Oleh Antoni Tsaputra, PhD (Bekerja sebagai PNS di Bappeda Kota Padang, Alumni UNSW Australia)
Sore yang gerah di Kota Padang sepulang saya dari kantor. Seperti biasa, istri saya yang penuh bakti membantu melepaskan seragam pegawai negeri saya dan menggantinya dengan pakaian rumah. Kemudian, dengan bantuan alat angkat, dia memindahkan saya ke tempat tidur dari kursi roda elektrik yang saya duduki sepanjang bekerja di kantor. Alat bantu atau lifting hoist semacam ini seharusnya mudah diperoleh di Indonesia untuk memudahkan mobilitas orang-orang dengan kesulitan bergerak seperti saya. Setelah saya memiliki posisi nyaman di tempat tidur, saya memeriksa beberapa pesan dari grup WhatsApp di HP. Sebuah postingan di grup JBFT menarik perhatian saya. Seseorang meminta para anggota group mencermati klausul tertentu dari Peraturan Menteri yang mengatur rekrutmen Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagi difabel.

Mengejar karir sebagai PNS tetap menjadi impian banyak orang Indonesia, termasuk difabel. Inklusi disabilitas dalam birokrasi merupakan salah satu mandat Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas (UUPD) yang baru. Pasal 53 UUPD ini mensyaratkan pemerintah mengalokasikan setidaknya 2 persen di setiap departemen/dinas bagi difabel. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah mendorong warga negara difabel turut mengikuti tes pendaftaran PNS—apalagi mengingat untuk tahun ini, difabel dapat mengakses baik ‘formasi khusus’ maupun ‘formasi umum’.
Memberikan formasi khusus bagi pelamar difabel dan memungkinkan mereka berpartisipasi dalam formasi umum dapat dinilai sebagai tindakan afirmatif pemerintah demi memastikan inklusi disabilitas dalam birokrasi, yang juga merupakan pemenuhan mandat Pasal 53 UUPD. Namun, tindakan afirmatif semacam itu tidak bisa dianggap remeh jika kita bermaksud mencapai inklusi disabilitas yang sebenar-benarnya.
Kesamaan Perspektif Terkait Inklusi
Inklusi telah menjadi ‘slogan’ selama bertahun-tahun yang digunakan para aktivis disabilitas untuk mengadvokasi kepentingan mereka dan bahwa pemerintah juga menggunakan ‘kata’ tersebut dalam dokumen kebijakan mereka. Pertanyaannya kemudian, apakah kedua pihak ini berada pada ‘halaman yang sama’ ketika mereka berbicara terkait inklusi. Inklusi disabilitas dalam rekrutmen PNS dapat menjadi contoh baik untuk melihat maksud pemerintah terkait inklusi.
Dipicu oleh kasus Romi, seorang perempuan dokter gigi yang menggunakan kursi roda dan menjadi perhatian nasional, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengeluarkan Peraturan Menteri PAN Nomor 23/2019 tentang rekrutmen PNS dengan aturan yang lebih rinci tentang prosedur rekrutmen untuk pelamar difabel [https://nasional.sindonews.com/read/1455486/15/hindari-kasus-dokter-gigi-romi-terulang-aturan-formasi-cpns-disabilitas-lebih-rinci-1572867351 ]. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peraturan ini menetapkan bahwa difabel dapat bersaing baik dalam formasi khusus maupun umum. Dalam kedua formasi tersebut, pelamar difabel diminta melampirkan ‘surat keterangan medis’ yang menentukan jenis dan derajat disabilitas mereka. Ketiadaan dokumen ini dapat mengakibatkan pelamar difabel didiskualifikasi.
Pengkategorian warga difabel sesuai dengan jenis dan derajat ‘impairment’ (kondisi keterbatasan fisik, mental dan intelektual, red) mereka, yang tidak ada dalam UN CRPD (Konvensi Hak-hak difabel PBB), merupakan indikasi masih kuatnya cengkeraman perspektif medis dalam menilai kemampuan seseorang. Lebih jauh, kebijakan semacam itu telah menempatkan praktisi medis sebagai penentu utama jenis dan derajat ‘kedisabilitasan’ seseorang. Ini menyiratkan nuansa bahwa ‘menjadi disabilitas’ masih dianggap bagian ‘anomali medis’ yang harus diidentifikasi dan divalidasi oleh praktisi medis (seperti dokter, psikolog, psikiater, red). Pengelompokan kedisabilitasan berdasarkan jenis atau tingkat keparahannya menurut standar medis seperti yang disetujui pemerintah akan menentukan ketentuan layanan dan manfaat bagi difabel. Ini berarti bahwa Negara dapat mempertahankan kuasanya untuk memutuskan siapa berhak atas hak dan kapan.
Pemberlakuan UUPD dan tindakan afirmatif pemerintah untuk inklusi disabilitas, misalnya dalam proses rekrutmen PNS, menunjukkan bahwa pergeseran paradigma disabilitas ke berbasis hak—sebagaimana diperjuangkan aktivis difabel, telah terjadi. Namun kenyataannya, pemerintah justru mempertahankan status quo dalam menentukan apa yang baik bagi difabel menurut kemauan/kepentingan mereka. Hal ini mencerminkan relasi kekuasaan antara Negara (pemerintah) dan warganya yang marjinal (yakni difabel), relasi kuasa di mana hegemoni Negara tetap hadir dalam ‘kemenangan semu’ para pengusung hak-hak disabilitas.

Kuasa hegemonik negara atas difabel
Inklusi disabilitas dalam rekrutmen PNS nyata mencerminkan kuasa hegemonik tersebut. Pemerintah menegaskan posisi mana yang ‘bisa’ dan ‘tidak bisa’ dipenuhi difabel serta jenis atau tingkat gangguan atau tingkat kesulitan seperti apa yang dapat diterima [https://nasional.sindonews.com/read/1455486/15/hindari-kasus-dokter-gigi-romi -terulang-aturan-formasi-cpns-disabilitas -lebih-sesuai-1572867351]. Posisi yang dipilih pelamar difabel harus sesuai dengan jenis dan tingkat kesulitan yang dimilikinya. Kapasitas, pengalaman, dan kemampuan pelamar difabel tampaknya menjadi tidak relevan di mata pemerintah. Jenis dan tingkat disfungsi tubuh seseorang merupakan fitur paling menonjol yang digunakan pemerintah dalam menentukan kelayakan untuk melamar dan memilih posisi tertentu. Persyaratan ini telah terbukti diskriminatif untuk beberapa pelamar difabel. Sebagai contoh, Mukhanif seorang Tuli baru-baru ini membuat petisi online yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia dan Presiden Jokowi. Dia menyerukan penghapusan persyaratan diskriminatif bagi difabel dalam proses perekrutan PNS 2019 [https://www.change.org/p/pemerintah-indonesia-petisi-penghransfer-syarat-diskriminatif-terhadap-penyandang-disabilitas-pada-cpns-2019]. Terlepas latar belakang pendidikan dan keterampilan yang relevan, Mukhanif secara otomatis didiskualifikasi untuk melamar posisi yang ditawarkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Posisi yang ditawarkan untuk pelamar difabel mengharuskan agar “pelamar dapat melihat, mendengar dan berbicara” [https://cpns.kemdikbud.go.id/site/assets/files/1066/pengumuman_seleksi_penerimaan_cpns_kemendikbud_2019.pdf].
Selain itu, posisi yang tersedia di formasi khusus difabel tidak selalu terkait dengan latar belakang pendidikan pelamar. Latar belakang pendidikan mereka mungkin cocok dengan posisi yang tersedia di formasi umum. Namun, aksesibilitas dan akomodasi layak yang dibutuhkan pelamar difabel khususnya saat ujian pendaftaran tidak akan diberikan dalam formasi umum. Hal semacam ini, ironisnya, hanya disediakan pada formasi khusus disabilitas.
Kebijakan adanya Formasi Khusus Disabilitas yang dimaksudkan sebagai ukuran ‘inklusi’ ternyata justru menghasilkan tindakan pengabaian yang diskriminatif. Meskipun dimungkinkan untuk melamar dalam Formasi Umum, namun kurangnya aksesibilitas dan akomodasi layak dalam formasi tersebut akan memaksa pelamar difabel hanya melamar pada Formasi Khusus tersebut. Formasi khusus ini berpotensi dipahami sebagai satu-satunya jalur bagi pelamar difabel untuk menjadi pegawai pemerintahan [https://pshk.or.id/blog-id/formasi-khusus-disabilitas-cpns-2018-pisau-bermata-dua-2/].
Paradoks Inklusi
Inklusi disabilitas saat ini, khususnya dalam sistem perekrutmen PNS telah secara paradoks menyebabkan eksklusi. Ini terjadi dikarenakan ‘inklusi’ hanya berfokus pada kategorisasi posisi yang ditawarkan bagi pelamar difabel berdasarkan jenis dan tingkat kedisfungsian/disabilitas tubuhmereka. Pemerintah seharusnya membebaskan difabel melamar formasi kepegawaian manapun sesuai dengan latar pendidikan, kapasitas serta kapabilitas mereka, dan lebih memfokuskan upaya inklusi dalam menghilangkan segala hambatan, menyediakan akomodasi layak, serta membuat akses keseluruhan tahapan perekrutan PNS ini bagi difabel. Inklusi disabilitas dalam kepegawaian atau birokrasi seharusnya tidak hanya diupayakan saat perekrutan pegawai, tetapi justru lebih penting jika pemerintah menyiapkan langkah-langkah konkret dalam meningkatkan jumlah PNS Difabel dan memastikan ketersediaan dukungan dan akomodasi layak di tempat kerja sehingga difabel dapat bekerja efektif dan berkontribusi sesuai keahlian mereka. Dengan demikian, masih banyak yang harus dibenahi demi memastikan praktik perekrutan PNS berlangsung secara inklusif, kenyamanan difabel saat bekerja dan kepuasan pengabdian sebagai PNS dalam melayani masyarakat[].