabel yang kami teliti sudah ada yang memasuki memasuki usia remaja, dewasa awal dan ada pula yang sudah tua. Mereka dalam sehari-harinya ada yang menghabiskan waktu di rumah, menghabisakn waktu di luar rumah dengan jalan-jalan atau keliling desa.
Suasana Diskusi Desa
Stigma Difabel dan Sekolah yang tak akses
Nyaris semua difabel ini tidak pernah menginjak yang namanya teras sekolah, apalagi duduk dan belajar di bangku sekolah. Hal ini juga menjadi pusat perhatian kami. Sebagian besar orang tua mereka menginginkan anaknya
bisa belajar juga sama seperti anak-anak lainya. Walau dengan keterbatasan pada
fisik maupun mental harapan orang tua untuk mereka menjadi manusia yang terdidik tetap melekat
pada mereka yang difabel. Bahkan kami juga menemukan diantara mereka ada yang
pernah disekolahkan di sekolah formal seperti SD sekolah dasar, namun difabel
ini memilih untuk tidak lanjut
menerusakan sekolah. Paling lama mereka hanya sampai kelas 3 Sekolah Dasar, lalu kemudian undur diri. Penyebabnya
karena difabel bersangkutan tidak mampu mengikuti pelajaran yang disediakan pihak sekolah,
atau sebaliknya pihak sekolah tidak peka menyesuaikan kemampuan belajar siswa
difabel.
Selepas keluar dari sekolah, mereka hanya bisa belajar di rumah atau tinggal di rumah saja tanpa proses pembelajaran.
Anak-anak difabel ini lalu mengurung
angan mereka untuk bisa bersekolah, atau sekadar mampu membaca, menulis, atau bahkan sekadar bisa
bermain dengan kawan-kawan sebayanya di sekolah.
Pandangan Keluarga dan anggota Masyarakat Terhadap
Difabel di Desa
Sebagian difabel
ini di
mata masyarakat dilabeli dengan
sebutan orang gila, gangguan jiwa, sakit jiwa, pepe (bisu), idiot,
dan bodo,-bodo
(bodoh). Mereka beranggapan bahwa orang yang memiliki
kondisi demikian tidak perlu terlalu diperhatikan atau bahkan dibiarkan begitu saja. Ada
juga yang
berpendapat bukan saja sebagian anggota masyarakat tapi kadang di lingkup
keluarga atau kerabat, bahwa orang-orang
yang terlahir seperti mereka sudah pasti tidak disekolahkan.
Pandangan seperti itu membuat kami—yang sedang meneliti
kehidupan difabel dan keluarganya—menduga
bahwasanya penyakit step yang tidak ditangani secara tepat bisa menyebabkan seorang anak rentan menjadi difabel di sepanjang usianya. Minimnya
pemahaman pemberian pertolongan pertama dan perawatan selanjutnya, ditambah
dengan sulitnya mengakses layanan kesehatan dasar maupun Rumah sakit membuat
kondisi dan dampak lanjutannya menjadi tak terkendali.
Jika terjadi step pada anak-anak, dipastikan pihak keluarga
kebingungan dan menjadi pasrah atas kejadian yang tak begitu dipahaminya. Di sisi lain, akses layanan rumah sakit yang jauh dan sulit membuat
proses pengobatan menjadi
sulit dan perawatan mediknya tidak rutin. Jika pun bisa mengakses layanan
kesehatan terbaik, dengan dokter ahli misanya, maka orang tua di desa dipastikan tidak memiliki uang cukup untuk berobat dan rawat
jalan.
Berikutnya, bahwasanya
paradigma atau cara pandang masyarakat tentang mereka yang difabel adalah mereka dilabeli
dengan kata idiot, gila dan sebagainya, sehingga menyebabkan kurangnya perhatian terhadap mereka, sedangkan
mereka yang difabel adalah orang-orang yang membutuhkan perhatian secara khusus,
perlakuan khusus dan pendidikan khusus—namun hingga saat ini proses
itu masih belum dipikirkan.
Penelitian ini tentu masih sekadar menggambarkan apa yang
terjadi di tataran permukaan. Namun informasi itu telah cukup untuk membawa isu
ini ke tengah-tengah publik desa secara bersamaan dalam satu forum. Baik pemerintah
desa maupun masyarakat desa perlu menyikapi persoalan ini dan berupaya mencari
jalan keluar terbaik secara besama-sama agar terbangun perlakuan secara setara baik
di rumah, di lingkungan sekitar, di sekolah, di masjid, di sawah-sawah dan
seterusnya. Jalan perjuangan tentu masih panjang, tapi langkah awal telah
terayun[]
Untuk
tiba sampai pada pelaksanaan Sekolah Gradiasi ini tidak hadir begitu saja. Ada
proses relatif panjang sampai gagasan ini hadir.
Jika
menelusurinya jauh ke belakang tentu tidak sekadar berangkat dari saat sejumlah
aktivis berkumpul dan mencetuskan gagasan Gradiasi atau Gerakan Pendidikan dan
Advokasi Indonesia Inklusi beberapa bulan lalu.
Semoga saya tidak keliru. Pertemuan perdana saat itu adalah saat sejumlah teman hendak mencetuskan model pendidikan gerakan difabel apa yang kami sebut sebagai Akademi Disabilitas. Tepatnya di Hotel Grand Mercure Yogyakarta tanggal 2 Mei 2018. Mungkin kebetulan saja kalau hari itu bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Namun saat itu, selain kawan-kawan aktivis difabel muda yang berkumpul, ada tokoh senior yang kami kagumi hadir, yakni Pak Setia Adi Purwanta dan Mas Sapto (almarhum). Apa kabar, Mas Sapto? Apa njenengan bikin sekolah ideologi kenormalan di alam sana? Sampaikan salamku untuk Pak Mansoer Fakih.
Bersama Pak Setia dan Mas Sapto saat merumuskan Akademi Disabilitas
Saat
itu ada perwakilan dari beberapa DPO dari berbagai daerah. Sebagian besar
adalah mitra TAF yang menjalankan program pemberdayaan difabel dari Pilar
Disabilitas. Sebutlah Yakkum, Sigab, Sapda, Karinakas, Yasmib, Bahtera,
Pattiro, PPDiS, PSLD Brawijaya, dan Perkumpulan Sehati. Saya sendiri hadir
mewakili PerDIK saat itu, sementara Pak Setia sebagai pendiri Dria Manunggal
dan Mas Sapto Nugroho mewakili Talenta Solo. Pihak TAF juga mengundang kawan
dari Swara dan Insist yang memiliki pengalaman menjalankan sekolah aktivis.
Keduanya berbagi pengetahuan dan pengalaman bagaimana kedua institusi ini
menjalankan sekolah gerakannya masing-masing.
Menurutku,
pengalaman Pak Setia dengan Dria Manunggal dan Mas Sapto dengan Sekolah
Ideologi Kenormalan adalah menjadi dasar dari gagasan besar yang kini kami
sebut Sekolah Gradiasi. Keduanya sudah melakukan hal yang sama pada zamannya
masing-masing. Sebagian aktivis yang saat ini mengisi ruang-ruang strategis
pergerakan adalah murid dari dua senior ini. Tentu saja, di masa 90-an ada juga
aktivis senior lain melakukan pembelajaran yang serupa. Pengetahuan saya yang
terbatas tak memungkinkan saya menguraikannya satu persatu.
Jadi,
menurut saya, muatan gagasan yang tertuang dalam kurikulum dan pola manajemen akademi
disabilitas yang kawan-kawan aktivis tuangkan saat itu tentu tak lepas dari apa
yang telah ditancapkan oleh para senior gerakan difabel ini. Belum lagi,
gagasan-gagasan awal yang dibahas bersama ini juga tak lepas dari
pengalaman-pengalaman terkini orang-orang muda gerakan dari beragam organisasi
seperti yang saya sebutkan di atas.
Setelah
pertemuan itu, kami sudah memiliki dasar pijakan untuk bisa menjalankan gagasan
mengenai kaderisasi aktivis difabel yang dapat diadopsi di banyak tempat. Lagi pula,
salah satu kegelisahan kami sehingga mau memikirkan bekerjanya sistem
kaderisasi melalui Akademi Disabilitas adalah karena adanya disparitas kader atau
pimpinan aktivis Indonesia Barat dan Timur. Kami berharap banyak dari hadirnya
sistem pendidikan kader ini. Stok baru pengorganisir difabel sungguh kami
butuhkan.
Beberapa bulan sejak pertemuan itu saya tak mendapatkan kabar. Belakangan saya dengar, sebuah uji coba pelaksanaan Akademi Disabilitas ini dilaksanakan oleh Yakkum yang disebut Poros Belajar Inklusi Disabilitas pada 25 Februari – 11 Maret 2019 di Yogyakarta yang diikuti 24 orang kader dampingan 7 lembaga mitra Program PEDULI Pillar Disabilitas dari 10 kabupaten/kota wilayah Program PEDULI Pilar Disabilitas.
Peserta dan fasilitator Poros Belajar Inklusi Disabilitas
Poros belajar ini berjalan selama dua minggu, yang terbagi ke dalam tiga bagian: Pembelajaran teori selama 6 hari, live in di komunitas selama 6 hari dan presentasi hasil analisis sosial dan RTL selama 2 (dua) hari dan hari terakhir diadakan pelepasan wisudawan peserta poros Belajar Inklusi Disabilitas. Evaluasi atas pelaksanaan Poros Belajar ini dilakukan oleh Yakkum dan merekomendasikan sejumlah masukan dan menjadi dasar pendiskusian selanjutnya.
Gagasan ini, walaupun sudah mulai berjalan, tetap menjadi bahan diskusi sejumlah teman aktivis di saat pada waktu tertentu bertemu dan mengharapkan agar pematangan gagasan tetap dilakukan. Sampai akhirnya, atas inisiatif Sigab kembali mempertemukan para aktivis untuk membahasnya. Saat itu, 3 Mei 2019, Sigab mengumpulkan sejumlah mitranya untuk membahas satu event yang disebut ‘Semiloka Pembentukan Jaringan untuk Pengawalan Indonesia Inklusif 2030’ di Prime Plaza Hotel Jogjakarta. Pesertanya gak tanggung-tanggung, mencapai 50-an aktivis gerakan dari seantero republik.
Partisipan Semiloka Pembentukan jaringan untuk Pengawalan Indonesia Inklusi 2030
Melalui fasilitator yang
menyenangkan, Rival Ahmad, teman-teman merumuskan tiga gagasan besar untuk
mengakomodasi mimpi-mimpi pergerakan difabel ini, yakni Divokasi, Gradiasi, dan
Blue Economy. Divokasi merupakan arena melakukan kerja-kerja pengorganisasian
dan avokasi; Gradiasi menjadi arena melakukan pendidikan dengan tujuan
kaderisasi dan pematangan pengetahuan dan pengalaman para aktivis dan mitranya;
serta blue economy menjadi arena menghimpun seluruh kerja terkait penguatan
ekonomi difabel. Kira-kira begitu.
Beruntung, teman-teman Yakkum
menyambut gagasan GRADIASI untuk segera direalisasikan dan bisa segera
dilaksanakan. Sebagian teman-teman lalu bertemu lagi, khususnya mereka yang menjadi
bagian yang turut membahas lahirnya gagasan yang disebut Gradiasi ini.
Pertemuan digelar di Yakkum di jalan Kaliurang km 13,5 pada 17 – 18 Juli 2019.
Saat itu, pikiran dan memori lagi-lagi diperas dan kami akhirnya bisa menyusun
aspek-aspek yang mendasari sebuah Sekolah bisa berjalan.
Ada tiga lapis pendidikan yang
kami impikan, yakni pada level dasar, menengah, dan tinggi. Kami mengatur
sedemikian rupa agar materi pembelajaran tidak tumpang tindih antar level. Jika
pun sama materinya, tentu yang berbeda adalah tingkat kerumitannya saja.
Artinya, jika di tingkat dasar seluruhnya hanya berisi pengenalan paradigma,
pengetahuan dan isu-isu disabiltas, maka level berikutnya akan menyesuaikan
dengan tingkat pengalaman setiap peserta.
Nah, dua minggu terakhir ini, setelah
pertemuan di Sleman itu, kawan-kawan sibuk saling berkomunikasi. Saya, dan
beberapa kawan lain, tak bisa hadir karena sedang di desa mengampu pendidikan
pengorganisasian sejumlah orang muda sehingga hanya sesekali bisa memberi
masukan secara jarak jauh saja. Sampai akhirnya semuanya terasa telah siap dan
teman-teman memutuskan mencobanya.
Kini pendaftaran Pendidikan Aktivisme Difabel berpengetahuan mulai dibuka. Mari kita coba niat baik ini. Semoga sukses ya. Ayo mendaftar!
Poster Pendaftara Sekolah GRADIASI
Penjelasan Teks dalam Poster (untuk pengguna smartphone dengan aplikasi pembaca layar)
Gradiasi, atau Gerakan Pendidikan dan Advokasi Indonesia Inklusif berkomitmen untuk bersama-sama dengan semua pihak memperkuat gerakan difabel dengan menyelenggarakan Sekolah Kader dan Aktivis Gerakan Difabel. Melalui sarana ini, diharapkan akan melahirkan kader dan aktivis gerakan difabel yang mempunyai komitmen dan tangguh, sekaligus akan membentuk jaringan aktor gerakan difabel yang kuat.
Pada kesempatan ini kami membuka Kelas Dasar bagi para aktivis difabel yang ingin meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan advokasi inklusi disabilitas di daerahnya.
Materi Kelas Dasar:
• Kesadaran dan Penerimaan Diri
• Mengenal Difabel dan Disabilitas
• Analisa Sosial
• Advokasi Kebijakan
• Pengorganisasian Komunitas
• Materi Isu Tematik
• Manajemen Organisasi dan Kepemimpinan
• Dasar-dasar Perencanaan dan Pengelolaan Kegiatan
Pendaftaran : 14 – 31 Oktober 2019 (link pendaftaran lihat di bio diatas)
Pengumuman : 1 Nopember 2019
Pelaksanaan : 10-19 Nopember 2019
Syarat & Ketentuan:
• Usia minimal 21 tahun
• Memiliki ketertarikan terhadap isu disabilits
• Dapat diikuti oleh disabilitas atau bukan disabilitas
Fasilitas yang tersedia:
• Biaya pendaftaran gratis • Akomodasi di warga setempat selama 10 hari gratis • Materi dan proses pelatihan gratis • Transportasi jogja ke lokasi belajar gratis
Penyelenggara tidak menanggung :
• Transportasi dari daerah asal ke Yogyakarta (udara, laut, darat)
• Uang saku selama pelaksanaan sekolah
• Kebutuhan pribadi peserta
“Iya, Pustakabilitas dapat free booth dengan ukuran 4 X 5 Meter, tapi berbagi dengan Sahabat Lemina.”
Suara lembut Kak Ibnu dari Rumata Art
di ujung telepon sana, sedikit
menenangkanku. Kepastian
Pustakabilitas ikut serta pada event Makassar
International Writers Festival (MIWF) terjawab dengan sahih. Setelah sedikit
berbasa-basi, dan memastikan
peralatan dasar yang perlu kami
bawa, saya mengakhiri komunikasi yang menyenangkan ini.
Sayapun melangkah ke ruang depan Rumah PerDIK, sembari menyampaikan, bahwa kita telah mendapatkan free booth di area festival para penulis ini nanti. Saat itu, kami sedang kedatangan Bang Jonna Aman Damanik. Ia aktivis
difabel dari Jakarta, dulu mengampu Penerbitan Majalah DIFFA, kini sebagai
Direktur Institut Inklusi Indonesia (iii) dan selama ini banyak membantu tim
PerDIK bertumbuh. Kedatangannya ke Rumah PerDIK sebenarnya adalah untuk
mendiskusikan bagaimana kami sebaiknya mengelola Pustakabilitas PerDIK, sebuah
perpustakaan yang kami cita-citakan menjadi Arsip Disabilitas Indonesia. Selain
Bang Jonna, ada juga Ketua Dewan Pengurus PerDIK, Kak Ishak Salim.
Mendengar ucapan saya, dengan nada santai
Bang Jona lantas berujar, “kalau gitu,
sekarang aja kalian rapat persiapannya, mumpung lu semua pada di sini.”
Kami bersepakat dan memulai rapat persiapan keikutsertaan PerDIK dalam MIWF. Bang Jonna tentu saja menemani kami
dalam diskusi ini.
Saya memulainya dengan membahas tujuan
kehadiran PerDIK di MIWF 2019 ini. Secara umum, kami bersepakat bahwa, tahun ini, MIWF adalah ajang bagi
Pustak@bilitas untuk show off ke
masyarakat, khususnya bagi pembelajar, dan pegiat literasi yang hadir di sana.
Setelah jelas, kami lalu berbagi tugas. Cukup lama kami membahas agenda ini.
Sejujurnya, Saya dan Rafi (seorang kawan yang turut aktif di PerDIK), hari ini ingin membahas persiapan Pelatihan Pola Asuh Bagi Orangtua yang memiliki anak difabel di SLB Cendrawasih. Kawan-kawan lain, seperti Nur Hidayat
(Yayat) dan Zakia juga memiliki agenda pembahasan yang lain. Namun, dengan pertimbangan, mumpung
Bang Jona dan Kak Ishak masih bersama kami di Rumah PerDIK, rapat inipun secara dadakan kami lakukan.
Setelah proses saling berpendapat, akhirnya kami pun bermufakat, bahwa pada ajang ini, Pustak@bilitas akan
menurunkan 2 skuad yang masing-masing
memiliki tugas sebagai berikut:
Skuad A yang terdiri dari saya, Zakia, Yayat, dan Rafi akan bertugas menyiapkan dan membawa logistik ke area MIWF. Skuad ini
juga bertanggungjawab menyiapkan dan menata booth
selama festival berlangsung.
Lalu skuad B, yang terdiri dari
dari Lala, Yoga dan Ismail. Skuad ini bertugas menyambut dan mempromosikan Pustak@bilitas kepada pengunjung booth kami. Selain
itu, mereka juga bertugas mengisi beberapa mata
acara yang akan digelar di booth
Pustakabilitas.
Berikutnya pembahasan rundown agenda booth Pustak@bilitas selama kegiatan
MIWF berlangsung. Beberapa kegiatan yang
akan dilaksanakan tersebut ialah:
pembacaan puisi (dengan braille dan sign language), braille workshop, permainan aksesibel, diskusi, dan empatik games.
*
Ramai di lapak Pustakabilitas
Pelaksanaan MIWF itu tanggal 26 – 29 Juni 2019. Pada hari kami menyiapkan logistik dan memeriksa booth itu sudah tanggal 23 Juni. Menurut Rafi, saat mengecek lokasi, space yang kami dapatkan hanya seluas 3 kali 3 meter. Dengan luas itu pun kami mesti berbagi dengan komunitas yang lainnya. Saya cukup kaget mendapatkan kabar ini. Saya juga tak bisa membayangkan bagaimana seabrek logistik yang kami siapkan saat ini dapat tertampung dalam ruang seimut itu.
Saya lalu meraih smartphone dan menghubungi pihak
panitia. Saya ingin
mengonfirmasi hal itu.
Diawali dengan permintaan maaf, seorang panitia membenarkan informasi Rafi. Luas free booth yang PerDIK dapatkan memang hanya seluas itu dan harus berbagi dengan komunitas lain. Merespon hal ini, saya menyampaikan bahwa, kami membawa
beberapa peralatan yang berukuran cukup besar, sehingga membutuhkan space lebih luas. Negosiasipun terjadi,
dan kita bersepakat, Pustak@bilitas, boleh menggunakan lahan kosong di sebelah booth itu.
Menyadari kondisi itu, pengangkutan logistic baru bisa kami laksanakan pada Rabu 24 Juni 2019.
Awalnya tak ada yang aneh ketika kami melakukan bongkar muat barang, dan menatanya seapik mungkin. Skuad A yang bertugas saat itu heran
dengan aktivitas komunitas lain di gubuknya masing-masing. Kita melihat komunitas se-booth kami telah mengeluarkan dan menata aneka barang handicraft. Saat itu kami berpikir, bahwa memang mereka menggelar produk ekonomi kreatif disamping buku-buku yang mungkin nantinya akan mereka
gelar. Masing-masing kami tetap pada kesibukan menyiapkan dan menata logistik.
Hari pertama, pengunjung sepi. Hanya terdapat beberapa orang tertarik dengan beberapa alat
bantu aksesibilitas
bagi difabek dan permainan yang kami gelar. Kami menunjukkan beberapa contoh
seperti kursi roda, kruk, dan catur aksesibel bagi
difabel visual—kami menyebutnya
dengan permainan blindfold chess atau permainan catur dengan mata tertutup.
Rupanya kondisi ketidaklaziman booth kita semakin terasa. Kabar datang dari Rafi dan yayat. Keduanya
baru saja kembali berkeliling di area Benteng Rotterdaam dan mengamati seluruh
booth di area kami. Keduanya mengatakan
bahwa, sepertinya kami salah tempat, karena semua booth di sekitar kami adalah komunitas-komunitas yang menjual aneka barang atau jajajan. Pun demikian dengan buku-buku yang digelar
merupakan jualan mereka. Area ini tidak menyerupai taman membaca sama sekali.
Menurut Yayat, semua komunitas literasi ada di area lain, taman baca dan tempat
kami saat ini adalah taman rasa.
Pernyataan merekapun terkonfirmasi,
setelah sore harinya, salah seorang kawan dari Komunitas KataKerja menghampiri booth kami. Ia mengatakan bahwa, area ini adalah area berjualan bukan untuk area baca.
Mendengar hal ini, senyum dan tawa kelelahan kami pun menghiasi
sore yang unik itu. Ditambah lagi dengan Yoga yang menimpali bahwa, pantas
saja, ada beberapa pengunjung booth,
yang mengira kami berjualan alat bantu dan buku-buku disabilitas, hehe.
Hari itu, kami tak memutuskan berpindah
tempat. Kami biarkan keberadaan kami di sini hingga acara seremoni pembukaan
MIWF rampung.
*
Keesokan harinya, kami memutuskan untuk membuka lapak baca agak lebih siang, hal
ini berdasarkan pengamatan hari pertama, di mana penggunjung lebih ramai saat sore menjelang. Tepatnya
pukul 13.45 WITA. Siang itu, saya, Yayat dan Zakia mulai
mengangkut buku-buku beserta
beberapa logistik pendukung untuk mendirikan lapak di Taman Baca, sesuai kesepakatan di hari sebelumnya.
Sembari menunggu pengunjung ke lapak PerDIK, Skuad Pustak@bilitas menikmati sajian kopi buatan Barista
andalan Perdik dialah Yayat, dengan bermodalkan teko listrik, beberapa gelas
plastik air kemasan, kopi,
dan gula. Yah, setidaknya kopi racikan Yayat cukup nikmat mengusir
kantuk saya yang
terbuai semilir angin di area taman ini. Hari itu, pengunjung
pertama kami adalah beberapa
Mahasiswa Poltekesos (Politeknik
Kesejahteraan Sosial) Bandung yang
sedang liburan ke Makassar.
Beberapa pengunjung bermaksud meminjam
buku dan membawanya pulang, dengan janji mengembalikan esok harinya. Tapi kami
tidak memenuhinya karena aturan kami buku-buku Pustakabilitas hanya dapat dibaca di
lapak saja. Selain itu, ada juga
diantara mereka tertarik mempelajari
alphabet Bahasa isyarat, dan braille yang terpampang di X-Benner. Kami dengan senang hati memberikan
pelajaran-pelajaran singkat.
Selain mahasiswa yang berkerumun, ada 2 perempuan paruh baya yang tertarik mempelajari huruf
braille. Mereka memperhatikan dengan seksama saat ismail memperaggakan
cara menulis huruf braille dengan riglet dan stilus. Mereka bahkan menanyakan di mana dapat membeli alat-alat tersebut. Saya memberitahukan tempat
untuk membelinya yang berada di seputaran Ujungpandang Baru.
Tak terasa senjapun menjelang dan kami mulai mengemasi dan merapikan kembali lapak baca Pustak@bilitas. Kami merasa senang dengan keramaian
sore ini. Apalagi di sebelah lapak kami ada komunitas Juru Bahasa Isyarat yang sudah akrab dengan kami. Kami satu gagasan dalam
memperjuangkan hak-hak difabel.
*
Hari Berikutnya adalah Jumat. Seusai melaksanakan Shalat wajib ini, saya, Yayat, Rafi, dan wiwi (seorang relawan, Pekerja Sosial/peksos) kembali menata lapak seapik mungkin. Tak lupa kami menaruh 1 kursi roda di tempat yang mudah terlihat sebagai
tanda keberadaan lapak Pustak@bilitas.
Selepas adzan Ashar berkumandang, kami memutuskan untuk mengantarkan Lala membacakan puisinya di spot yang memang tersedia bagi mereka yang ingin mengolah rasa dengan rangkaian kata. Lala yang bernama lengkap Nabila May Sweetha adalah anggota PerDIK. Ia masih duduk di bangku SMA, kelas II dan sangat produktif menulis. Ia juga mulai menyukai puisi dan tertarik membawakan puisinya yang merupakan balasan dari sebuah puisi M. Aan Mansyur berjudul Sajak Buat Istri yang Buta dan Suaminya yang tuli.
Sajak Buat Suami Yang Tuli Dari Istrinya Yang Buta
Maksud sajak ini juga sederhana.
Hanya ingin memberitahumu bahwa
musik yang mengalun di pelaminan terdengar lembut jika menyentuh pendengaran,
tetapi bolu yang para tamu makan lembutnya melebur dalam lidah. Memang keduanya
lembut, tetapi lembut yang berbeda, sayang.
Di bawah sana banyak bibir yang
bergerak, kau mungkin melihatnya tapi tak tahu mereka sedang membicarakan kita.
Sementara silih berganti tamu menyalami, juga membicarakan kita.
Aku selalu membayangkan, hari itu,
kita seperti sepasang pohon di musim semi. Kau pohon yang menimbulkan riuh
suara burung, aku pohon yang menguarkan bau wangi. Aku dengar, orang-orang
datang bercakap perihal kehidupan keluarga mereka, tapi tak tahu bagaimana raut
wajah mereka.
Bisakah kau menggambarkannya
padaku, Sayang?
Nabila May Sweetha, 15 juni 2019.
Foto bersama Kak Lusia Pelow (Kiri: Ismail, Lala, Rahman Gusdur, Luthfi, Lusia, dan Zakia)
Selain pembacaan puisi Lala tadi, di
lapak kami juga menggelar permainan catur aksesibel. Rafi yang awas dan Ismail yang buta bermain
catur akses. Di
sekeliling lapak baca ini ada juga beberapa permainan digelar di masing-masing
lapak mereka. Kami cukup senang dengan aktivitas bermain yang sekaligus
mengkampanyekan keberagaman kemampuan manusia dari perspektif disabilitas.
Hari ini, kami juga kedatangan kawan dari
Maluku. Ia adalah Kak Lusia Pelow. Ia aktivis kemanusiaan di Ambon. Tahun lalu
ia merupakan fasilitator kami saat menggelar kegiatan Social Justice Youth Camp
atau SJYC Sulawesi Selatan di desa Kambuno, Bulukumba. Ia datang bersama
Direktur PerDIK, Abd Rahman dan katanya, ia sedang menemani seorang dari Maluku
untuk berobat dari Tumor yang menyerangnya.
Kami mengobrol singkat mengenai PerDIK dan Pustakabilitas dan rencananya mendirikan satu organisasi serupa di Ambon. Semoga impian itu bisa diwujudkan Kak Lusia bersama kawan-kawannya. Kabar terakhir beberapa hari lalu, Ia lolos dalam seleksi berikutnya sebagai calon anggota komisioner Perempuan.
Ismail yang totally blind bermain catur dengan Rafi yang awas
*
Hari ini hari terakhir. Menurut salah
seorang pengunjung lapak kami, penutupan sore ini tak seramai tahun sebelumnya.
Kabar itu datang dari aktivis Tenoon dan sekaligus seorang juru bahasa
isyarat. Ia mengikuti MIWF 2018.
Sore itu, Pustakabilitas PerDIK mendapat kesempatan memberi
penjelasan mengenai PerDIK dan Pustakabilitas sekaligus menjadi pengantar
diskusi yang difasilitasi oleh Tenoon. Tenoon merupakan organisasi yang
didirikan untuk mengakomodasi kepentingan difabel dalam memproduksi karya
olahan tangan dan dipasarkan di Indonesia dan di Inggris. Diskusi ini bertemakan ‘Disability Proud! A Journey of Self Acceptance. Saya
mewakili Pustakabilitas untuk mengisinya. Kegiatan ini diadakan di I La Galigo.
Selain saya, seorang psikolog dan seorang ibu yang memiliki anak Tuli turut
menjadi narasumber. Jika kakak psikolog
menyampaikan definisi, ciri-ciri, dan proses menuju penerimaan diri secara
ilmiah, lain halnya dengan ibu di
sampingku ini, dia bercerita bagaimana proses dirinya menerima
kondisi anaknya, berusaha membangun kepercayaan diri anaknya, dan memberikan dorongan bersekolah,
hingga kini anaknya terlibat aktif di Tenoon.
Dengan latar belakangnya sebagai seorang bidan, perspektif ibu ini memang sangat kental nuansa medisnya, dan kata-kata ‘normal’ dan ‘tak normal’ meluncur deras dari mulutnya. Sebenarnya saat menyebutnya itu saya merasakan ada
penurunan toon atau intonasi yang
menjelaskan bahwa ia sebetulnya kurang nyaman harus mengucapkan kata-kata
tersebut. Tapi selain itu,
ia jelas sukses membuat suasana peserta mengharubiru.
Saat tiba giliran saya, saya akan memberikan pandangan tentang tajuk kegiatan sore ini. Diawali oleh pembacaan bionote saya oleh moderator, saya pun memulainya dengan pertanyaan.
“Apa yang kita ketahui dengan kata-kata cacat? disabilitas? dan difabel?“
Untuk menjawabnya, saya mengisahkan bagaimana perjalanan hidup membuat saya bermetamorfosa
menjadi difabel? Tunggu dulu. Metamorfosa? Ia sesederhana itu saya memaknai perubahan dari non-difabel menjadi difabel. Hm, dalam tulisan ini, saya tidak akan
menceritakan. Saya memilihnya untuk menyiapkan satu artikel khusus tentang itu
(sabar ya pembaca, nantikan tulisan saya berikutnya).
Kembali ke Gedung I La Galigo, berikutnya
diskusi pun mengalir hingga Adzan Magrib,
pada intinya dalam diskusi, kali ini, saya berusaha,
memberikan pemaknaan baru ketika seseorang mendengar kata-kata cacat, disabilitas, dan difabel dan termasuk ketika bertemu dengan mereka. Saya menyampaikan pemaparan dengan sesantai mungkin
dengan selingan banyolan menyegarkan suasana.
Setelah diskusi ini, saya lalu menuju lapak Pustak@bilitas. Rupanya ada cukup ramai
kunjungan ke lapak kami. Kami mengobrol
beberapa hal. Di antara pengunjung, ada yang meminta saran tentang penanganan anggota keluarganya yang mengalami kondisi disabilitas mental intelektual. Ada juga seorang teman, yang berusaha membangun kembali kepercayaan diri
sahabatnya yang mengalami kondisi
disabilitas fisik dan pertanyaan soal dimana dan bagaimana cara difabel dapat
mengakses bantuan rehabilitasi dan alat-alat bantu di Makassar atau
kota-kota lain di Indonesia.
Malam menyapa Taman
Rasa Fort Roterdam. Kami pun berkemas dan mempersiapkan kepulangan
ke Rumah Perdik. Saya dan Kak Gusdur Rahman kecapaian. Kawan-kawan lain sedang
mengurus hal lain. Ada yang mengupayakan kendaraan untuk mengangkut barang, ada
yang mencari makanan, dan yang lain entah di mana. Kami hanya berdua. Niat
mengikuti acara seremoni penutupan akhirnya tak kesampaian. Tak mungkin saya
dan Rahman memaksakan diri ikut. Selain karena tak ada yang jaga lapak, tak ada
seorang asisten atau pendamping yang bisa membawa kami. Akhirnya kami merasa
cukup dengan menikmati malam yang kelam.
Tak lama kemudian, sejumlah relawan
pustakabilitas datang dan membawa makanan. Hidup lalu terasa sebagai Piknik
yang menyenangkan.
Cukup sekian tulisan ini. Harapan kami, semoga pelaksanaan MIWF tahun depan bisa
lebih semarak dan Tim Pustak@bilitas bisa lebih optimal dalam mempersiapkan
diri[].
Oleh Faisal Rusdi (Pelukis Mulut, Aktivis Difabel JBFT)
Berawal video kritik saya di media sosial tentang tidak adanya aksesibilitas menuju lantai 1 Bioskop di sebuah Mall di Jakarta Pusat. Saya dan Cucu Saidah, istri saya, kebetulan tinggal di sebuah Apartemen yang dibawahnya terkoneksi langsung denggan Mall tersebut.
Faisal Rusdi dan Cucu Saidah (Keduanya aktivis JBFT)
Pada suatu hari saya dan Cucu yang sama sama pengguna kursi roda ingin sekali menonton film ke CGV Cinemas tersebut, walaupun kami tahu untuk menuju ke lantai 1 CGV Cinemas tersebut tidak ada tersedia lift, yang ada hanya eskalator. Kami berdua memberanikan diri untuk naik menggunakan eskalator, dengan sebelumnya meminta bantuan 2 orang untuk membantu, 1 orang pendamping saya untuk memegang dan menahan kursi roda kami secara bergiliran sambil Cucu merekam video ketika saya naik dan turun kembali menggunakan eskalator.
Terkadang hal-hal berbahaya memang kami lakukan untuk mencapai suatu tempat agar banyak orang melihat, bereaksi, peduli dan memulai ada interaksi sekaligus advokasi, tapi terkadang kita juga harus siap tidak ada sama sekali respon atau perhatian dari orang sekitar untuk membantu.
Beberapa bulan kemudian, ketika saya sedang santai menonton persiapan di panggung di lantai LG Mall tersebut sambil memperhatikan telepon genggam saya, datang seorang ibu menghampiri dan bertanya pada saya, “Bapak tinggal di sekitar sini?”. Saya menjawab “iya betul bu”. Singkat cerita, ternyata ibu Liza adalah General Manager Green Pramuka Square dan Ibu Liza kadang melihat saya dan Cucu selalu berkeliling di GPS. Ibu Lizapun pernah melihat dan tahu video kritik saya tentang tidak adanya lift menuju ke lantai atas CGV Cinemas.
Akhirnya kami mengobrol tentang aksesibilitas di GPS. Saya mengapresiasi beberapa aksesibilitas yang sudah tersedia. Ibu Liza telah bersedia dengan senang hati mendengarkan dan menerima masukan-masukan dari saya tentang kekurangan aksesibilitas dan hambatan di GPS.
Misalnya, saya mengatakan, “sepertinya hanya gedung-gedung publik di Indonesia saja seperti Mall, Hotel, apartemen, perkantoran dan lain-lainnya yang meletakkan tempat sampah dibawah tombol lift, padahal tempat sampah tersebut menghalangi pengguna kursi roda dan bisa membuat tersandung tuna netra untuk menjangkau tombol lift.” Saya juga menceritakan tentang pengalaman penolakan keras Marbot dan 1 orang DKM kepada saya untuk masuk ke dalam Masjid At Tin di lantai P1.
Sebelum berpisah ibu Liza memberikan kartu namanya dan berfoto bersama dan ingin mengajak saya untuk bertemu kembali sambil berjanji dan berusaha menerima masukan masukan detail dari saya dan akan memberitahukan serta memfasilitasi pertemuan dengan pengurus Masjid At Tin.
Besok harinya Cucu
memperlihatkan foto dan memberitahukan tidak ada lagi tempat sampah di salah
satu lift di lantai GF. Setelah kami berkeliling dan memperhatikan ternyata semua
pintu tombol lift di semua lantai memang tidak ada lagi tempat sampah yang
diletakkan dibawah tombol lift. Saya langsung mengucapkan apresiasi dan terima
kasih kepada ibu Liza lewat whatsapp.
Beberapa kali saya dan Cucu terkadang bertemu tanpa sengaja dengan ibu Liza di GPS dan menyempatkan untuk mengobrol tentang suasana dan kondisi GPS saat itu juga tidak lupa menggingatkan lagi dan memberikan masukan tentang pentingnya aksesibilitas khususnya di GPS.
Pertemuan berikutnya
yang tanpa sengaja terjadi kembali dan kami mengobrol, ibu Liza ternyata
mengetahui bahwa saya seorang pelukis, mungkin ibu Liza mengetahui profesi saya
lewat media sosial yang saya punya karena kami sudah berteman. Ibu Liza
menawarkan untuk saya memamerkan karya lukisnya di GPS. Tentu saja saya terima
dengan senang karena sebenarnya saya menunggu tawaran pameran di GPS. Tapi saya
menawarkan untuk bisa mengajak teman teman pelukis disabilitas lainnya untuk
bisa ikut berpameran bersama di GPS dan itu disetujui oleh ibu Liza.
Saya mulai menghubungi dan mengajak satu persatu teman-teman beragam disabilitas pelukis untuk bisa ikut bersedia berpameran lukisan bersama, ada pak Wibowo dan pak Toto pelukis senior. Saya juga mengajak Dewa pelukis muda yang saya ketahui dari stasus Facebook ibunya Poppy, dan sudah mulai giat melukis. Lalu ada Rodhi, Rodhi juga memberikan rekomendasi 2 orang temannya untuk bisa mengajak Yeti dan Abdul yang sedang giat giatnya dan semangat belajar melukis. Ada juga Fatimah yang masih kuliah di jurusan Seni Rupa, lalu ada Anfield pelukis ekspresif yang sangat produktif sekali, kita bisa lihat di Instagramnya ketika Anfield melukis langsung.
Untuk persiapan pameran lukisan bersama ini saya berkoordinasi dan bekerjasama dengan bapak Didi bagian Marketing Communication yang sangat banyak membantu dari desain poster, publikasi, dekorasi stand pameran dan lukisan, serta panggung diskusi. Pameran lukisan bersama ini kami sepakati dengan tema, Disabilitas Dalam Warna yang dilaksanakan 5 sampai 20 Oktober 2019 di lantai GF GPS Jakarta. Pameran lukisan bersama ini hanya difasilitasi oleh GPS tanpa ada sponsor dan kami para 9 orang pelukis, 4 orang narasumber dan 1 orang moderator swadaya dalam kegiatan pameran dan diskusi ini.
Hari Kedua Pameran Lukisan: DIsabilitas Dalam Warna
Saya sebagai seorang
penyandang disabilitas dari awal ingin mencari ruang kesempatan yang lebih luas
lagi dan banyak berinteraksi dengan orang orang yang saya temui untuk memberi
warna dalam ruang maupun interaksi dengan banyak orang tersebut. Warna yang
kami berikan nantinya cair membaur dengan keberagaman warna lainnya hingga
mereka sadar bahwa penyandang disabilitas juga adalah bagian warna dalam
kehidupan, ini yang terkadang mereka lupa akan keberadaan warna penyandang
disabilitas. Oleh sebab itu pameran lukisan bersama ini saya memberi tema Disabilitas
Dalam Warna.
Pada saat pembukaan
pameran lukisan bersama kami juga menyertakan diskusi santai dengan tema
Pencarian Ruang Bebas. Tema ini saya dan Cucu usulkan karena sejak awal
keberadaan kami tinggal di apartemen dan banyak beraktifitas di GPS kami selalu
berusaha mencari ruang ruang bebas untuk kami bisa mengakses kebebasan kami
dalam melakukan aktifitas apapun seperti, makan, berbelanja, hiburan,
beribadah, bekerja, bertemu dan berkumpul bersama orang lain.
Secara spesifik diskusi
santai ini ingin mensosialisasikan atau memperkenalkan apa itu disabilitas dan juga
ruang aksesibilitas untuk menampilkan karya karya seni dan ekspresi kami di
ruang publik. Termasuk pencarian ruang seni bagi pelaku seni disabilitas yang
sampai saat ini masih sulit diakses dan jarangnya juga kesempatan yang
diberikan. Selain itu kami ingin memberikan cerita pengalaman dan proses
bagaimana pelaku seni disabilitas dalam berkaryanya atau bagaimana bentuk
dukungan keluarga dan juga ketersedian ruang bagi kami mandiri berkesenian.
Selama pameran berlangsung pengunjung GPS dapat mendatangi stand pameran lukisan kami, menikmati karya lukis kami, berinteraksi dan berkomunikasi dengan kami, tertarik untuk siluet wajah atau sket wajah langsung ditempat dengan biaya terjangkau dan bisa melihat langsung proses demonstrasi melukis lainnya oleh para pelukis disabilitas.
Harapan kami ruang fasilitas seni di GPS ini tidak berhenti di tanggal 20 Oktober saja, tapi bisa diagendakan berlanjut tiap tahunnya agar ada warna kolaborasi kegiatan selalu di GPS dan ini tentunya membuat pelukis disabilitas semakin bersemangat untuk berkarya secara kreatif dengan kuantitas dan kualitas yang baik serta berusaha meningkat, ditambah berani untuk berkompetitif di dunia seni khususnya dengan seniman lainnya[].
“JKN-KIS menanggung perawatan penyakit Orang Dengan Gangguan Jiwa, agar tidak tercipta Joker-joker lainnya”
Poster BPJS “JKN-KIS menanggung perawatan penyakit Orang Dengan Gangguan Jiwa, agar tidak tercipta Joker-joker lainnya~”
S O M A S I T E R B U K A
Ditujukan Kepada :
Direktur Utama BPJS Kesehatan Republik Indonesia
JL Letjen Suprapto Cempaka Putih
PO BOX 1391 JKT 10510
KAMI dari Sehat Jiwa Indonesia (SEJIWA), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Bipolar Care Indonesia (BCI), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), adalah komunitas-komunitas dan organisasi peduli kesehatan jiwa yang terdiri dari Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)/ Penyandang Disabilitas Mental (PDM), Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), Para Professional Kesehatan, Caregiver, dan pemerhati Kesehatan Jiwa di Indonesia.
“JKN-KIS menanggung perawatan penyakit Orang Dengan Gangguan Jiwa, agar tidak tercipta Joker-joker lainnya~”
Disertai gambar berlatar belakang wajah tokoh fiksi Joker, yang bertuliskan:
“JKN-KIS Menanggung Penderita penyakit Orang Dengan Gangguan Jiwa
Agar tidak tercipta Joker – Joker lainnya
Lensa JKN”
BAHWA KAMI, yang terdiri dari organisasi para ODGJ/PDM, ODMK, Para Professional Kesehatan, Caregiver, dan pemerhati Kesehatan Jiwa di Indonesia, menyampaikan:
1.Bahwa dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185) menyatakan:
“Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
(3) Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.”;
2.Bahwa dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69) menyatakan:
“Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. “;
3.Bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat dan diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS;
4.Bahwa tujuan dibentuknya BPJS sebagai perwujudan negara hadir di tengah kita untuk memastikan seluruh penduduk Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata, akan terhalangi dan tidak dapat dilaksanakan apabila adanya diskriminasi dalam pelayanannya;
5.Bahwa BPJS dalam Visinya menyatakan; Terwujudnya jaminan kesehatan yang berkualitas tanpa diskriminasi;
6.Bahwa Joker adalah tokoh fiksi penjahat dalam karakter komik yang diciptakan oleh Bill Finger, Bob Kane, dan Jerry Robinson. Pertama kali muncul dalam penerbitan edisi pertama buku komik Batman (25 April 1940) yang diterbitkan oleh DC Comics;
7.Bahwa tokoh fiksi Joker adalah penggambaran individu pribadi yang memang mempunyai kelainan mental psikopat, tapi juga dibentuk oleh sejarah penyiksaan terhadap dirinya, yang dalam kasus dan bagi dirinya pribadi, Joker menjadi seorang tokoh kriminal atau pelaku tindak pidana.
Selebihnya diterangkan juga:
“… is of a man struggling to find his way in Gotham’s fractured society. A clown-for-hire by day, he aspires to be a stand-up comic at night…but finds the joke always seems to be on him. Caught in a cyclical existence between apathy and cruelty, Arthur makes one bad decision that brings about a chain reaction of escalating events in this gritty character study.
( http://www.jokermovie.net/?synopsis )”;
8.Bahwa dalam Perundang-Undangan yang mengatur tentang ODGJ / PDM, tidak satupun yang menyatakan ODGJ / PDM serta merta adalah pelaku tindak pidana atau kriminal, ataupun dapat menjurus kepada perilaku tindak pidana;
9.Bahwa Tindak Pidana (strafbaar feit) dapat terjadi dengan berbagai faktor yang mempengaruhi seorang pelaku tindak pidana (kriminal), dan ketentuan ini berlaku bagi semua orang (naturlijk person) bahkan terhadap pelaku tindak pidana yang berbentuk badan hukum (recht person);
10.Bahwa tidak dengan serta merta, seorang ODGJ / PDM adalah pelaku tindak pidana atau kriminal. Bahkan tidak serta merta juga menjadi ODGJ / PDM berarti berpotensi menjadi kriminal, yang dalam hal ini, iklan layanan masyarakat BPJS seperti disebut diatas, digambarkan sebagai tokoh fiksi Joker;
11.Bahwa mempersamakan ODGJ / PDM dengan tokoh fiksi Joker adalah kesesatan ilmu dan kesesatan logika berpikir;
12.Bahwa pernyataan BPJS-Kesehatan di media sosial FACEBOOK telah secara langsung menyamakan ODGJ / PDM dengan tokoh fiksi Joker dan atau seorang tokoh kriminal;
13.Bahwa ada 2 (dua) jenis gangguan kejiwaan yang berpotensi diwujudkan dalam perilaku kriminal yaitu; 1) gangguan kepribadian anti sosial atau anti-social personality disorder (sosiopat dan psikopat), dan 2) gangguan kepribadian narsistik / narcistic personality disorder. Dimana salah satu jenis gangguan yang dialami tokoh Joker adalah sosiopat, ditambah komplikasi faktor-faktor eksternal dirinya, dan dengan kompleksitas gangguan lainnya;
14.Bahwa anti-social personality disorder (sosiopat dan psikopat) dan narcistic personality disorder, hanyalah dua jenis di antara ratusan jenis gangguan kejiwaan lainnya. Tidak bisa disamaratakan bahwa ratusan lain jenis gangguan kejiwaan sama seperti psikopat dan sosiopat;
15.Bahwa pernyataan BPJS-Kesehatan di media sosial FACEBOOK telah membentuk stigmatisasi terhadap ODGJ/PDM sebagai pelaku kriminal, dan secara langsung melanggengkan serta memperkuat bentuk stigmatisasi dalam masyarakat.;
16.Bahwa stigma terhadap ODGJ/PDM adalah sumber dari berbagai bentuk diskriminasi, perlakuan buruk dan tindak kekerasan yang dialami oleh ODGJ/PDM;
17.Bahwa pernyataan BPJS-Kesehatan di media sosial FACEBOOK telah bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, serta Undang-Undang berikut antara lain; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251), yang pada intinya bentuk diskriminasi terhadap ODGJ / PDM harus dihapuskan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia;
18.Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, Direktur Utama BPJS dan Jajarannya telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menimbulkan kerugian secara materiil dan imateriil kepada para ODGJ / PDM, dan telah secara sadar melakukan stigmatisasi dan diskriminasi yang dilarang dalam Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan ini kami Sehat Jiwa Indonesia (SEJIWA), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), BipolarCare Indonesia (BCI) , Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang terdiri dari para ODGJ / PDM, ODMK, Para Professional Kesehatan, Caregiver, dan pemerhati Kesehatan Jiwa di Indonesia
——————————————– M E N S O M I R ——————————————–
——————————Direktur Utama BPJS dan Jajarannya,——————————
agar dalam tenggat waktu waktu 6 X 24 Jam sejak somasi ini di bacakan untuk melakukan tindakan-tindakan konkrit berupa:
1.Mencabut postingan dan pernyataan BPJS-Kesehatan di media sosial FACEBOOK dan atau media lainnya.
2.Menyampaikan permohonan maaf terkait postingannya tersebut melalui 5 (lima) media massa televisi nasional, 5 (lima) media massa cetak nasional, 5 (lima) media massa berbasis jaringan internet nasional, dan di halaman media-media sosial BPJS; yang isinya sebagai berikut:
“Kami, Direktur Utama BPJS dan Jajaran eksekutif BPJS menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kelalaian kami dalam menyampaikan pesan layanan masyarakat terkait pelayanan BPJS. Kami tidak bermaksud menyatakan ODGJ / PDM adalah seperti tokoh fiksi Joker dan atau serta merta kriminal. ODGJ / PDM adalah masyarakat, manusia Indonesia seutuhnya, yang hidup secara bersama tanpa ada perbedaan dan pembedaan.
Dengan ini kami berjanji kepada masyarakat Indonesia menjalankan bentuk pelayanan kepada masyarakat tanpa stigma dan penuh dedikasi untuk menuju masyarakat Indonesia yang adil dan beradab.”———————————————————————————
Bahwa apabila dalam tenggang waktu tersebut di atas, tidak ada itikad baik dari Direktur Utama BPJS dan Jajaran Eksekutif untuk melaksanakan somasi ini, kami akan mengajukan upaya-upaya hukum, antara lain Gugatan Warga Negara (citizen law suit) terhadap Direktur Utama BPJS Republik Indonesia, dan pihak-pihak lain yang di anggap bertanggung-jawab secara hukum pada Pengadilan Negeri setempat,, pelaporan tindak pidana, serta melakukan tindakan hukum lainnya yang dianggap perlu.
Demikian somasi ini KAMI sampaikan, untuk diperhatikan bagi Direktur Utama BPJS, untuk segera dilaksanakan.
Jakarta, 9 Oktober 2019
Sehat Jiwa Indonesia (SEJIWA), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Bipolar Care Indonesia (BCI), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Usman Hamid , Direktur Amnesty International Indonesia
Dian Septiani, Divisi Humas Cahaya Jiwa
Nama saya Ogest Yogaswara, saya pria asal Bandung. Begini pengalaman
saya.
Jika saya hendak mengakses layanan kesehatan, misalnya ke Puskesmas, maka dari rumah ke puskesmas terdekat saya cukup membayar ongkos 8 ribu saja naik Angkot atau tidak usah mengeluarkan ongkos jika dibantu dorong menggunakan kursi roda. Tapi bagi saya sebagai Penyandang Disabilitas daksa pengguna kursi roda harus mengeluarkan ongkos 40 ribu naik Taxi online, perbandingannya sangat besar!
Ogest Yogaswara
Maaf, ini bukan belagu atau gengsi memilih naik Taxi online. Tapi
terpaksa!
Di negeri ini, belum tersedia angkot dengan Infrastruktur aksesibel
atau ramah Disabilitas.
Sebutlah ini jenis kemahalan pertama, sebagai seorang penyandang
disabilitas, saya tidak bebas memilih
alat transportasi. Tidak bisa serta merta memilih Ojek onlen. Saya harus
memilih alat transportasi yang bisa membawa saya dengan nyaman ke tempat-tempat
yang ingin saya datangi. Biaya lebih mesti saya tanggung.
Bagi saya yang tidak atau belum memiliki penghasilan tetap, selisih
beberapa puluh ribu itu selisih yang besar. Ini karena saya harus menimbang
pengeluaran dengan kebutuhan hidup yang lain.
Mengapa Anda tidak bekerja? Mungkin kalian bertanya.
Jika saja diberikan kesempatan bekerja agar mapan secara finansial, maka
saya tentu saja tidak mempermasalahkan perbandingan itu.
Ada yang berkata, “Banyak kok penyandang Disabilitas pintar dan
bekerja atau membuat karya agar mendapat penghasilan.”
Jangan menilai seperti itu, kawan.
Cobalah pahami, saya dan penyandang disabilitas lain. Di negeri ini,
ada banyak penyandang Disabilitas yang belum diberi kesempatan bekerja karena soal
kami menyandang Stigma. Kemampuan kami berada di bawah cap ketidakmampuan untuk
kami.
Disabilitas itu beragam, mereka mempunyai kemampuan dan kadar kemandirian
yang berbeda-beda. Untuk saya, yang bisa dimasukkan sebagai ‘penyandang
disabilitas berat’, saya bergantung kepada pendamping atau Asisten Personal[ii]. Tidak
hanya satu, tapi dua! Asisten pribadi akan membantu saya beraktivitas dan
membantu kemandirian saya.
Siapa yang membayar ketersediaan Asisten Pribadi saya? Jika saya
yang membayar, maka ongkos transportasi tadi masih harus ditambahkan dengan
ongkos bagi kedua asisten ini.
Berapa ongkosnya untuk satu asisten pribadi?
Budi (Ketua SPICE) dan Ogest
Tidak ada atau belum ada hitungan baku. Seorang kawan, bisa
mengeluarkan anggaran sampai 10 juta selama sebulan. Itu bergantung aktivitas
luarnya. Semakin aktif akan semakin mahal. Itu juga bergantung pada jam kerja.
Jika 24 jam, maka akan lebih mahal lagi. Untuk orang seperti saya, pihak
keluarga masih bisa menjadi personal assistance (PA). Tapi tidak adil rasanya
jika waktu-waktu yang anggota keluarga ini luangkan tidak dihitung sebagai
bagian dari penyisihan waktu produktif mereka. Jika tidak mendampingi, maka
seseorang bisa melakukan pekerjaan lain yang lebih produktif. Sayangnya,
hitungan ini belum dilakukan. Padahal, jika kita menghitungnya, maka ini bisa
jadi bahan advokasi ke pemerintah untuk mendapatkan dukungan finansial.
Ini akan menjadi Kategori Mahal kedua.
Baiklah, mari kita lanjutkan lagi.
Sekarang ini, saya ada kondisi lain yang bakal membuat biaya hidup
saya menjadi lebih mahal lagi.
Saat ini saya mengalami DECUBITUS. Kalian tahu apa itu dekubitus[iii]?
Saya ingin segera sembuh dari dekubitus di bokong ini. Jika
terlambat penyembuhannya, maka aktivitas saya di luar rumah bakal terhambat.
Tapi bagaimana cara agar saya terbebas dari dekubitus sialan ini?
Saya duduk di kursi roda dalam waktu berjam-jam setiap harinya. Jika
saya beraktivitas dari pagi sampai sore, maka bisa bayangkan betapa panas
pantat itu. Keasyikan beraktivitas, bisa membuat saya tak merasakan dekubitus
bertambah parah.
Akibatnya kini, beberapa hari belakangan saya terpaksa harus membatalkan kegiatan luar rumah dan menghabiskan waktu berbaring saja di tempat tidur. Dekubitus menimbulkan pembengkakan daging di sekitarnya. Rasa sakit yang ditimbulkan nyesek sampai ke perut ini.
Pertemuan istimewa setelah terpilihnya Muhammad Budi Pramono sebagai ketua Spice Indonesia
Di salah satu rumah sakit di Bandung, RS Imanuel, saya mendapatkan
informasi bahwa Dekubitus bisa disembuhkan.
Saya lalu menghubungi pihak RS via WA demi mendapat informasi lebih
lengkap. Saya memperkenalkan diri dan termasuk kondisi dekubitus yang parah
ini.
Setelah bersalam, saya pun menyapa.
Salam, saya sampai saat ini menderita dengan Dekubitus. Kini hampir
tujuh tahun dan dekubitus saya tidak sembuh-sembuh jua. Dekubitus ini bisa dikategorikan
stadium 4. Lukanya sudah begitu dalam. Kalau mau bayangkan, coba googling saja.
Karena sudah dalam, selama ini setiap hari dekubitus rutin dibersihkan memakai
NaCl, mengganti perban dan mengolesinyan gammat
gel. Sudah seminggu ini mengalami pembengkakan sehingga saya tidak bisa
duduk di kursi roda.
Apakah sebuah layanan home
care berkenan memeriksa Dekubitus ke tempat tinggal saya?
Sudah terbayangkan sejumlah hambatan.
Sayapun bertanya:
“mohon infonya tentang home
care.”
WA berbalas, seseorang merespon. Saya membayangkan argo onlen di
android ini terus berjalan. Begini dialog kami.
“Untuk luka dalam akibat dekubitus kami punya tim khusus yang memang
betul-betul kompetensinya di bidang perawatan luka (wound care) menggunakan modern
dressing. Tapi sementara ini tim woundcare
kami belum bisa menjangkau pasien ke rumah.
(dalam
hati: Ok, saya abaikan dulu biaya transportasi online karena ingin tau lebih
lanjut informasinya)
Saya bertanya,
jadi saya harus kemana Bu? Boleh minta alamat yang di daerah kota Bandung atau
Cimahi? (lengkap dengan emoticon senyum)
“Kami
hanya beroperasi di RS Imanuel, Pak. Kalau bapak kesulitan ke RS menggunakan
mobil sendiri, bisa menggunakan ambulance saja. Oia, mohon maaf, serangan GBS
nya kapan ya?
Saya menjawab, “Kalo terserang GBS sudah 28 tahun lalu. Ini juga sudah
beberapa kali terkena dekubitus, tapi kali ini dekubitusnya tidak kunjung
sembuh.”
Saya lanjut bertanya, “Maaf Bu bagaimana prosedurnya?”
Jawabannya membuat dada dag dig dug.
“Bisa datang ke Klinik Wound Care di RS Imanuel nanti akan dijelaskan
berapa biayanya. Kami harus melihat lukanya dulu untuk memutuskan berapa biayanya.
Pembayaran harus tunai ya Pak.”
Katanya lagi, “Obat pertama, belinya akan cukup mahal pak. Tapi bisa
dipakai beberapa kali.”
Saya penasaran dan menarik nafas.
“Kalau
boleh saya tahu, berapa biaya pertama pemeriksaan dan pembelian obatnya?”
Saya merasa
perlu menanyakan ini, karena perlu menyesuaikan dengan kondisi keuangan saya.
“Untuk obat itu sekitar 800 ribu. Itupun bergantung pada jenis
lukanya. Bisa lebih mahal lagi kalau lukanya parah. Jadi harus diperiksa dulu.”
Aku mengutuk dalam hati.
“Jadi, maksudnya jika tunai tidak akan ditanggung [JKN] BPJS ya?”
Jawabnya, “Iya Pak. Kami mohon maaf. Saat ini pembayaran woundcare belum bisa menggunakan BPJS pak.
Pun demikian dengan layanan Homecare juga belum ditanggung JKN pak.”
Deg!
Saya teringat peristiwa setahun lalu. Ketika itu saya memeriksakan memeriksakan
dekubitus saya di Rumah Sakit di kota Cimahi. Setelah mendapatkan rujukan dokter
dari Puskesmas, dokternya berkata, “Maaf ya, kami tidak bisa apa-apa kalau
bapak pakai BPJS untuk pengobatan dekubitus,” ujarnya datar sambil menuliskan resep
obat yang ada dan tanpa disesuaikan dengan kebutuhan untuk penyembuhan
dekubitus ini.
Saya mengutuk lagi, “Lalu untuk apa saya taat membayar iuran BPJS
setiap bulan dan rencananya akan naik 100% di tahun depan! apabila hak saya
tidak terpenuhi sepenuhnya.”
Ini menjadi jenis Kemahalan yang lain yang harus saya atau
kami hadapi sebagai Penyandang Disabilitas Berat[iv].
Mahalkan?[]
Logo SPICE
[i]SPICE merupakan organisasi yang membela dan meperjuangkan hak-hak
penyandang disabilitas berat. SPICE artinya Severe & Profound Impairment Collective Empowerment atauPemberdayaan Kolektif Disabilitas
Berat. Organisasi ini menyebut diri mereka sebagai sekelompok masyarakat yang merasa prihatin
atas kondisi saat ini, sebab belum adanya yang bergerak menyuarakan isu disabilitas
berat. Selama ini, isu disabilitas lebih banyak membahas isu disabilitas ringan
– bahkan dalam UU no. 8 tahun 2016, belum berpihak pada disabilitas berat. Hal
ini merupakan ketidakadilan terhadap disabilitas berat, karena kami berhak atas
berbagai akses dan / atau memperoleh kesamaan kesempatan dalam segala aspek,
selain hanya bertahan hidup.
Kemandirian penyandang Distabilitas dan non
Disabilitas pada umumnya berbeda, alangkah bijaknya lebih toleransi kepada
penyandang Disabilitas. Bukan untuk mengasihaninya,tetapi lebih meluruskan Perspektif melalui
rasa dari hati supaya tidak salah kaprah hingga salah menilai tidak menggunakan
hati. Seperti halnya Penyandang Disabilitas Berat dalam kemandiriannya
harus di bantu oleh Pendampingan atau Personal Asisten (PA). PA adalah seseorang yang membantu
penyandang Disabilitas dalam kemandirian agar bisa berinteraksi dengan
lingkungan, bersosialisasi bersama masyarakat,beraktivitas di dalam dan luar
rumah secara efektif,aktif dan luass,untuk hidup maju dan berkembang.
Apabila penyandang Disabilitas terlebih Disabilitas berat
tidak dibantu oleh personal asisten maka akan kesulitan dan bagaimana bisa
memperoleh kesamaan kesempatan dalam segala aspek agar mampu berkarya, berdaya
dan berguna,hal tsb menjadi hambatan nyata dan menimbulkan stigma negatif dari
masyarakat menilai sebagai pemalas dan tidak berdaya.
Personal asisten tersebut sebetulnya bisa siapapun, yang
penting mampu memahami mengerti dan menjaga privasi penyandang Disabilitas yang
dibantunya. Jumlah Personal
Asisten bagi penyandang Disabilitas berbeda,disesuaikan dengan kebutuhannya
satu orang atau lebih.
Di beberapa negara maju Personal Asisten mendapat income atau
salary (dari pemerintah sebagai apresiasi untuk menghormati atas bantuannya
kepada penyandang Disabilitas). Di Australia, informasi dari Dr. Antoni
(Dosen Universitas Andalas, Padang) seorang personal asistance Standard gaji
atau honornya adalah $25/jam atau sekitar Rp. 250.000.
Apa kabarnya dengan di negara ini?
perjuangannya masih sangat panjang!
Padahal bukankah penyandang Disabilitas pun mempunyai hak
menjadi pribadi yang bermartabat bukan sebagai objek belaskasihan?
[iii]Dekubitus Dekubitus merupakan kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit,
bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu
area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah
setempat.
Dekubitus disebut juga luka
tekan yang merupakan kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan
karena adanya kompressi jaringan yang lunak di atas tulang yang menonjol (bone prominence) dan adanya tekanan dari
luar dalam jangka waktu yang lama. Kompressi jaringan akan menyebabkan gangguan
pada suplai darah pada daerah yang tertekan. Apabila ini berlangsung lama, hal
ini dapat menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemi jaringan
dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel.
Luka tekan (pressure ulcer) atau dekubitus merupakan
masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan
mobilitas, seperti pasien stroke, injuri tulang belakang atau penyakit
degeneratif. Istilah dekubitus sebenarnya kurang tepat dipakai untuk
menggambarkan luka tekan karena asal kata dekubitus adalah decumbere yang artinya berbaring. Ini diartikan bahwa luka tekan
hanya berkembang pada pasien yang dalam keadaan berbaring. Padahal sebenarnya
luka tekan tidak hanya berkembang pada pasien yang berbaring, tapi juga dapat
terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda atau prostesi. Oleh karena itu
istilah dekubitus sekarang ini jarang digunakan di literatur literatur untuk
menggambarkan istilah luka tekan.
Dekubitus disebabkan dua
faktor, yakni intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah penuaan
(regenerasi sel lemah), sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM, Status
gizi, underweight atau kebalikannya overweight, Anemia, Hipoalbuminemia, penyakit-penyakit
neurologik dan penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, Keadaan
hidrasi/cairan tubuh. Sedangkan faktor Ekstrinsik adalah terkait kebersihan
tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang
menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu, pola duduk yang
buruk, posisi yang tidak tepat, dan perubahan posisi yang kurang dilakukan.
Adapun tanda-tandan atau
gejala, stadium dan komplikasi adalah sebagai berikut: Stadium Satu: adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi
(ada tanda perubahan temperatur kulit, lebih dingin atau lebih hangat; perubahan
konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak); perubahan sensasi (gatal atau
nyeri); pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai
kemerahan yang menetap. Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan
sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu. Stadium Dua, yaitu:hilangnya
sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya
adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang yang
dangkal. Stadium Tiga, yaitu:Hilangnya lapisan kulit secara
lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringn subkutan atau lebih
dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam. Stadium Empat, yaitu:Hilangnya lapisan kulit secara lengkap
dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau
tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam
stadium IV dari luka tekan.
[iv]Penyandang Disabilitas Berat adalah seseorang
yang mengalami satu / lebih kedisabilitasan; yang dalam beraktivitas perlu
dibantu penamping/Personal Assistant dalam kemandiriannya agar bisa
berinteraksi dengan lingkungannya dan bersosialisasi
bersama masyarakat secara aktif dan luas untuk hidup
maju dan berkembang