Oleh: Nabila May Sweetha, Difabel Netra, Siswi SMA Negeri 11 Makassar
Sejak empat tahun lalu menjadi orang buta, (saya lebih suka disebut buta dibanding aneka tuna-tunaan), saya menjadi kenal dengan banyak macam-macam dukun. Dan entah hanya saya yang merasa atau bagaimana, rasanya dukun rada-rada lucu juga. Karena nenek saya mempercayai hal-hal yang gaib, segala rupa yang berbentuk keajaiban, jadilah saya beberapa tahun belakangan ini sering bertemu dukun. Mulai dari dukun yang angker, sampai dukun yang buat saya mau ngakak aja bawaannya. Tidak usah bertele-tele, langsung saja menuju macam-macam dukun yang pernah saya temui.
Dukun Apa Saja Bisa
Saya beri nama begitu, karena kedengarannya dukun jenis ini sangat optimis dalam menyembuhkan pasiennya. Saya bertemu dukun jenis ini di kampung yang tak jauh dari desa tempat bapak saya lahir (Pangkep, Sulawesi Selatan). Waktu itu, belum juga saya diperiksa, dukunnya langsung bilang.
“Anakmu bisa sembuh, kok. Asal mau rajin datang ke sini saja, ya setidaknya tiga kali setiap minggu.”
Saya kaget, dong. Dalam hati saya bilang dukun ini pasti sakti, deh. Belum meriksa aja dia sudah tahu kalau saya bisa disembuhkan. Tapi, ternyata dia bohong, guys. Saya salah mengartikannya, ternyata dia hanya omong kosong doang. Tiga bulan berobat di sana, datang tiga kali seminggu sudah kayak orang minum obat, setiap datang cuma ditiup-tiup aja mata saya. Eh, tidak sembuh-sembuh juga.
Waktu itu nenek masih mau lanjut pengobatan tiup-tiupnya, tapi saya menyerah. Napas dukunya bau terasi, sih.
Dukun Amanah
Nah, dukun tipe ini adalah dukun yang paling membuat uang terjaga. Iya, terjaga tetap dalam dompet. Karena pertama kami datang, Dukunnya akan bilang.
“Tidak usah dibayar dulu, Nak, nanti kalau matanya melihat saja.”
Kadang saya tidak terlalu keberatan dibawa ke dukun jenis ini. Karena selain biasanya mereka ramah, nenek juga tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk hal yang sudah pasti tidak ada faedahnya. Saya berobat di dukun tipe ini selama kurang lebih sembilan bulan, bolak balik tiap hari ke rumahnya, dimandikan pakai air harum sama bunga-bungaan. Maaf, ya, ini maksudnya apa sih? Apa dukunnya berpikiran kalau saya buta karena jarang mandi? Dan selama enam bulan itu, saya tidak mandi sebelum dimandikan sama dukunnya. Untung dukunnya perempuan, sudah tua juga. Kalau laki-laki, bah, sudah melahirkan saya itu. Sembilan bulan tidak ada perubahan, saya capek dan mengamuk tiap kali diajak ke rumah dukun itu lagi.
Dukun Malu-malu Tapi Mau
Dukun satu ini sangat unik, aneh, dan menggelikan. Hampir mirip dengan jenis dukun sebelumnya, saat kami pertama kali datang ke rumahnya, beliau bilang begini.
“Tidak usah dibayar dulu, Nak, nanti baru dibayar kalau sudah melihat kembali.”
Tapi selama dua minggu berobat di dukun itu, selalu saja kami merasa dirugikan. Iya, dirugikan. Saya diminta untuk datang setiap hari, sore-sore, dan harus membawa beberapa barang. Daftar hal yang harus dibawa adalah ayam kampung dua ekor, telur ayam kampung yang sudah direbus sepuluh butir, kelapa dua butir, beras sepuluh kilo, dan buah-buahan lima macam.
Duh, ini maksudnya bagaimana? Tidak bayar, memang. Tapi daftar barang yang tadi harus kami bawa setiap harinya kamu kira itu gratisan? lalu biasa setelah mata saya ditetesi air daun sirih berkali-kali, kami akan tinggal untuk menonton Sang Dukun memakan telur-telur dan buah-buahan yang kami bawa. Ini namanya malu-malu tapi mau, kan? Menolak uang, tapi minta ini itu dengan alasan keperluan ritual. Kalau mau bilang aja dong, Mbah.
Dukun Pemaksa
Sebagai manapun menyebalkannya dukun yang malu-malu tapi mau tadi, dukun yang ini lebih menyebalkan lagi. Sumpah, menyebalkan tingkat dewa. Saya hanya bertahan tiga hari diobati sama dukun jenis ini. Dan rasanya … WTF banget!
Berbeda dengan dukun-dukun sebelumnya, dukun satu ini akan datang ke rumah, jadi saya tidak perlu menempuh jarak jauh untuk mendatangi dia. Dukun ini tidak minta bayaran banyak, kelihatan tulus, dan juga tidak minta bahan makanan. Intinya sekilas terlihat baik-baik aja gitu, macam uztad penyayang nan baik hati. Setidaknya begitu pertama saya berpikiran saat melihatnya melangkah masuk rumah. Tapi oh tapi! Cara pengobatannya sangat menyiksa, Gaes.
Pertama-tama dia akan membaca Al-Quran, menyuruh saya duduk bersila dengan tangan di atas kaki kiri dan kanan. Mirip orang bersemedi gitulah. Setelahnya dia akan menyuruh saya berdiri, lalu bertanya.
“Apakah adek sudah mau muntah?”
Saya menggeleng, ya memang gak mau muntah saat itu. Dia biasa percaya diri sekali berkata sebentar lagi saya akan mual dan muntah. Lima menit, ya betul saja dia bertanya kembali setelah lama membaca Al-Quran. Dan saya menggeleng lagi. Barulah dia beraksi untuk memaksa secara halus. Dukun itu akan memegang bahu saya, memaju mundurkan tubuh saya dengan kencang. Lima menit akan berhenti dan bertanya.
“Sudah mualkah, Dek?”
Saya menggeleng lagi, dong, belum mual memang. Dan saya tidak mengerti mengapa, dia meminta air ke nenek saya, lalu … seperti yang di film-film, dukun itu menyemburkan air ke wajah saya. Rasanya seperti disirami air hangat, lengket, dan menjijikkan. Hanya tiga hari saya bertahan dengan sistem pengobatannya yang up-normal, hari keempat saya lari dari rumah untuk menghindari dia dan nenek yang masih juga memaksa saya untuk muntah.
Dukun Sok Tahu
Dukun ini juga cukup menyebalkan, sok tahu gitu dianya. Saat saya masuk ke ruang prakteknya. Eh, saya gak tahu harus menyebut ruangan itu dengan istilah apa, dukunnya langsung mempersilahkan saya duduk dan bilang.
“Kamu bisa lihat sampai mana? Ini matamu sakit karena pernah main di bawah pohon kamboja, ada jin yang masuk ke syaraf matamu.”
Nah, ini mengherankan juga. Kok dia bisa tahu kalau mata saya kabur karena jin, tapi gak tahu mata saya sekabur apa? Kurang sakti, ya, dukunnya? Tapi yang lebih mengherankannya lagi, adalah karena saya tidak pernah main di bawah pohon kamboja. Boro-boro main di bawah pohon kamboja, la saya mulai sakitnya di Makassar, kok. Dan saya tinggal di jantung kota, gak ada pohon sama sekali. Biasa saya mainnya di mall, toko buku, atau di warnet. Tempat-tempat itu tidak ada pohon kambojanya, dong. Maka saya tanyakan tuh, karena kesal juga lihat tebakannya yang salah.
“Kamu memang tidak tahu kalau di sana ada pohon kamboja, hanya orang-orang spesial yang bisa melihatnya.”
Duh, nih dukun sudah salah mau ngelak lagi. Pohon pohon apa yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa? Fix, karena kehaluan dukun jenis ini terlalu membuat saya ennek, akhirnya saya hanya satu kali berobat di sana. Dikasih garam, sih, katanya buat dicampur di air lalu diteteskan mata. Tapi saya buang garam itu. Cuma garam biasa, kok, di rumah juga banyak.
Itulah beberapa dukun abstrak yang pernah saya temui. Sebenarnya masih banyak jenis dukun lainnya, yang tentu sama anehnya dengan dukun-dukun tadi. Saya sedikit percaya, sih, kalau memang ada dukun sakti di dunia. Tapi masalahnya selama ini dukun-dukun yang saya temui itu pada gak sakti. Eh, atau mungkin mata saya yang terlalu parah tingkat dewa sampai tidak bisa ditembus kesaktian dukun, ya. Entahlah ….
Sama seperti dukun-dukun itu, saya juga masih merasa bingung dan bertanya-tanya dengan kegaiban proses pengobatan salah satu uztad di saluran televisi nasional. Apa itu benar, ya? Berarti selama ini orang sakit karena dosa semua, dong? Btw, kenapa pemerintah Indonesia tidak menyuruh uztad itu untuk menyembuhkan semua pasien corona? Kan lebih simpel ketimbang dokter yang harus menggunakan banyak alat, banyak obat untuk menangani pasien corona. Kalau uztad itu yang mengobati pasien kan cuma dibacakan doa, ditanya-tanya apa dosa masa lalunya, lalu pasien akan kejang-kejang. Dan akhirnya uztad akan bilang.
“Insya Allah perlahan-lahan penyakit ibu akan sembuh, asal tetap yakin dengan pertolongan Yang Maha Kuasa.”
Tapi, kira-kira dosa apa yang menimbulkan wabah corona ini? Dosa apapun itu, tentu dosanya yang dilakukan banyak orang. Kan banyak orang tuh yang kena corona. Yang jelas bagaimanapun proses penyembuhan dukun, kesaktian uztad, dan corona yang tidak kunjung pergi dari Indonesia kita harus tetap optimis kalau ini semua akan berakhir[*]