Oleh Ishak Salim (Ketua Yayasan PerDIK)
Berawal dari tulisan NAbila May Sweetha yang diposting di media PerDIK ini, saya kemudian memberikan komentar melalui akun facebook saya dan membaginya ke group fb Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia di sini. Postingan ini mendapatkan respon dari sejumlah pembaca dan menggambarkan bagaimana diskursus sistem pendidikan segregatif vs inklusif cukup semarak. Dari sekian komentar dan diskusi, saya kemudian merasa perlu menyampaikan ke publik mengenai pertukaran pemikiran ini. Tulisan selanjutnya adalah kopipaste saya dan sebelum saya menera pandangan-pandangan tersebut, saya akan muat dulu komentar saya atas tulisan Nabila, berikut:
Pak Menteri, Kami Mau Belajar di Sekolah Umum, BUKAN SLB!
Tulisan ini ingin menyapa Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim yang baru-baru ini menyampaikan bahwa Pemerintah akan memberi perhatian kepada SLB alias Sekolah Luar Biasa, untuk difabel.
Lala Nabila May Sweetha, penulis difabel netra yang saat ini belajar di Sekolah Umum merasa gerah dan tak sepakat dengan Mas Menteri. Ia menolak cara berpikir Menteri Pendidikan yang segregatif. Baginya, tak mungkin ada kemerdekaan bagi siswa dan siswi difabel ketika sistem pendidikan yang disediakan negara masih dipisahk-pisahkan.
Apa bedanya dengan Kaum penjajah yang memisahkan pendidikan Pribumi dengan alasan Pribumi berbeda baik ras maupun kelas sosialnya?
Jadi itu bukan sistem pendidikan yang memerdekakan kami, difabel ini, Pak Menteri! begitu kira-kira spirit perlawanan Lala dan kawan-kawannya yang berani menantang sistem ini dan keluar dari tembok SLB yang selama ini mengerangkengnya. Ia menolak hanya dijejali keterampilan yang tak disukainya, ia ingin kebebasan seperti siapapun yang saat ini menikmati sekolah umum.
Ia ingin bebas dan ingin membebaskan teman-temannya yang masih tak kuasa keluar dari SLB. Pun di tulisan ini, Nabila melawan Mas Menteri, yang ingin melanggengkan “penjara pendidikan” ini.
Teriakan Education For All!
(Marakesh Treaty)
Demikan, dan berikut saya posting pendapat-pendapat teman-teman dari group PPDI dan semoga dari setiap kalimat yang tertuang memberikan kita pencerahan atau pandangan baru yang lebih baik.
Faisal Esha Itu benar saya mendukung pendapat adek ini. Ini zaman demokrasi.. orang orang tidak lagi melihat difabel atau tidak.tapi kemampuannya.mental anak zaman sekarang sudah sangat baik.jangan lagi dikotakkan seolah orang cacat harus di kelompokkan dengan orang cacat.itu justru melemahkan mental difabel itu sendiri.bak istilah tidak ada mental bersaing yang positif.dia akan terus berada di “zona nyaman” . menteri Nadiem kan lulusan luar negeri.harusnya tau itu.untuk info saya zaman orba dimana fasilitas dan tingkat pendidikan orang belom sebaik sekarang.dari SD sampai universitas semuanya di umum dan sedikit banyak itu membuat mental saya relatif lebih kuat..dan mereka menerima saya tanpa di bully..zaman milenium gini.malah mau dikotakkan. Aneeh
Teguh Sistemnya dulu yang harus diperbaiki karena di sekolah umum yang sudah inklusi pun kadang belum memiliki guru PLB, kenapa dibutuhkan guru PLB? Seperti pepatah the right men in the right job,,, segalanya harus berjalan sesuai jobdesk nya, sayang kalau sudah masuk sekolah umum tp sekolahnya masih belum ramah difabel, justru menambah beban mental dari difabel itu sendiri #imo
Ishak SalimPenulis kalau mengambil pengalaman lala (penulis di atas) bersekolah di sekolah umum, kehadirannya di sekolah umum itu telah memulai proses inklusif. Perlahan-lahan, sekolah berubah, guru-guru mendapat pengalaman baru dalam mengajar difabel netra, teman-teman lala punya pengalaman baru berteman dan berinteraksi dengan lala sebagai difabel. Di awal masih ada keliru, tetapi kekeliruan seiring waktu dibenahi oleh guru-guru. ada banyak pengalaman baru dan pengetahuan baru selama lala belajar di sekolah umum dan sekolah ini juga untuk pertama kalinya menerima murid difabel.
Kalau menunggu setiap sekolah umum siap, kita akan kehilangan waktu yang panjang untuk mempersiapkan diri. sementara dengan cara Lala, perubahan berjalan dengan natural dan penganggaran sekolah juga pelan-pelan mulai menyiapkan aksesibilitas dan akomodasi layak di sekolah umum.
Johana Sherly Oktavista: Ishak Salim yang dituliskan Lala belum tentu dapat mewakili semua kondisi difable pak..karena ada juga difabel fisik yang disertai disabilitas mental,, satu anak dg yg lain tidak dapat disamakan namanya juga berkebutuhan khusus,,saya sendiri punya anak yang mengalami Lumpuh otak semua tumbangnya terlambat,,,
Teguh: Ishak Salim tidak semua seberuntung mba lala ini mas, beberapa waktu lalu bahkan ada yg mengalami bullying gara2 difabel yang bersekolah di sekolah umum, saya guru SLB, pun ingin rasanya agar anak2 difabel ini bisa bersekolah di sekolah umum karena jumlah slb sangat terbatas dlm satu kota sedangkan jumlah peserta didiknya melebihi batas. Harus ada perbaikan sistem, kemudian persiapan dan metode pembelajaran yang tepat, karena di negara ini segalanya berjalan sesuai aturannya, tidak bisa kita seketika merubah kurikulum begitu saja,
Ishak Salim Ya benar, ada banyak keberagaman difabel. Tetapi sekolah tidak harus dipisahkan dan menyatukan semua peserta didik yang difabel. Kebijakan segregasi ini membuat mayoritas masyarakat lambat menyadari keragaman disabilitas, keragaman kemampuan, dan terus menerus berada dalam cara berpikir orang normal dan orang cacat.
Ini juga buka soal beruntung dan tidak beruntung, bagi saya ini karena pemikiran atau pengetahuan kependidikan kita tidak berkembang dengan baik karena segregasi ini. kebanyakan slb sebagai sekolah tertinggal kualitasnya dan kebanyakan sekolah umum tidak peduli dengan siswa difabel, tidak peduli betapa slb itu letaknya jauh dari rumah difabel dan betapa menyakitkannya kita sebagai orang tua ketika anak-anak kita ditolak bersekolah di sekolah umum.
Jika SLB adalah cara mendidik difabel, megapa cara itu tidak diintegrasikan dengan sistem persekolahan inklusif dan kita mulai belajar perlahan-lahan memulainya, perlahan-lahan menyiapkan buku-buku braille, mengubah toilet sekolah lebih akses, mengubah runag guru dan kelas nyaman, menerima GPK, melatih guru bagaimana mendidik anak dengan autisme, adhd, maupun down syndrome dst.
Tonytonie Slb memang dikhususkan buat difabel dan umum juga, dari segi meyodenya sudah berbeda, tp dalam kondisi tertentu tidak menutup kemungkinan buat difabel untuk sekolah di tempat umum, tp kondisional, jangan terpaksa dan dipaksa. Baik seorang difabel juga harus di slb biar bisa mengikuti semua kegiatan… Disekolah umum itu juga banyak sekali problem… Untuk mengejar prestasi siswa dituntut untuk bisa menyerap materi dalam waktu yg sangat terbatas …pengalaman dulu waktu sekolah sekarang dikasih materi, hari berikutnya latihan yg sangat banyak , habis itu ulangan/test ..dalam waktu satu minggu harus selesai dan harus dikuasai materi yg ada… Dan semua pelajaran seperti itu… Coba dipikir pelajaran exact yg sulit” apa ya bisa difabel mengejar itu semua..
Achmad Ainul Yaqin Idem mawon
P Marjani Jika anak mampu kan sudah ada sekolah inklusi/sekolah umum dan bisa melanjutkan pendidikan kuliah dst. Yg bidang akademik kurang mampu disekolah khusus diberi materi keterampilan dng tujuan kelak bisa mandiri.
Tapi perlu dipersiapkan benar SDM di sekolah Inklusi sehingga semua peserta didik dpt terlayani dng baik.
Elhumaedi Saya juga sekoalh di umun dri sd smp smk negeri semua Saya diperlakukan sma tidak dibeda bedakan dan kadang guru juga mengerti apa yg saya bisa dan yg saya gk bisa.
Ramadani Afni Ya saya berpikiran yg sama karena jika dari SD -SMA tetap disatu lingkungan bagaimana nanti para disabilitas bisa bergaul dengan masyarakat ? Harusnya inklusi bukan hanya sebagai semboyan di hari-hari peringatan disabilitas saja tapi harus dipraktekkan di seluruh instansi dan lapisan masyarakat
Dicky Putranto Sekolah umum tuh biasa aja kok, justru enakan slb, karena kurikulumnya bisa menyesuaikan kondisi kita, lalu alat penunjangnya juga lebih baik di SLB..
Ishak SalimPenulis Dicky Putranto sudah benar kurikulum itu tidak diseragamkan. Sudah saatnya sistem pendidikan itu menghargai dan mengakomodasi perbedaan. Manajemen Sekolah harusnya menyesuaikan keberagaman setiap individunya. Model Penyeragaman sistem pendidikan dan memisahkan orang-orang dengan alasan tidak mampu dan berbeda justru menunjukkan bahwa guru-guru dan pengelola sekolah umum sudah terlalu lama berada di zona nyaman.
Dicky Putranto Ishak Salim ya sudah …
Yon SAgita betul bgt.kami para difa merasa terdiskriminisasi
Aw Trisno Legowo Masalah skolah umum atau slb ya diliat dr difanya… Mgkin klo cm difa kaki, tangan bs di umum tpi difa yg lain? Yg mmg btuh tenaga pengajar kusus?
Nor Fadili Ibnu Muza Saya Sangat Setuju dengan pendapat Adek ini.klw misal nya adek” yang mempunyai Kebutuhan Husus harus bersekolah Di SLB lantas kapan adek” bisa bergaul dengan teman” di luar sana.klw misal nya harus sprti apakah tidak ada kemungkinan Orang” di luar sana semakin membedakan ke beradaan kita.
Pemerintah seharus nya menciptakan Lingkukan yang Inklusif bisa saja teman” di beri pendampingan husus kalau memang itu di butuhkan.
Aji Purwono Pck slb itu enak gan nggak ada yng ngebully.
Nor Fadili Ibnu Muza Aji Purwono Pck saya sekolah di sekolah umum sejak TK sampai Kuliah.Alhamdulillah gak pernah Di bulyy
Kepiting Sennyum dari dlu saya sekolah di skolah umum sdh mnjlni proses inklusi awalnya d bully ttapi lma2 justru jd tmn yg baik smua.
Ishak SalimPenulis Kepiting Sennyum betul, proses bully jika terjadi biasanya akan ada proses penyelesaiannya. Baik oleh guru atau oleh murid-murid sendiri yang secara alamiah berproses membela atau dibela, mendukung atau menolak, dan akhirnya diselesaikan secara formal oleh pihak sekolah, atau komite sekolah atau cara-cara lain yang akan terjadi sesuai kultur atau budaya setempat.
Mas Riang Difable netra itu kadang cm memikirkan dirinya sendiri…,
Mereka tidak memikirkan difable yg lain seperti autis, tunagrahita, tunadaksa dll…,
Apa tidak mengalami perihnya saat di bully di sekolah umum?
Atau jika tidak dibully pun di sekolah umum itu jg tidak diperhatikan secara maksimal…,
Karena sistem belajarnya klasikal….yaa mana mungkin belajar klasikal kog minta diperhatikan secara intensif….
Di SLB malah enak, diperhatikan secara khusus…tinggal usul aja kalau memang materi bosan ketrampilan yaa materi yang lain….
Jika problem ada di konten materi, jangan salahkan lembaganya…,tapi ubah saja konten materinya, ubah metodenya…
Okin Mas Riang
saya juga netra tapi mikirin semua.
Okin Mas Riang
boleh tau disabilitasnya apa?
Mas Riang Okin siapa?
Kan sudah tak bilang netra jg
Tonytonie Lebih baik di slb, sudah di sesuaikan dg kondisi jenis disabilitas nya, karena klo di sekolah umum pasti tertinggal jauh, dan gk busa mengikuti…. Aku saja dulu waktu masih normal dan masih belajar merasa susah untuk mengejar prestasi teman sendiri itupun dia masih belum Bagus nilainya apa lagi untuk yg pinter”, WUIH SUSAH
Ishak SalimPenulis Tonytonie sistem pendidikan yang mengandalkan kompetisi membuat suasana pembelajaran jadi kurang sehat. Karena mengejar prestasi sekolah, guru-guru memacu anak didik melewati batas kenyamanan dalam belajar dan mengkotak-kotakkan anak didik sebagai beprestasi dan tidak. Sebaiknya prinsip kerjasama dalam belajar diutamakan, tak penting siapa yang paling baik hasilnya. Penilaian adalah pada seberapa baik kerjasama antar pendidik, antar peserta didik dan antara peserta didik dan pendidik. Membiasakan anak-anak dan remaja dalam keberagaman akan memperkuat mental dan cara berpikir mereka. Anak-anak akan menghargai jika ada yang merasa minoritas (misalnya difabel, etnis tertentu, jenis kelamin, agama, dan lain-lain).
Cara berpikir guru juga perlu diubah. Pembedaan perlakuan bisa juga dilakukan di sekolah umum. Itu pentingnya ada unit layanan disabilitas di sekolah umum sehingga setiap ada murid baru difabel, bisa diasesmen kebutuhan belajarnya dan kemudian berdasarkan hasil asesment pihak sekolah mendesain satu cara mendidik agar tetap setara. Misalnya jika ada anak autis ikut masuk di sekolah umum, maka pihak sekolah mengupayakan gpk dan training peningkatan kapasitas.
Begitu pula jika ada guru yang difabel, misalnya guru buta atau guru tuli, atau bahkan guru dengan gangguan kejiwaan namun telah pulih maka bisa juga pihak sekolah memikirkan akomodasi yang layak bagi pendidik difabel.
Edit atau hapus ini
Tonytonie: Ishak Salim terlalu mengorbankan yang lain… Jika sudah ada wadah yang disediakan kenapa harus mengorbankan yg lain… Logisnya anak difabel yang sekolah di sekolah umum yang harus adaptasi, karena itu sekolah umum bukan sekolah khusus…jadi jika memang bisa beradaptasi dengan lingkungan umum ya silahkan saja sekolah di sana… Tanpa harus mengorbankan yg lain karena yang lain juga akan beradaptasi dengan keterbatasan anak difabel tanpa mereka dikorbankan
Ishak SalimPenulis Tonytonie sudah banyak praktik sekolah inklusif. Artinya bisa dipraktikkan tanpa harus ada penggolongan sekolah. Difabel sudah terlalu lama dilabelisasi sebagai orang sakit, tidak mampu, penderita, pencacat, dll. Setelah itu distereotifkan lagi lalu disegeregasikan dan didiskriminasikan. Jika kita bisa bersama-sama memikirkan satu sistem yang setara, Egaliter, saling menghargai sebagai sesama manusia betapa bermaknanya hidup ini.
Sekarang ini, kalau orang buta mau naik pesawat harus tanda tangan surat sedang sakit dan memaksakan diri bepergian. Padahal orang buta bukan berarti sakit, tapi mendapatkan perlakuan tidak adil. Jadi karena tandatangan itu maka jika terjadi kecelakaan pesawat orang buta ini tidak akan dapat santunan. ada berapa macam kejadian serupa itu yang menyamakan difabel sebagai orang sakit, tidak mampu, dll?
Tonytonie Penggolongan sekolah itu bukan bentuk diskriminasi, menurutku lebih mengakomodasi kebutuhan para difabel sendiri…
Dari tadi anda menyebut tentang difabel yang di diskriminasi…padahal bukan diskriminasi yang ada tapi secara umum soal adaptasi yang belum bisa di lakukan oleh para difabel sendiri … Orang yang berpikir secara terbuka akan menganggap sebuah keteraturan yg harus dijalankan secara Arif dan kesadaran masing” individu ..bukan sok ngeyel menuruti pendapat sendiri tanpa mengindahkan yang lain yang akhirnya menyalahkan keteraturan yang berkedok diskriminasi…
Ishak SalimPenulis Tonytonie saya akan tetap pada gagasan inklusif bahwa praktik memisahkan difabel bersekolah di SLB adalah keliru dan mari kita mulai berpikir inklusif. Kecuali kalau SLB menjadi sekolah inklusif. Jika memang SLB punya kapasitas mendidik difabel, maka tak akan bermasalah jika praktiknya dibuat inklusif. Kalau menurut Anda gagasan saya terkait sistem pendidikan inklusif keliru, setidaknya sudah saya sampaikan. Pendapatmu juga sudah kudengar dan jika tak sepaham tak apa.
Saya memang menganggap sistem SLB itu segregatif dan bisa membuat difabel akhirnya mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Kalau anda tak bersetuju tak apa, saya juga tidak berharap dengan pemikiran berbeda ini lantas bisa SIM sala bim mengubah kondisi 100 persen. Tapi paling tidak setiap pemikiran butuh praktiknya, butuh diimplementasikan dan saya dan teman-teman yang bukan negara tentu cuma bisa melakukan hal-hal kecil karena sumberdaya terbatas. Walaupun demikian saya tetap berharap kelak semua sekolah inklusif dan sistem segregatif dalam kebijakan nasional bisa digantikan dengan sistem inklusif.
Terima kasih sudah berbagi pendapat.
Suharty Handayani Bagi saya itu pilihan…yg mana yg nyaman mnrt disabilitas itu sndri untuk bersekolah…krn maaf kemampuan masing2 disabilitas berbeda dan ketahanan mental tiap disabilitas jg gak sama aplg menghadapi ejekan dr teman2x….bila memang mmerasa mampu sekolah d sekolah umum ya silahkan,bila nggak masuk SLB pun gak masalah,….
Ishak SalimPenulis Suharty Handayani perilaku membully merupakan hal yang salah, untuk itu di setiap sekolah harus ada materi belajar tentang bahaya membully dan perlu ada suasana positif dalam kelas agar peristiwa bully tidak terjadi. Jika pun Terjadi, tidak berkelanjutan.
Suharty Handayani Ishak Salim slain itu pengajaran pertama tentu dr rumah dl mas…maaf bs jd anak yg suka membully mencontoh ayah atau ibux yg suka menghina tetanggax sndri…jd dia bljar dr rumahx
Ishak SalimPenulis Suharty Handayani iya betul, dalam banyak kisah kawan-kawan difabel yang sukses atau yang mau tetap hadir di ruang-ruang bersama tanpa mau dikotak-kotakkan karena kondisi tubuh, mental maupun intelektualnya kebanyakan diawali dengan suasana positif dalam rumah.
Kalau anak-anak membully pasti karena efek meniru, entah dari lingkungan rumahnya atau juga tontonannya. Banyak tontonan yang memperlihatkan bagaimana disabilitas jadi bahan tertawaan atau bulian. Contohnya tentang bolot. Aktor Betawi ini tidak tuli tapi berpura-pura tuli dan selalu memperagakan seolah-olah tuli bodoh, sok tau, dan tidak bisa bahasa isyarat dan jika diejek atau dibuli sama Sule atau penonton seolah tidak sadar atau seolah menerima dan merasa dibuli itu sudah nasib yang harus diterima.
Suharty Handayani Ishak Salim sy setuju ttg suasana positif d awali dr rumah…itulah yg skrng d galakkan sm kmunitas sy dan teman2 mas d pondok dilan bhwa edukasi parenting penting bg ortu2 yg memiliki anak2 disabilitas agar anak2 ini bs maju dan berpikiran positif
Tio Wagee Sastrowijoyo Kasandikromo Suharty Handayani tidak ada kata nyaman jika kita tidak menciptakannya, lalu siapa yg dimaksud dg kita, ya semua elemen bangsa ini dimana Negara (pemerintah) sebagai Leadernya.
jangan dikira klo di SLB itu dijamin pasti nyaman semua, ada juga lho difabel membully sesama difabel 🤣, dan jangan kira di sekolah umum itu hanya difabel saja yg berpotensi dibully, ada juga siswa yg tdk difabel jd korban bullying. jadi mari kita tarik sudut pandang berfikirnya ke arah yg universal, yaitu bukan soal difabel dan tidak difabel saja, tapi bagaimana sistem pendidikan ini menjadi inklusif, inklusif yg dimaksud bukan cuma antara difabel dan non difabel saja, tapi semua perbedaan dan keberagaman yg ada (warna kulit, kaya – miskin, difabel – non difabel, dll), sehingga klo sistem belajar – mengajarnya bisa menginklusifkan perbedaan – perbedaan yg ada, maka tujuan dari belajar disekolah akan semakin lebih luas, bukan cuma belajar mata pelajaran sekolah saja, tapi para siswa bisa saling belajar mengenal perbedaan yg ada sejak dini, bisa belajar saling memahami bagaimana menerima dan menyikapi perbedaan yg ada, sehingga ketika kelak mereka hidup di masyarakat luas entah itu ada yg jadi pejabat negara, tokoh masyarakat, pengusaha, dll mereka akan membawa sikap humanis terhadap perbedaan yg ada tsbt ke dalam standar kehidupan mereka, dan itu akan sangat berdampak terhadap pembentukan perilaku masyarakat luas yg ramah difabel di masa – masa yg akan datang.
Rinang Hasimudin Semua pilihan ada kok…. mau kesekolah umum atau SLB, yg penting kuat mental aja…
Ishak SalimPenulis Rinang Hasimudin setiap anak didik dan juga guru-guru harus kuat mentalnya. Tugas mendidik dan kewajiban belajar adalah hal berat. Dibutuhkan mental baja untuk bisa terus melakukannya dengan baik. Jika tidak kuat, maka guru akan malas tambah ilmu, tidak mau terima beban mengajar, malas membaca pengetahuan baru, malas ikut pelatihan atau belajar mandiri, malas memikirkan solusi jika ada kendala anak didik, dan begitu pula anak-anak yang tidak kuat mentalnya akan malas belajar, mudah menyontek, gampang membully, lebih suka main tanpa belajar, dan sulit berpikir positif serta tidak biasa bekerjasama atau bahkan tidak tau caranya saling membantu.
Aziz Hermawan Itu hanya pilihan, utk difabel daksa ataupun tunanetra kemungkinan besar masih bisa disekolahan umum, tapi utk yang autis dll, sulit utk mengikuti sistem belajar di sekolah umum. Kebetulan pengalaman pribadi, dan kalau pun ada yg bilang difabel lebih baik di SLB saya rasa kurang tepat, sebab ada beberapa jenis disabilitas yg memang mampu mengikuti sistem belajar disekolah umum. Saya sendiri tunadaksa dari SD sampai SMA kebetulan sekolah disekolah umum, Alhamdulillah bisa mengikuti sistem belajarnya. Dan Alhamdulillah sekarang saya menjadi mahasiswa teknik arsitektur yg memang sangat sulit untuk bisa masuk fakultas teknik dgn mobilitas yg tinggi dan materi yg banyak serta tugas² yg bertumpuk sampai tdr pun bisa 2 hari sekali. Teman² normal lainnya sgt antusias, meskipun awal masuk saya ragu dan sempat berpikir tentang bullying, ternyata anggapan itu salah, dan saling ejek sdh biasa mereka lakukan utk candaan mereka. Disini sy banyak belajar bahwa dalam mencerna setiap ucapan harus dengan pikiran yang lapang bukan dgn hati dan sedikit² baperan. Mohon maaf bukan bermaksud sombong, hanya utk memotivasi 🙏🙏
Ishak SalimPenulis Aziz Hermawan pengalaman begini harus disebarluaskan. Banyak orang tidak tahu betapa difabel bisa dan senang sekolah di sekolah umum dan bergaul sesama teman dengan beragam kondisi, beragam kemampuan. Coba bayangkan, anak dengan disabilitas intelektual atau grahita lalu disekolahkan dengan sesama grahita apalagi kondisinya beda beda, ada yang grahita biasa (mampu didik dan mampu latih). Kebanyakan orang tidak terbiasa berteman dengan anak dengan diaabilitas intelektual, jadi mereka bingung atau kasihan atau bahkan maunya membully. Padahal, semua proses interaksi jika diatur lingkungannya secara positif akan membuat orang saling menghargai, saling mencintai, saling membantu. Itulah inklusi.
Oia, semoga Azis menjadi arsitek yang selalu membuat desain rumah atau bangunan yang akses, bukan hanya untuk kursi roda, tapi juga untuk difabel lainnya. Semoga semua mata kuliahnya berperspektif universal design… Amiiin
Aziz Hermawan Ishak Salim aminnn,, dan Alhamdulillaah arsitektur Sekarang desainnya memang dituntut untuk menyediakan jalur khusus dgn berbagai jenis disabilitas, dari dosen jg selalu di tuntut utk tdk melalaikan hak² disabilitas.
Ritha Fayola Muharani Anak didikku difabel tunanetra di SLB negeri 2 Indramayu ❤️👍
Sya’roni Selo memang hrus it
Okin Kami mau belajar disekolah umum bukan slb.
Menurut saya: kalau mau di sekolah umum silahkan. Nggak usah bawa-bawa slb. Setahu saya nggak ada tu anak-anak slb berkomentar sebaliknya.
Pengalaman saya tuna netra selama 6 tahun bersekolah di slb nggak ada ketrampilan-keterampilan seperti yang dijelaskan di atas. Justru saya lebih mudah memahami pelajaran ketika di slb.
Pengalaman 7 tahun di pendidikan umum ada materi-materi tertentu yang tidak saya mengerti. Saya lebih banyak menjadi penonton.
Ishak SalimPenulis baca di link tulisannya Okin, penulisnya disabilitas netra, sebelumnya adalah siswi smp luar biasa yapti makassar, dan saat masuk sma dia memilih masuk smu. sekarang sudah kelas tiga. tulisan ini memberikan perspektif lain soal slb, terutama kritik atas Mas Menteri yang perlu direspon.
Tio Wagee Sastrowijoyo Kasandikromo Okin dipahami dulu alur tulisannya, itu kan si penulis cuma merespon apa yg sudah dikatakan pak menteri, jadi klo ada membawa nama SLB ya karena dalam kata2 pak menteri yg di respon itu ada membawa nama SLB, kalau mau melarang bawa nama SLB ya harusnya protesnya ke Pak Menteri, lha kalau pak menteri bahasnya SLB terus penulis responya bahas SMK nanti malah g’ nyambung 🤣.
kemudian soal anda tdk nyambung sekolah di umum, justru itu yg jadi masalah bukan kamu yg tdk nyambung, tapi sistem belajar – mengajarnya yg tdk respek pada difabel, nah… yg jadi tugas negara sekarang adalah bagaimana bisa menciptakan sistem belajar – mengajar di sekolah umum yg respek terhadap difabel khususnya difabel yg masuk klaster Mampu didik agar bisa mengikuti kuri kulum yg dibuat, sehingga nanti utk difabel tdk mampu didik alias klaster mampu latih bisa dimaksimalkan di SLB. apalagi mengingat jumlah SLB tdk sebanding dg jumlah difabel yg usia sekolah, sehingga dg mendorong difabel usia sekolah yg klaster mampu didik utk bersekolah disekolah umum ini akan menciptakan pemerataan, dan mengedukasi para siswa non difabel untuk juga mengenal difabel sejak dini, sehingga kelak jika mereka siswa non difabel tersebut sudah masuk pada kehidupan di masyarakat luas entah sebagai pejabat negara atau tokoh masyarakat atau pengusaha dan lain – lain mereka juga akan bisa berkontribusi dg baik dalam pemajuan difabel, karena mereka sudah melek tentang difabel sejak dini.
Cahyo Widodo Bersyukurlah kalian yg sekolah di SLB, bisa bertemu dengan guru2 pilihan yg bisa di sesuaikan dengan kemampuan kalian, saya dulu bersekolah di sekolahan umum, memang secara pergaulan seolah tidak ada diskriminasi, tapi secara kemampuan juga kita akan di samaratakan, kalau kita tidak bisa mengikuti yah kita gak dapat nilai, semisal kegiatan olahraga, kegiatan Pramuka dsb. Seandainya dapet nilaipun kita hanya akan di kasih nilai enam, itupun nilai belas kasihan menurut saya, enakan di SLB kita bisa lebih mengeksplor kemampuan kita masing2. Sudahlah kita jangan meminta yg belum tentu bermanfaat buat kita, cukup minta lebih di perhatikan saja dan di fasilitasi 🙏🙏 saya polio kaki kiri pekerjaan saya menjahit dan saya dapatkan ketrampilan menjahit bukan dari sekolah umum tapi dari panti rehabilitasi RC solo
Suharty Handayani Cahyo Widodo angkatan thn brp mas…sy thn 2013
Cahyo Widodo Suharty Handayani saya tahun 2006
Cahyo Widodo Kadang miris saya ,sama temen2 yg menuntut persamaan, kita itu memang berbeda apa yg mau di samakan??? Harusnya kita menuntut lebih dari yg orang normal dapet karena kita memang berbeda. saya terlahir dari keluarga miskin yg ibu saya hanya mampu menyekolahkan di sekolah umum, alhasih saya tidak mendapatkan kemampuan yg saya butuhkan
Suharty Handayani Cahyo Widodo sy jg penjahitan mas dulu…
Suharty Handayani Cahyo Widodo alhmdllah mas msh bs sekolah,setidakx walau miskin harta tp tdk miskin ilmu dan krn itulah kita jd semangat untuk trus belajar dan belajar biar gak ketinggalan dr org2 d luar sana
Ishak SalimPenulis Mas Cahyo Widodo pilihan mau belajar apa atau mau kerja apa sepanjang itu dilandasi oleh pemenuhan hak difabel ya tidak apa-apa. Tapi kalau mengalami kondisi polio semestinya tidak harus menghambat untuk aktif di kegiatan kepramukaan dan lain-lain. Masalahnya jika guru melarang berdasarkan prasangka bahwa orang polio tidak akan bisa berpramuka maka itu yang salah. Anggota komisioner PBB untuk pemenuhan Hak difabel (UN CRPD) mewakili Indonesia adalah mbak Risnawati Utami, beliau polio, lulusan s2 amerika serikat, mendirikan organsiasi difabel OHANA di jogja, dan mendatangkan ribuan kursi roda dari AS ke indonesia untuk dibagi-bagi. Mas Sunarman Sukamto juga, menggunakan kursi roda, adalah staf kantor kepresidenan, dan menjembatani banyak kebutuhan atau hak difabel melalui KSP dan jaringannya. Ada banyak contoh difabel berhasil. Termasuk Anda juga bisa dikatakan berhasil.
Tapi kembali ke topik artikel di atas, jika anak difabel memilih bersekolah di sekolah umum tapi pihak sekolah tidak mau membuat penyesuaian kemampuan belajar agar anak didik difabel mendapatkan hak yang setara dengan yang lain maka pihak sekolah (guru dan kepsek dan TU) itu keliru, itu artinya membuat difabel belajar dan berusaha lebih banyak setiap hari ketimbang siswa lain, disitu tidak setaranya. Misalnya ada guru penjaskes memberi tugas ujian ke siswa dengan meminta siswa menggambar lapangan dengan presisi yang tepat maka ujian semacam itu tidak akan setara jika diberikan ke siswa buta. apalagi memaksanya menggambar di kertas putih dengan pensil. kecuali jika gurunya memintanya mendeskripsikan panjang lapangan, lebar lapangan, dan lain-lain tanpa harus gambar dengan tangan. itu baru setara. sama juga kalau siswa berkursi roda, bukan berarti tidak bisa olah raga di lapangan, dia bisa lari dengan kursi roda, dia bisa main tenis dengan kursi roda, bisa melakukan kegiatan-kegiatan fisik. yang penting akseskan lapangannyam kurangi batu batu. juga orang buta bisa lari, sepanjang dicarikan cara agar bisa lari bersama dengan yang melihat. jangan guru berprasangka karena anak buta tidak melihat lantas kalau olah raga disuruh duduk-duduk saja.
Cahyo Widodo Ishak Salim itulah yg saya alami di sekolah umum, makanya saya bilang seolah2 tidak ada diskriminasi!!! Pada kenyataannya memang begitu. makanya saya bilang bersyukurlah kalian yg sekolah di SLB. Kalau memang sudah ada sekolah luar biasa yg sudah bisa memenuhi/ memfasilitasi kemampuan kita kenapa harus ada tuntutan lain, yg didalam tuntutan itu akan mengandung tuntutan2 lain yg sudah anda jelaskan panjang lebar sampai sayapun pusing bacanya.
Ishak SalimPenulis Cahyo Widodo hehehe… ya memang memusingkan sih mas, namanya juga mau urusi kepentingan publik. kalau mau urusi diri sendiri sih mungkin tidak sepusing urusi kepentingan banyak difabel. matur tengkiu mas.
Cahyo Widodo Ishak Salim kalau saya baca komen temen2 banyak juga kok yg lebih nyaman di SLB, lantas hak siapa yg mau anda perjuangkan?, Coba renungkan lah, lebih baik memperjuangkan hak2 lain yg sangat2 di butuhkan oleh temen2 kita semua ketimbang hal2 yg menurut saya sepele seperti ini semisal pikirkanlah teman2 kita yg belum terjangkau aksesnya oleh pemerintah baik pendidikan bansos dll. Itu akan lebih berguna ketimbang memikirkan hati kita
Sunarman Sukamto Cahyo Widodo Mas, pendapat dan pengalaman jenengan tidak ada yang salah. Itu 100% clear. Saya dari MI / SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di umum terus. Bedanya saya tidak mau diberi dispensasi dan diberi nilai ala kadarnya. Saya ikut senam, ikut olahraga, ikut kemah Pramuka, jadi petugas upacara, bahkan ikut carnaval 17 an. Sekarang ini SLB dan sekolah umum punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Yang jelas SLB hanya ada di Kecamatan atau Kabupaten, itu pun tidak selalu lengkap (A, B, C, D, dst) padahal hampir di setiap desa ada Difabel. Maka pemerintah ingin semua sekolah mau menerima Difabel, lepas dari kelebihan dan kelemahan yang ada saat ini. Jadi ketika ada seorang Difabel memilih sekolah di sekolah umum, itu harus diterima dan diberikan kesetaraan. Salah satu kelebihan sekolah di sekolah umum adalah menjadikan Difabel dan non Difabel bisa saling memahami, saling menerima dan membantu, sehingga lama-kelamaan tidak akan ada diskriminasi lagi kepada Difabel karena sudah dimulai di sekolah. Semoga sukses usaha menjahitnya Mas. Salam sehat dan bahagia.. 👍👍🇮🇩
Cahyo Widodo: Sunarman Sukamto dari sekian banyak tulisan baru tulisan anda yg bisa saya cerna, lanjutkan perjuanganmu untuk kaum difabel, jadi difabel itu harus kuat jujur sampai detik ini saya masih minder, tapi saya coba lawan itu dengan kemampuan yg saya miliki, dan saya mencoba lebih bermanfaat di lingkungan sekitar saya.
Sunarman Sukamto Cahyo Widodo Siaap Mas. Sama-sama berjuang..🙏🇮🇩
Cahyo Widodo Sunarman Sukamto yg ini baru saya setuju
Ishak SalimPenulis Sunarman Sukamto terima kasih mas maman, pengetahuannya. Mas Cahyo Widodo Saya tidak menapikan ada difabel merasa nyaman, tapi di sisi lain saya juga menadpati banyak difabel menolak bersekolah di slb, dan di sisi lain saya juga menemani difabel memperjuangkan bisa di terima di sekolah umum setelah berkalikali ditolak dengan alasan ada slb dan orang cacat sekolah di slb (saya sengaja tidak menghaluskan kalimat itu) karena begitulah ucapan dari guru yang suka menolak anak difabel bersekolah.
Dalam kisah lain, saya juga sama teman-teman paralegal mendampingi difabel yang diperkosa di slb, dan mendengar ada anak difabel intelektual yang dipakaikan alat kontrasepsi hanya agar tidak hamil karena rentannya pelecehan seksual terjadi. Ada juga pengelola slb yang datang ke kampung-kampung cari murid agar bisa dapat tambahan murid sementara anak difabel di desa bisa punya peluang sekolah di sekolah umum dan terdekat di rumahnya. Saya mau bilang, difabel memiliki situasi dan kondisi rentan, sehingga kita perlu membuat agar kerentanan itu bisa sama-sama kita kikis.
saya juga punya beberapa teman guru slb dan kerap berdiskusi soal bagaimana agar kurikulum pengajaran slb bisa lebih baik dan bisa lebih variatif metodenya.
Ya ada banyak realitas bagaimana difabel saat ini menghadapi kehidupannya, baik dan buruk, nyaman dan runyam, dan kita mesti berupaya yang baik semakin baik dan yang buruk semakin berkurang, yang nyaman semakin bertambah dan yang runyam semakin berkurang.
Cahyo Widodo Ishak Salim semoga niat baik anda di mudahkan jalannya oleh Allah SWT.
Ishak SalimPenulis Amiiin, semoga juga mas Cahyo Widodo dan kawan-kawan di group ini berkah dan penuh Rahmat 🙏🙏🙏🙏
Dede Yusuf Disinh negara harus hadir di tengah2 masarakat agar bisa melihat dan memahami apa yang menjadi persoaalan di masarakat trmasuk kaum difabel saat ini sudah tidak jamanya lagi di kotak kotakan. Ayooo indonesia inklusi 🇮🇩💪♿♿♿♿👍🙏
Teguh Di SLB saya setiap tahun lulusan kami Di tingkat Sd dan SMP selalu merekomendasikan beberapa siswa untuk pindah jika memang sudah mampu didik mampu rawat mampu latih dan dapat melampaui kkm serta pengayaan yang diberikan dengan sempurna, atau jika ada orang tua yg memaksa anaknya untuk pindah ke sekolah umum juga kami tidak melarang, tetapi berdasarkan pengalaman kami anak tersebut yang dipaksa orang tuanya ke sekolah umum hanya bertahan paling lama satu tahun karena di sekolah umum beberapa anak tidak bisa survive dan menyesuaikan diri akhirnya kembali lagi ke SLB dan kita membangun kepercayaan diri mereka kembali dari awal dengan kondisi yang kadang malah lebih parah karena mereka mengalami pengucilan di sekolah umum. Sekali lagi harus dipikirkan matang2 dan persiapkan segalanya jngan mencobakan sesuatu kepada anak yg kita tidak tahu dasarnya.
Ishak SalimPenulis Terima kasih bagi pengalamannya Mas Teguh
Sasaran utama dari kritik sistem pendidikan segregasi adalah pada kebijakan dan pemisahan sekolah difabel dan non-difabel, khususnya memindahkan manajemen sekolah luar biasa sebagai sekolah yang dianggap dapat mendidik difabel itu bisa juga dipakai di sekolah umum; dan sasaran dari upaya terbangunnya sistem pendidikan inklusi adalah para pengelola sekolah umum agar bisa meningkatkan kemampuan sekolah dalam mengakomodasi keberagaman siswa. Terima kasih sekali lagi telah berbagi pemikiran.
Teguh: Ishak Salim setuju,,, mudah2an ke depan sekolah inklusi benar2 bisa menjadi pilihan untuk anak2 dengan disabilitas bersekolah,,, karena semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tidak boleh ada diskriminasi terhadap pelayanannya. mari kita sama sama suarakan merdeka belajar bagi anak disabilitas.
Demikian himpunan pendapat dan diskusinya, postingan ini berlangsung sejak 18 – 22 September 2020.
Jika ada yang tidak berkenan, saya mohon maaf. Niat ini hanya ingin membagi pikiran-pikiran progresif dari diskusi tersebut.
Salam Inklusi!