Oleh: Sujono Said (Difabel Visual, Staf Pengajar di SLB Yukartuni Makassar)
Jumat 22 November 2013, telah berlangsung ujian meja bertempat di ruang seminar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur.
“Kepada mereka yang namanya terlampir di hadapan 4 (Empat) penguji, Prof. DR. Muliati S.H,M.H, Sukardi S.H,M.H, Makka Muharram S.H,M.H, dan DR Syamsiar arief S.H,M.H, dinyatakan lulus dengan nilai A, dan dinyatakan telah bergelar S.H,”
Tok tok tok!
Itulah bunyi berita acara judisium yang diiringi ketokan palu 3 kali setelah penulis bersama puluhan mahasiswa lainnya menjalani prossesi ujian meja kala itu. Kamipun menerima ucapan selamat mulai dari dekan, ketua prodi, para penguji, dan staf fakultas yang menghendel jalannya acara.
Sudah enam tahun gelar kesarjanaan ini melekat dalam diri. Tepat 22 November 2019 lalu, saat terjadi sebuah peristiwa sakral, penulis membaca kembali undangan dari Pustakabilitas – PerDIK yang mengadakan diskusi tematik. Tema kali ini adalah ‘masalah hukum’.
“Wah! Dapat kado nih dari Pustakabilitas PerDIK.” ujarku senang dalam hati.
Sore itu, penulis bersama praktisi hukum seperti lawyer dan paralegal. Ibu Ratna Kahali dari LBH, Kanda Fauziah Erwin (Lawyer PerDIK), serta Rizki (paralegal dan juru Bahasa Isyarat) yang telah banyak mendampingi difabel saat bersinggungan langsung dengan hukum.

Tapi, kali ini penulis tidak lagi belajar hukum pidana, perdata, tatanegara, dagang, perancangan kontrak, dan lainnya. Melainkan, yang penulis pelajari sore ini adalah ‘sejumlah kecacatan dalam mekanisme hukum, utamanya ketika kaum disabilitas bersinggungan dengan hukum.

Ini, kaitannya dengan diri dan senasib penulis, wah! Penulis baru sadar kalau penulis adalah seorang disabilitas yang boleh jadi bersinggungan dengan hukum, namun semoga saja tidak, asal jangan penulis yang memulai alias pelaku. Tapi, kalau diperkarakan? Gimana?. Tentu penulis siap Insya Allah.
Sore itu, diskusi dihadiri oleh teman-teman dari komunitas Tuli, perwakilan dari PERADI, dan masih banyak lagi. Banyak hal yang penulis dapatkan dari pemaparan teman-teman lawyer dan rekan paralegal. Teman-teman lawyer, banyak berbicara mengenai sisi hukum serta pengalaman mereka mendampingi disabilitas, saat beracara di setiap level mulai dari penyidik hingga hakim.

Sedangkan rekan paralegal, lebih banyak berbicara bagaimana mendampingi client mereka yang notabene adalah difabel saat bersinggungan dengan hukum seperti beberapa kasus yang melanda kaum disabilitas di Sulawesi Selatan yang penulis ikuti dari media online yang akurasinya terjamin.
Beberapa kasus difabel berhadapan dengan hukum di Sulawesi Selatan, salah satunya adalah di kabupaten Soppeng, di mana korbannya merupakan seorang Tuli. Berdasar paparan para praktisi hukum ini, penulis memahami bahwa mereka menjadi korban lantaran ketakberdayaan mereka di mata orang-orang yang bukan hanya merasa sempurna, tapi juga memiliki power. Bahkan, yang harusnya jadi protector, justeru jadi predator.
Dari paparan mereka, penulis berkesimpulan bahwa banyak kasus hukum yang korbannya difabel, mengalami kebuntuan saat proses di tingkat pertama dalam hal ini penyidikan. Lantaran paradigma mereka yang belum atau kurang tercerahkan. Mereka seolah-olah ingin menyamakan difabel dan non-difabel saat mereka saat dimintai keterangan atau di BAP. Tawaran dari diskusi ini adalah perlu metode baru dalam beracara yang lebih akses di semua tahapan dan tidak melanggar KUHAP. Hal ini penting karena difabel, terutama difabel komunikasi di mana ada perbedaan kemampuan berbahasa, di mana Tuli berbahasa isyarat dan non-tuli berbahasa lisan. Pun demikian difabel-difabel lainnya yang kemampuannya beragam dan tidak selalu sesuai dengan kemampuan orang pada umumnya.

Begitupun di tingkat persidangan. Terlebih ketika difabel didengarkan keterangannya, baik sebagai korban maupun sebagai terdakwa, agar fakta di persidangan dapat diungkap secara terang benderang. Ini penting, karena akan menjadi pertimbangan dalam rapat permusyawaratan hakim untuk merumuskan putusan yang seadil-adilnya. Sehingga, tidak ada pihak yang dirugikan dalam kasus tersebut.
Peran Paralegal
Hal lain, yang sering dialami oleh rekan paralegal, adalah mereka baru didatangkan saat terdakwa atau saksi akan didengar keterangannya di persidangan dalam hal ini adalah saksi korban misalkan. Sehingga, rekan paralegal tidak mempunyai kesiapan yang maksimal untuk mendampingi klien mereka di persidangan.
Penulis menyarankan agar advokat dan paralegal menjalin koordinasi yang lebih baik agar rekan paralegal dapat menghadiri setiap proses peradilan—persidangan. Mulai dari pembacaan dakwaan, eksepsi terdakwa dan penasihat hukumnya, tanggapan jaksa atas eksepsi, pemeriksaan saksi, ahli, dan terdakwa, hingga putusan yang inkrach.
Mengapa paralegal harus hadir di sidang awal? agar mereka juga tahu pasal yang didakwakan, berikut uraian kronologi yang membuktikan dakwaan jaksa penuntut umum, apakah bersesuaian dengan alat bukti, BAP, dan lain-lainnya. Sehingga, ketika mereka dibutuhkan untuk membantu klien mereka dalam pemeriksaan sesuai kapasitas mereka, mereka bisa lebih all ready.
Kehadiran mereka, juga dapat memberikan catatan untuk menjadi rujukan bagi hakim, jaksa, dan penasihat hukum demi kelancaran sebuah proses beracara. Oleh karena itu, sekali lagi sinergi antar lawyer dan paralegal harus intensif. Selain itu, setahu penulis, setiap pengadilan negeri sudah mempunyai website yang memuat jadwal sidang. Sehingga, itu lebih memudahkan rekan-rekan paralegal untuk self preparation atau persiapan.
Sebelum terlampau jauh, izinkan penulis untuk flash back. Di tahap penyidikan, untuk kelengkapan berkas sebelum pelimpahan ke jaksa, ada yang disebut dengan rekonstruksi yang merupakan bagian dari olah tempat kejadian perkara. Disini, menurut penulis, perhatian aparat masih minim. Karena, jika korbannya adalah tanpa-disabilitas, terkadang mereka menyiapkan puluhan personil untuk olah TKP. Tapi, kalau korbannya ‘dengan disabilitas’, mereka kadang hanya dikawal oleh satu dua orang aparat. Bahkan, hanya dikawal oleh satu orang penyidik yang secara kebetulan menangani kasus tersebut.
Oleh karena itu barangkali, pihak aparat harus memberi perhatian yang sama ketika difabel bersinggungan dengan hukum dalam hal ini perkara pidana akan melakukan rekonstruksi. Karena, selama ia manusia, ia tentu memerlukan rasa aman terlebih ketika mereka sedang bersinggungan dengan masalah hukum di tingkat pertama.
Berdasar pengalaman penulis, difabel terlebih ketika mereka adalah perempuan apapun kondisi disabilitasnya, ketika mereka berhadapan dengan hukum tentu membutuhkan cara-cara yang lebih persuasive agar mereka lebih terbuka kepada aparat, lawyer, dan teman-paralegal yang memberikan pendampingan.
Mengapa? Mereka juga memiliki ketakutan yang amat tinggi, sependek pengetahuan penulis bahwa fungsi lembaga perlindungan saksi dan korban juga memberikan rasa aman kepada siapapun warga Negara yang bersinggungan dengan hukum, tentu hal ini juga berlaku bagi warga dengan kondisi disabilitas. Perlindungan ini, diberikan sejak bergulirnya kasus ini di tahap pertama, hingga pasca jatuhnya putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap (Inkrach).
Tawaran dari diskusi
Dan akhirnya, menutup tulisan ini, izinkan penulis menyampaikan catatan yang sebagian penulis kutip dari hasil diskusi ditambah lagi dengan apa yang penulis kembangkan sendiri berdasar pengetahuan hukum penulis. Izinkan penulis memulai dengan sebuah pertanyaan, bagaimana ketika ada seorang disabilitas bersinggungan dengan hukum dan sudah sampai ke tahap penyidikan? Jawabannya adalah kawal terus kasus ini dengan sepenuh hati.
Karena, dengan jalan ini maka para penegak hukum di semua level akan tercerahkan perspektif maupun paradigmanya. Sehingga, mereka tidak melulu terpaku pada KUHP dan KUHAP. Karena, bukan undang-undang semata yang harus menjadi panduan kita menangani kasus hukum, ada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kemudian, salah satu dari sekian sumber hukum adalah pengetahuan dari pihak aparat penegak hukum itu sendiri.
Olehnya itu, sebagaimana rekomendasi dari teman-teman praktisi saat diskusi kemarin adalah jalan terus ketika ada kasus hingga memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap(inkrach). Hal ini, sejalan dengan pemikiran penulis bahwa mungkin dengan jalan inilah sehingga dapat muncul terobosan-terobosan hukum yang terus mengalami perkembangan tanpa harus menunggu adanya revisi KUHP, KUHAP, dan undang-undang lain seperti KUH perdata, dan juga hukum acaranya.
Hal ini, karena mengingat penyusunan atau perombakan regulasi akan memakan waktu yang amat lama, sedangkan kaum disabilitas yang bersinggungan dengan hukum juga semakin mengalami peningkatan. Sehingga dengan demikian, maka kita juga harus melakukan langkah-langkah yang sifatnya menjadi terobosan perkembangan system hukum di Negara kita. Sehingga, asas equality before the law dan equal justice under the law bukan hanya sekadar asas. Tapi, hal ini dapat mencakup rasa keadilan bagi para pencari keadilan termasuk dalam hal ini adalah teman-teman disabilitas sendiri.
Dan akhirnya, penulis mengucapkan al-hamdulillah sebagai rasa syukur atas nikmat Allah berupa kado istimewa ini serta teriring ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada koordinator Pustakabilitas PerDIK, yang dengan tema ini telah memberi ruang bagi penulis untuk belajar hukum bersama dengan teman-teman disabilitas beserta mereka yang punya kepedulian, semoga apa yang kita perjuangkan selama ini akan membuahkan hasil yang maksimal dan memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat[].